Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dari Foto Bugil sampai Pistol Ilegal: Berita-berita Cacat Kompas.com

11 Oktober 2011   09:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:05 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jika Anda percaya hasil kerja wartawan media besar selalu bagus, Anda perlu mengubah kepercayaan itu. Bisa jadi, yang Anda percayai adalah mitos belaka.

Baru saja saya mengonsumsi berita-berita yang disajikan Kompas.com—salah satu media online terbesar di negeri ini. Sekitar 40 menit, saya membaca 15 berita dan, ajaibnya, saya mendapatkan lima berita yang mengandung pelbagai cacat.

Baiklah, saya akan mengajak Anda membahasnya satu per satu. Kita mulai dari berita berjudul Berkait Foto Bugil, Ibu Bupati Merasa Diperas yang tayang pada Senin (10/10/2011).

Berita tersebut rupanya laku keras. Buktinya, hingga kini telah dibaca lebih dari 38 ribu kali. Namun di balik laku kerasnya berita tersebut ternyata terdapat dua cacat yang cukup parah.

Cacat pertama terletak di judul. Saat membaca judul di atas, kemungkinan besar pembaca memahami “Ibu Bupati” sebagai bupati berjenis kelamin perempuan atau ibunya seorang bupati. Bila kita baca isi beritanya, ternyata pengertian “Ibu Bupati” bukan seperti itu. “Ibu Bupati” yang dimaksud penulis berita adalah istri bupati.

Nah, di situlah letak kecacatan itu. Mestinya, agar judul dan isi berita sinkron, kata “Ibu Bupati” di judul itu diubah menjadi “Istri Bupati”.

Berikutnya, mari kita cermati cacat kedua. Yang ini agak parah, Kawan. Coba baca paragraf ke-5 berita tersebut yang berbunyi:

“Pada bagian belakang amplop tertulis pengirim atas nama Nurmalasari, guru SDN Sukatani di Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta. Pengirim mengancam akan mengirim foto itu ke wakil bupati, sekretaris daerah, media massa, Majelis Ulama Indonesia, dan seluruh organisasi perangkat daerah, jika tuntutannya tak dipenuhi.”

Pihak Kompas.com melakukan kesalahan cukup fatal dengan menyebut nama dan pekerjaan seseorang serta nama sebuah sekolah tanpa melakukan upaya klarifikasi. Dengan hanya membaca berita tersebut, kita selaku pembaca akan dihinggapi berbagai pertanyaan, seperti: Benarkah di SDN Sukatani ada guru bernama Nurmalasari? Jika memang benar ada, benarkah ia yang mengirim surat ke istri bupati dengan maksud untuk melakukan pemerasan?

Sayang sekali, Kompas.com hanya menurunkan berita mengenai hal itu sekali. Tidak ada berita lanjutan untuk menambal lubang berita yang menganga itu. Saya tak tahu apakah ini terjadi karena si wartawan malas melakukan reportase atau karena ia tak peduli terhadap orang atau pihak yang kemungkinan besar dirugikan oleh berita yang dibuatnya.

Selanjutnya, mari kita menoleh ke berita berjudul Penumpang Garuda di Palembang Mengamuk yang dipublikasikan Kompas.com kemarin (10/10/2011). Berita tersebut gagah judulnya tapi kerempeng isinya.

Di paragraf awal disebutkan bahwa sejumlah penumpang Garuda Indonesia mengamuk di ruang tunggu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Aksi itu sebagai protes atas tertundanya penerbangan dari Palembang ke Jakarta.

Unsur “mengapa” (why) dalam berita tersebut memang terpenuhi, tapi unsur “bagaimana” (how) malah diabaikan. Sama sekali tiada penjelasan bagaimana mengamuknya para penumpang itu. Selaku pembaca, kita wajar bertanya-tanya: Apakah para penumpang itu berteriak-teriak sambil melempari counter Garuda? Apakah mereka memukuli petugas Garuda? Atau bagaimana?

Jadi, ada dua kemungkinan mengapa hal ini terjadi. Kemungkinan pertama, peristiwa mengamuknya para penumpang itu memang ada, tapi wartawan Kompas.com tidak cakap mendeskripsikannya. Dan kemungkinan kedua, para penumpang hanya melakukan protes namun wartawan Kompas.com berusaha mendramatisasinya dengan membuat judul yang heboh.

Hemmm… Sudah capek ya membahas kecacatan berita-berita Kompas.com? Baiklah, demi kesehatan Anda, saya percepat pembahasan ini.

Sekarang mari kita mengintip berita berjudul Pengangguran Kaum Muda Masih Tinggi yang terbit hari ini (11/10/2011).

Direktur Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Bappenas Rahmi Iryanti menjadi narasumber tunggal dalam berita tersebut. Ia bilang, “Pengangguran kaum muda (yang berumur 15-24 tahun) semakin turun, tapi tetap saja tinggi, yakni lebih dari 50 persen dari total pengangguran."

Pertanyaan yang bisa diajukan: Berapa juta sih jumlah total pengangguran di Indonesia versi Bappenas? Apakah Bappenas memakai data Badan Pusat Statistik atau data dari sumber lain? Lalu, lebih dari 50 persen itu persisnya berapa juta?

Sayang sekali, wartawan Kompas.com tidak memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ia mengabaikan salah satu hal penting: jurnalisme presisi.

Masih soal kejelasan data, mari kita mampir ke berita berjudul Guru Tolak Penambahan Jam Mengajar yang tayang pada Rabu (5/10/2011).

Berita tersebut menceritakan penolakan Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) terhadap Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan). Peraturan itu mengharuskan guru yang akan dan telah disertifikasi untuk menambah jam mengajar minimal, dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu.

Berita itu tergolong cacat karena tidak menyebut Permenpan secara spesifik. Faktanya, ada banyak Perpempan. Lalu, Permenpan nomor berapa dan tahun berapa yang mengatur soal penambahan jam mengajar itu?

Bagi sebagian pembaca, kedetilan berita mungkin tak terlalu penting. Namun bagi sebagian pembaca yang memerlukan informasi lebih lanjut, kedetilan berita sangat-sangat vital. Dengan mengetahui nomor dan tahun Permenpan yang dimaksud dalam berita tersebut, pembaca jenis kedua tadi dapat melakukan penelusuran lebih lanjut, mendapatkan dokumennya, lalu mengkajinya.

Patut disayangkan, wartawan media sebesar Kompas.com tidak peka terhadap hal semacam ini.

Terakhir, yuk kita membaca berita berjudul Polisi Amankan Pemilik Pistol Ilegal yang terpampang di Kompas.com hari ini (11/10/2011).

Dengan membaca berita tersebut, tahulah kita ternyata birokratisasi dan militerisasi bahasa cukup mewabah di Kompas.com.

Kata “amankan” di judul berita jelas-jelas bukan bahasa jurnalistik, melainkan bahasa khas birokrat-militer-polisi. Bahasa jurnalistik seharusnya steril dari ambiguitas. Kata “amankan”, yang berasal dari kata dasar “aman”, telah lama diselewengkan artinya oleh sebagian besar birokrat-militer-polisi dan payahnya Kompas.com melanggengkan penyelewengan itu.

Yang bikin geleng-geleng kepala, di paragraf ke-5 berita tersebut terdapat kalimat: “Anggota menghentikan kendaraan mobil bernomor polisi …… dst.”

Lihat saja, media sebesar Kompas.com begitu setianya membebek bahasa ‘resmi’-nya polisi. Kata “anggota”, bagi kalangan tertentu, memang identik dengan tentara dan polisi. Tapi, mengapa Kompas.com tidak mengembalikan pengertian “anggota” kepada pengertian asalnya sesuai kamus? Bukankah ada juga anggota pramuka, anggota hansip, juga anggota Satpol PP? Atas dasar apa, tentara dan polisi, memonopoli penggunaan kata "anggota"?

Itulah kawan, pelbagai kecacatan berita di Kompas.com yang saya amankan dan saya bikinkan BAP-nya hari ini. Dengan Semua barang bukti yang saya temukan di TKP itu sekali lagi saya ingin mengingatkan: Jika Anda percaya hasil kerja wartawan media besar selalu bagus, Anda perlu mengubah kepercayaan itu. Bisa jadi, yang Anda percayai adalah mitos belaka!

Rawamangun, 11 Oktober 2011

Herman Hasyim adalah konsumen media, bukan pengedar foto bugil, juga bukan seorang “anggota”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun