Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Contoh Wartawan dan Narasumber yang Memperbodoh Konsumen Media

23 Desember 2011   04:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:52 2830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_158443" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Mengetahui saya sering mengupas ketidakberesan media massa, pekan kemarin teman dekat saya memberi umpan. Disodorkannya berita berjudul Standar Gaji Hakim Sudah Relevan. Berita itu dimuat Pikiran Rakyat Online, 14 Desember 2011.

Apa yang tidak beres di berita itu?

Saya cermati dari judul, paragraf pertama hingga paragraf terakhir. Dan inilah catatan saya atas berita itu.

Pertama, seandainya si wartawan peka, ia bakal tahu bahwa penggunaan kata “relevan” pada judul berita sesungguhnya tidak tepat. Silahkan buka kamus. Relevan artinya kait-mengait, bersangkut paut atau berguna secara langsung.

Rupanya si wartawan termakan oleh omongan Erland Jayaputra selaku narasumber, tanpa mendayagunakan sikap skeptisnya. Kata “relevan” itu muncul dari statemen narasumber dan si wartawan mengutipnya begitu saja. Jadi, kesalahan itu dilakukan berjamaah.

Jika si wartawan hendak mengatakan bahwa gaji hakim sudah sesuai dengan beban kerja, lebih tepat judul itu diubah begini: Standar Gaji Hakim Sudah Pas atau Standar Gaji Hakim Sudah Tepat.

Di tubuh berita, ada sejumlah kesalahan tulis, akibat ketidaktelitian si wartawan dan editornya. Kali ini saya agak malas membahas masalah-masalah remeh begini. Silahkan Anda mencari dan menganalisisnya sendiri.

Kedua, narasumber dalam berita ini terkesan asal bicara. Ia tak berbekal data dan, payahnya, si wartawan hanya pandai menodongkan alat perekam tanpa mau bersusah payah menggali data sendiri.

Mari kita perhatikan paragraf ketiga. Di sana terdapat kalimat: “Karena seperti diketahui, standar gaji hakim itu sudah relevan diberikan oleh negara.”

Itu merupakan kutipan langsung dari narasumber. Ia sama sekali tidak memberi penjelasan mengenai berapa sesungguhnya gaji yang diterima hakim. Ia juga tidak menghadirkan argumen yang memadai. Dengan demikian, pernyataannya itu menjadi tidak terukur—kalau tidak boleh dikatakan ngawur.

Sekadar diketahui, hakim merupakan pejabat negara. Mereka bukan PNS. Selaku pejabat negara, kedudukan mereka sejatinya setara dengan anggota DPR, menteri, dan gubernur.

Lantas, selaku pejabat negara, besarkah gaji mereka? Kenyataannya, gaji mereka sangat-sangat jauh dibanding gaji anggota DPR, menteri atau gubernur.

Berdasarkan PP PP 10/2007, gaji hakim golongan III/a dengan masa kerja 0 tahun adalah Rp 1.796.900. Sedangkan gaji hakim golongan IV/e, atau tertinggi, dengan masa kerja 32 tahun adalah Rp 4.525.400.

Dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diembannya, tepatkah hakim bergaji segitu?

Belum lagi, paling tidak selama 3 tahun sekali, para hakim mesti pindah tempat kerja, baik karena mutasi maupun promosi. Sementara itu, banyak pengadilan tidak dilengkapi rumah dinas. Para hakim, kecuali sudah jadi pimpinan pengadilan, juga tidak dibekali mobil dinas. Karena itu, hakim yang tinggal di rumah kontrakan dan pergi ke tempat kerja menggunakan sepeda motor butut merupakan pemandangan yang gampang dijumpai di berbagai daerah.

Nah, apakah hal ini diketahui dan dipahami si penulis berita dan narasumbernya?

Ketiga, narasumber dalam berita ini ternyata tidak paham hukum tata negara. Ia tidak bisa membedakan kedudukan dan fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Perhatikan pernyataannya berikut ini:

Apabila ternyata di Indonesia masih banyak hakim nakal, pemerintah pun harus mampu bertindak tegas dengan menonpalukan hakim bermasalah itu. Pemerintah harus terus melakukan pemeriksaan kepada para hakim nakal. Karena apabila pemerintah tidak tegas dalam hal ini, maka saya pesimistis keadilan yang bisa dirasakan masyarakat akan terwujud.

Mari kita uji pernyataannya. Para hakim merupakan individu-individu yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Mereka bekerja di pengadilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Ada juga hakim Mahkamah Konstitusi, tapi yang ini di luar konteks pembicaraan kita.

Mahkamah Agung beserta empat lingkungan peradilan di bawahnya merupakan lembaga yang independen. Sejak 2004, lembaga ini resmi lepas dari pemerintah (eksekutif).

Sebelumnya, urusan anggaran, administrasi dan kepegawaian untuk Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dikelola Departemen Kehakiman dan untuk Peradilan Agama dikelola Departemen Agama. Sekarang, Mahkamah Agung tidak hanya mengurusi teknis yustisial, tapi juga mengelola anggaran, administrasi dan kepegawaian. Hanya Peradilan Militer yang belum bisa sepenuhnya berada satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Dasar hukumnya adalah Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945 hasil amandemen ke-4. Di sana disebutkan secara gamblang kedudukan dan fungsi Mahkamah Agung. Dasar hukum lainnya adalah UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan demikian, pemerintah tidak punya wewenang mengawasi, memeriksa, apalagi menonpalukan hakim. Pengawasan itu menjadi wewenang Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Sekarang, mari kita perhatikan paragraf pertama berita itu. Disebutkan di sana bahwa narasumber adalah Ketua Lembaga Pemerhati Hukum dan Kebijakan Publik Jawa Barat.

Saya curiga, nama lembaga itu sekadar buat gagah-gagahan saja. Ini patut disayangkan, karena—disadari atau tidak—berbagai pernyataannya berpotensi memperbodoh konsumen media.

Herman Hasyim adalah konsumen media. Tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun