Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Perceraian Aa Gym dan Kesalahan Jawa Pos Group

6 April 2011   20:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04 4119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_100520" align="aligncenter" width="640" caption="Aa Gym/ (Johan Sompotan/Okezone)"][/caption] Untuk kali kesekian, rumah tangga KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym menjadi bahan pemberitaan media massa. Belum lama ini muncul berita Aa Gym berusaha menceraikan istri pertamanya, Ninih Mutmainah atau Teh Ninih, melalui Pengadilan Agama Bandung. Permohonan cerai itu terdaftar pada 14 Maret 2011 dan sidang perdana akan digelar pada 19 April nanti.

Saya tidak ingin menyorot kisruh rumah tangga pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid itu. Saya akan mengulas sisi lain, yaitu bagaimana media massa memberitakan persoalan tersebut.

Mari kita tengok berita berjudul Aa Gym Gugat Cerai Teh Ninih yang dipublikasikan jpnn.com pada Sabtu, 2 April lalu. JPNN merupakan singkatan dari Jawa Pos National Network. Berbasis di Surabaya, Jawa Pos Group adalah salah satu penguasa media massa cetak di Indonesia selain Kompas-Gramedia Group.

Saya mencatat terdapat dua kesalahan mendasar dalam berita tersebut. Kesalahan pertama dapat kita temukan di paragraf ke-4. Di situ tertulis:

Dia menjelaskan, saat ini berkas gugatan Aa Gym sudah diterima oleh pengadilan Agama Bandung, dan sidang yang akan digelar pada 19 April 2011 yang rencananya dipimpin oleh 3 majelis hakim, satu di antaranya adalah Acep sendiri.

Perhatikan kalimat yang huruf-hurufnya sengaja saya cetak tebal. Informasi yang disampaikan si penulis berita jelas-jelas keliru.

Sebuah perkara tidak mungkin disidangkan oleh tiga majelis hakim. Di pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara tertentu yang tidak mengandung sengketa, proses persidangan dilaksanakan oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim. Rinciannya: seorang ketua majelis dan dua anggota majelis.

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, jumlah dan susunan hakim memang berbeda. Secara keseluruhan, majelis hakim terdiri dari lima orang hakim. Demikian juga di Mahkamah Konstitusi. Rapat pleno majelis hakim di lembaga ini terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Meski demikian, benang merahnya jelas: satu perkara tidak mungkin diselesaikan oleh lebih dari satu majelis hakim.

Jadi, nyata sekali kesalahan penulis berita tersebut. Sangat tidak mungkin sebuah perkara di Pengadilan Agama ditangani oleh tiga majelis hakim yang berbeda.

Itu tadi kesalahan pertama. Kesalahan kedua dapat kita lihat di paragraf ke-7. Perhatikan:

Persidangan sendiri akan dilangsungkan secara tertutup sesuai dengan Undang-undang No 7 Tahun 1985. Dalam UU tersebut penggugat dan tergugat diharapkan bisa menghadiri persidangan, namun diizinkan untuk diwakilkan oleh kuasa hukumnya.

Si penulis berita rupanya salah dalam mengutip pernyataan narasumbernya, yaitu juru bicara Pengadilan Agama Bandung Acep Saifuddin.

Mari kita cek. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1985 sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan peradilan agama. Ini adalah Undang-Undang tentang Tambahan dan Perubahan Atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1984/1985.

Sejatinya yang disampaikan oleh narasumber adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Bagaimana saya tahu ini adalah kesalahan penulis berita, bukan kesalahan narasumber? Gampang saja. Si narasumber adalah hakim Pengadilan Agama yang tentu saja mengetahui seluk-beluk UU 7/1989 sebagai payung hukum yang menaungi institusinya. Mana mungkin hakim Pengadilan Agama menggunakan UU 7/1985 yang sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan peradilan agama?

Di luar dua kesalahan fatal itu, saya menemukan beberapa kesalahan atau kekurangtepatan penulisan berita. Baiklah, saya sodorkan sebuah contoh yang menggelitik. Terdapat tujuh kata “sendiri” di berita yang terdiri dari 13 paragraf ini yang sebagian besar digunakan secara tidak pas. Ayo, perhatikan:

Sementara sidang perdana sendiri dijadwalkan pada 19 April 2011. (Paragraf ke-2)

Dia menjelaskan, saat ini berkas gugatan Aa Gym sudah diterima oleh pengadilan Agama Bandung, dan sidang yang akan digelar pada 19 April 2011 yang rencananya dipimpin oleh 3 majelis hakim, satu di antaranya adalah Acep sendiri. (Paragraf ke-4)

Persidangan sendiri akan dilangsungkan secara tertutup sesuai dengan Undang-undang No 7 Tahun 1985. (Paragraf ke-7)

Aa Gym sendiri sudah menunjuk seorang penasihat hukum bernama Jenal yang terdaftar sebagai pengacara di daerah Banjar. (Paragraf ke-10)

Proses persidangan sendiri belum dapat diprediksi berlangsung berapa lama. (Paragraf ke-10)

Aa Gym dan Teh Ninih sendiri, sudah membina rumah tangga selama hampir 21 tahun dan telah dikaruniai 7 orang anak. (Paragraf ke-12)

Aa Gym dan Teh Ninih sendiri kabarnya memutuskan untuk pisah rumah sejak 2009 silam. (Paragraf ke-12)

Dapat diambil kesimpulan, si penulis berita kurang menguasai bahasa tulis sehingga bahasa lisannya terasa sangat kuat dalam berita yang dihasilkannya. Payahnya, editor membiarkannya lolos begitu saja.

Kesalahan beranak-pinak

Kesalahan-kesalahan di atas sebenarnya sangat tidak pantas dilakukan oleh jaringan berita bertaraf nasional seperti JPNN. Sebab, JPNN adalah penyuplai berita untuk puluhan—bahkan mungkin ratusan—media yang bernaung di bawah Jawa Pos Group.

Bagaimanapun juga, akurasi tidak bisa ditawar dalam dunia jurnalistik. Bolehlah kalau cuma kesalahan titik koma, tetapi bagaimana dengan kesalahan dalam penulisan Undang-Undang?

Parahnya, berita yang mengandung kesalahan itu tidak hanya tampil di situs jpnn, tetapi juga dimuat di berbagai media cetak yang persebarannya dari Aceh sampai Papua Barat. Bayangkan, berapa banyak orang yang menerima informasi tidak akurat setelah membaca berita ini?

Satu lagi. Berita seperti ini biasanya akan disusul dengan berita-berita lanjutan. Bagaimanapun juga, Aa Gym adalah sosok bernilai berita tinggi sehingga perkembangan proses perceraiannya punya potensi besar untuk diikuti oleh banyak konsumen media.

Nah, biasanya, berita-berita lanjutan memerlukan latar belakang (back ground) yang memadai. Sangat mungkin, sejumlah data yang terdapat dalam berita yang saya ulas ini akan dipakai untuk penulisan berita berikutnya.

Karena itu jangan heran bila berita-berita berikutnya mengenai proses perceraian Aa Gym di Jawa Pos Group juga mengandung sejumlah kesalahan. Itulah yang saya sebut sebagai kesalahan beranak-pinak.

Sebagai konsumen media, kita perlu mengetahui hal-hal mendasar ini agar tidak mudah menjadi korban media massa yang suka meremehkan persoalan akurasi.

Bandung, 7 April 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun