Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pedagang tempe di Pasar Depok

berminat dengan tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

TVRI Harus Berada di Hati Masyarakat. Siapa Bisa?

15 Februari 2020   13:10 Diperbarui: 15 Februari 2020   19:11 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing kisruh TVRI setelah pemecatan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama (Dirut) nampaknya segera berakhir. Dewan Pengawas (Dewas) TVRI telah merilis 30 nama yang telah mendaftar untuk menjadi Dirut TVRI untuk menggantikan Helmy, setelah sang raja kuiz dan reality show itu seperti "melempar handuk", meskipun sebelumnya menggebu-gebu akan membawa perkara pemecatan dirinya ke ranah hukum.

Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa sosok yang pas untuk menduduki posisi Dirut, dengan kriteria cakap di mata Dewas dan mampu membawa TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang bisa diterima oleh masyarakat. Kita tahu, sejak lahirnya televisi swasta di Indonesia, TVRI yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat dan acara-acaranya selalu ditunggu oleh masyarakat -- baik drama maupun berita -- kemudian ditinggalkan.  Jatuh bangun pengelola berusaha membangkitkan TVRI, tetapi sia-sia, karena penampilannya yang "old fashion"!

Kedatangan Helmy Yahya seakan memberi oase baru. Mampu menarik perhatian masyarakat melalui gebrakan-gebrakan yang dilakukan, baik dalam memberikan tontonan maupun pengelolaan manajemen. Di bawah Helmy Yahya, perubahan yang paling nyata adalah pergantian logo TVRI lama dengan logo baru yang mirip logo DWTV Jerman (entah disengaja atau tidak); pergantian seragam karyawan dari biru muda dan biru tua menjadi hitam dan coklat. Di bidang manajemen ada perbaikan kinerja, terbukti dengan pemberian predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan; di bidang siaran kualitas gambar TVRI menjadi lebih bersih, dan masuknya tayangan favorit seperti Liga Inggris dan Bulutangkis, yang selama -- sejak era TV Swasta -- hanya bisa ditonton di TV Swasta.

Dengan gebrakan barunya itu masyarakat awam menilai Helmy sudah melakukan pencapaian luar biasa. Apalagi bisa menghadirkan tayangan Liga Inggris, sebuah tontonan favorit yang selalu ditunggu penggemar sepakbola di tanah air, terutama oleh mereka yang bosan dengan Liga Indonesia yang terindikasi penuh kepalsuan, riuh dengan perkelahian pemain maupun supporter, dan hanya menarik karena keterlibatan pemain asing. 

Helmy sendiri menyebut Liga Inggris yang diperoleh dengan biaya murah dari Mola TV sebagai "killer program" -- program yang mampu memaksa masyarakat untuk menonton. Dengan adanya tayangan Liga Inggris, masyarakat yang selama ini telah meninggalkan TVRI, kembali lagi. Walau pun setelah Liga Inggris usai mungkin akan melengos lagi.

Belakangan, tayangan Liga Inggris itulah yang menjadi batu sandungan baginya. Dewas menilai Liga Inggris tidak sesuai dengan budaya bangsa, berpotensi menimbulkan kerugian finansial bagi TVRI, dan tayangan seperti itu bukanlah "core bisnis" TVRI. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang dibiayai dengan APBN, seharusnya TVRI tidak menghambur-hamburkan uang untuk membeli tayangan yang lazimnya ada di TV Kabel atau televisi swasta. Alasan-alasan itulah, di antaranya, yang membuat Helmy Yahya didepak.

Kita tutup saja cerita Helmy Yahya. Kecuali dia benar-benar akan membawa masalah pemecatannya ke pengadilan, seperti isyarat yang disampaikannya ketika melakukan konperensi pers di Restoran Pulau Dua bersama pengacaranya Chandra Hamzah (eks Komisioner KPK), awal Januari.

Kini 30 orang telah memasukan lamannya untuk menjadi Dirut TVRI. Mereka adalah:  1. Yungki Gusti Randa, 2. SH, Imam Brotoseno, 3. Rodlany Anderes L. Tobing, 4. Buyung Wijaya Kusuma, 5. Hendra Budi Rachman, 6. Ir., MM., Dr. Ir. Daniel Alexander Wellim Pattipawae, MSi. 7. J. Erwiantoro, 8. Rudy Budiman, SE., C.pD., 9. Agus Masrianto, S.Si., MM., 10. Partiman, 11. Dr. Andre Notohamijoyo, S.Sos., MSM., 12. Zainuddin Latuconsina, SE., MSi., 13. Widodo Edi Sektiono, 14. Aji Hardianto Erawan, SE., MM., 15. Taufan Syah, Ak., CA., 16. Dr. Zahera Mega Utama, SE., MM., 17. R. Sudariyanto, SH., MH., 18. Slamet Suparmaji, S.Si., MM., 19. Ida Bagus Alit Wiratmaja, SH., MH., 20. Audrey G. Tangkudung, 21. Drs. Wisnugroho, MM., 22. Akmal Yusmar, 23. Yuma Shannelom, 24. Drs. M. Haris Subagio, MM., 25. Charles Bonar MT. Sirait, 26. Agus Prijadi, 27. Ir. Suryopratomo, 28. Fuji Yama ST, Mba., 29. Farid Subkhan, 30. Aat Surya Safaat.

Dari ke-30 nama pendaftar Calon Dirut TVRI itu memiliki latar belakang macam-macam: Mulai dari pengacara, sutradara film, artis, presenter, akademisi, pengusaha, ahli IT, wartawan, hingga karyawan TVRI sendiri. Semua pendaftar adalah orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan riwayat pekerjaan yang baik.

Tanpa melihat latar belakang pendidikan dan riwayat pekerjaan para pelamar, menurut hemat penulis, sudah waktunya Dirut TVRI dijabat oleh orang-orang yang berpikir out of the box tetapi dalam koridor kepentingan bangsa dan negara ke depan. Orang-orang yang berpikir biasa-biasa saja, terlalu text book rasanya bukan sosok yang tepat untuk membangun TVRI.

Pemerintahan kita memiliki pengalaman dalam mengisi orang-orangnya di Kabinet. Khusus di era pemerintahan Presiden Jokowi, ada satu sosok Menteri yang fenomenal: Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti. Ketika Jokowi memilihnya sebagai menteri, banyak yang pesimistis mengingat latar belakang pendidikan dan kehidupan pribadinya. Ternyata kemudian Susi Pujiastuti menjadi Menteri berkinerja baik walau melawan banyak kepentingan, karena pemikiran-pemikirannya yang out of the box demi kepentingan NKRI. Sampai saat ini Susi Pujiastuti dikenang sebagai Menteri yang berhasil menyelamatkan kekayaan laut Indonesia.

Dewas TVRI mungkin bisa melihat catatan sejarah itu, kemudian memetik pelajaran untuk memutuskan sosok seperti apa yang patut memimpin TVRI ke depan. Latar belakang pendidikan dan riwayat pekerjaan calon, hendaknya bukan persyaratan yang membuat Dewas silau. Sebab tidak sedikit pemilik gelar bererot dan jabatan mentereng adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak lurus, cari aman dan oportunis. Orang-orang seperti itu selalu mencari kesempatan dan mengincar jabatan terbaik bagi dirinya. Tentu bukan sosok seperti itu yang dibutuhkan TVRI.

Ketika memimpin TVRI, Helmy Yahya juga berpikir out of the box. Sayang aplikasinya kurang tepat. Untuk menyedot perhatian masyarakat terhadap lembaga penyiaran yang dipimpinnya, dengan membeli "killer program" Helmy ibarat membawa gula-gula kepada anak-anak. Ketika gula-gula itu habis, anak-anak tak peduli lagi.

Dirut TVRI hendaknya bisa membawa program-program TVRI ke hati masyarakat, melalui local content yang bisa dibuat. Begitu banyak yang bisa digali dari bangsa yang kaya budaya dan sumber alam ini untuk dikemas ke dalam program-program televisi. Yang terpenting adalah bagaimana bentuk kemasan yang ditawarkan agar eye catching. TVRI tidak perlu meniru TV Swasta yang orientasinya memang bisnis dan menghalalkan banyak cara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun