Mohon tunggu...
Herman Herman
Herman Herman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Jangan melangkah tanpa mimpi, tanpa harapan, tanpa tujuan untuk sukses"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fiksi

16 Desember 2012   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:32 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

KETIKA “TERANG” LAGI BERSINAR

Terang  seperti anak kebanyakan,  dengan sifat riangnya dengan mudah dapat bergaul dengan siapa saja teman sebanyanya, meski itu  baru pertama kali  kenalan.  Kala itu Terang  baru berusia  6 tahun sudah duduk dibangku sekolah dasar bersama anak saya Rama yang pada waktu itu berumur  5 tahun 9 bulan.
Terang memang tergolong anak yang cerdas karena dia bisa diterima  di Sekolah Dasar meski baru berusai 5 tahun, yang seharusnya anak seusia dia masih berada di Taman Kanak-Kanak. Kehidupan keluarga Terang kurang lebih hamper sama dengan kami, bedanya kedua orang tua Terang  bekerja di perusahaan yang bonafit meski hanya pegawai rendahan, sementara aku  bekerja  sebagai sopir  angkot dengan penghasilan tak menentu.
Kedua orang tuanya  sangat sayang  terhadap  Terang, apapun yang diminta olehnya selalu dibelikan meski itu  dengan utang terlebih dahulu. Rama anak saya selalu berkunjung kerumah Terang, karena tertarik dengan mainan-mainan Terang yang bagus-bagus, pergaulan mereka masih layaknya anak – anak kebanyakan yang penuh keceriaan dan canda tawa, orang tua Terang pun tidak masalah dengan kedatangan Rama dirumah mereka. Disamping karena Rama anaknya juga sopan, Rama juga mau disuruh oleh mereka untuk  membantu  mereka, misal membelikan apa yang mereka butuhkan  di warung tetangga dekat rumah.
Seiring dengan perjalanan waktu, ayah  dan ibu Terang  yang bekerja di perusahaan yang sama, perusahaan mereka membuka cabang, oleh bos mereka menugaskan ayah Terang untuk ikut pindah disana, kebetulan lokasi perusahaannya berbatasan kabupaten dengan tempatnya saat ini, jadi perjalanannya pun masih bisa ditempuh dengan angkutan darat.
Dalam perjalanan karir ayah Terang, cukup cemerlang dan akhirnya ayah Terang pun mendapat promosi jabatan, kabar itu pun langsung tersiar diseluruh penjuru RT 001/RW 03 tempat kami tinggal. Hari demi hari karirnya semakin melejit,  keadaan ekonomi mereka pun semakin membaik, dan  Terang pun semakin manja dengan berbagai fasilitas yang terus diberikan padanya, sehingga terkadang si Rama anak saya bertanya ‘papa mengapa kita tidak seperti mereka ya’. Aku pun hanya mencoba menghibur anak saya Rama “nak kita harus bersyukur masih bisa kita makan, kita kaya seperti  keluarga Terang itu juga ujian, sabar ya nanti kita usaha” tapi dalam hati saya ya usaha apalagi sekolah ngak punya namun harapan itu masih tetap ada.
Gelimang harta yang mereka peroleh ternyata, membuat mereka lupa, akan masa lalu mereka, yang tadinya selalu ramah dengan tetangga jadinya cuek dan terkesan tertutup, tidak mau lagi berbagi seperti dulu masih seperti kami. Rama pun yang berkunjung mulai sering mendapat perlakuan kasar dari  ibu Terang. Mungkin karena sering melihat ibunya mengusir si Rama, Terang pun mulai ikut-ikutan memperlakukan Rama dengan kasarnya sehingga tidak jarang Rama pulang dengan tangisnya yang membuat istri saya  Mala terkadang terbawa emosi ingin marah dan berkelahi dengan orang tua Terang, namun aku selalu menasehati “ anak-anak ko diambil hati” awalnya  istri saya tidak menerima dan terkadang muncul kata-kata hardikan  darinya “ dasar  baru kaya”. Akupun mendengar itu terkadang tersenyum saja, dalam hati berdoa mudah-mudahan istri saya selalu  menyadari hal itu agar tidak terjadi pertengkaran dengan tetangga.
Kehidupan semakin miris dengan rusaknya angkot yang saya bawa, bosku bilang akan dibelikan gantinya namun belum juga ada karena bos saya ternyata lagi terkendala juga dalam masalah keuangan, kerena  istrinya yang suka menghambur-hambur uang dengan foya-foya. Kami pu sekeluarga semakin dihinanya oleh mereka.
Karir ayah Terang semakin gemilang, namun tidak segemilang prestasi anaknya Terang, namun keangkuhanlah yang menghiasi  Terang dan  semakin menjadi-jadi. Perlakuan kasar Terang terhadap Rama pun  bukan hanya dirumah atau dilingkungan kami saja, tapi   juga sampai di sekolahan mereka, karena mereka satu sekolah hanya beda kelas aja kebetulan Rama sekarang sudah mulai berprestasi sehingga duduk dikelas yang lebih unggul dari  Terang, yang terkadang membuat Rama jadi ilfil juga tapi sering kuberi motivasi “ hari ini dia kasari kamu besok setelah kamu jadi orang berhasil belum tentu” kata ku Rama pun sering bertanya oh gitu ya papa, gimana supaya kita bisa jadi orang berhasil, akupun hanya menjawab dengan polosnya “ya   jadi orang baik dan belajar”.
Waktu pun terus berputar,  Terang dan Rama pun  telah berhasil menyelesaikan Ujian Akhir Nasional (UAN), Rama dengan hasil yang sangat memuaskan sedangkan Terang hanya memenuhi standar aja. Alhamdulilah, kata itulah yang terucap dari bibir saya ketika Rama anak saya diterima di sekolah faforit idaman anak saya Rama, namun kegembiraan itu sirna seketika pada saat Rama bilang Terang juga lulus keterima disana, akun heran kok bisa ya. Akupun berusaha menghibur Rama sabar ya orang curang jauh dari kebehasilan, Rama pun bertanya curang gimana ya papa,  akun tidak bisa menjawabnya takut aku berdosa karena aku tidak tahun persoalannya secara pasti, hanya ku menjawabnya nanti deh papa beri tahu lain kali ya.
Aktivitas sekolah pun mulai, Rama dengan angkot menjadi teman setianya pulang dan pergi dengan bahagianya, sedangkan terang  yang awalnya sering diantar oleh ibunya dengan mobil, belakangan terlihat Terang berangkat dengan motor sendirinya. Memang lokasi sekolah dengan lingkungan kami tinggal hanya  sekitar 2 kilometeranlah tapi kan itu berbahaya anak dibawah umur sudah bawa kendaraan sendiri, kembali lagi terketus dalam hati ah itu kan urusan orang tua dia.
Setelah tiga bulan sekolah mulai tersiar kabar, Terang sering pulang mabok dilingkungan, orang tua Terang pun secara bergantian mendapat panggilan dari Sekolah, namun karena orang tua Terang dihormati karena kaya masih diberi toleransi, sampai pada suatu hari Terang pun  terlibat Tawuran yang menyebabkan nyawa  salah seorang siswa pada sekolah lain melayang sia-sia.  Terang  jadi buronan polisi  karena diduga dialah pelaku pembunuhan tersebut. … untuk kisah selanjutnya ikuti dalam “Ketika Terang Tiada dan Kembali  Lagi”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun