Mohon tunggu...
Hermawan Wibisono
Hermawan Wibisono Mohon Tunggu... -

Mantan anggota Teater Mlarat Malang, Penulis buku pada penerbit Yudhistira, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Asosiasi

17 Februari 2014   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Phobia memang lucu bahkan juga aneh. Bayangkan seorang yang hanya membayangkan “tahu” saja, bisa begidik mak bedudug (pinjem bahasa Mas Moel). Apalagi melihat, memegang atau memakan.

Namun sebenarnya ada juga yang menarik pada orang yang phobia, yaitu proses apa yang sebenarnya terjadi pada benaknya sehingga phobia itu terjadi ?

Ternyata dipandang dari segi “memori” ini merupakan hal yang luar biasa. Ketika seorang terpicu phobia-nya, maka terjadi proses “asosiasi” atau proses mengkaitkan atau menghubungkan dengan pengalaman di masa lalu yang seringkali sudah sangat lama yang hampir mustahil diingat dalam keadaan normal.

Kita maklum bahwa salah satu ciri kecerdasan adalah kemampuan untuk membuat asosiasi-asosiasi. Dengan kata lain orang yang terjangkit trauma, memiliki ingatan dan kekuatan asosiasi yang sangat luar biasa terhadap kejadian masa lalunya (episodic memory). Dan ketika ditemukan pemicunya (trigger / anchor), maka phobia itu kambuh lagi.

Nah tentunya ingatan itu di dalam sel-sel otak kita disimpan dalam bentuk VAKOG (Visual, Auditory, Kinesthetic, Olfactory dan Gustatory). Misalnya pada orang yang phobia tahu, maka ketika pemicu itu datang, segera ia teringat pada gambaran kejadian yang menjadikan phobia (visual), suara-suara yang menyertai (auditory), rasa-rasa yang mengikuti (kinesthetic), bau-bau yang ada (olfactory), dan rasa-rasa dalam pengecapan yang ikut serta (gustatory).

Sayangnya, asosiasi seperti itu bersifat mengganggu atau merugikan. Sebaliknya kalo kita mampu membuat asosiasi-asosiasi yang positif, itulah yang kita sebut sebagai cerdas dan kreatif. Oleh karena itu siswa atau mahasiswa yang kaya asosiasi positif, maka siswa atau mahasiswa itu, biasanya cerdas dan kreatif.

Dalam benak saya kemudian saya berkata, mungkin inilah sebabnya kita diperintahkan untuk rajin bersyukur. Dengan rajin bersyukur berarti kita memperkuat asosiasi kita terhadap hal-hal baik dan positif yang pernah terjadi, dan yang sedang ada pada diri kita. Semakin banyak kita terhubung dengan hal-hal yang positif, insyaa Allah kehidupan kita pun juga semakin positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun