Aku mengenalnya sebagai sosok ayah yang begitu bertanggung jawab dan sayang kepada keluarga. Terutama kepadaku, anak perempuannya. Sejak kecil aku begitu dimanja, apa pun yang aku mau, pasti dengan segera dikabulkannya. Aku baginya sudah seperti harta yang paling berharga dalam hidupnya. Ayah pernah mengatakan itu kepadaku. Betapa bahagianya aku. Aku merasa anak paling berharga yang terlahir di keluarga Ayah.Â
Namun, seiring bertambahnya usiaku. Ketika aku berusia dua belas tahun, semua berubah. Perlakuannya, tanggung jawabnya dan segala hal yang aku minta selalu saja ia tunda-tunda, bahkan tak jarang selalu menolaknya dengan alasan yang aku rasa tak masuk akal.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Ayah memperlakukanku seperti itu. Seorang bayi mungil yang beberapa bulan terlahir dari rahim Ibu yang membuatnya berubah drastis kepadaku. Perlakuannya yang begitu spesial kepadaku dulu, berganti kepada bayi mungil itu.Â
Aku mulai jarang di rumah. Rasa cemburuku membuatku tak betah tinggal di rumah. Bagiku rumah hanya sekadar tempat untuk tidur saja, selebihnya aku habiskan waktuku di sekolah dan di mana saja.
Hidupku pun semakin hancur ketika sebuah rahasia menghantam diriku begitu hebatnya. Bu Rasmi pemilik warung soto itu berkata padaku, "Ya jelas sekarang Bapakmu sayang adikmu, la wong kamu tuh cuma anak angkat saja. Anak yang sengaja diangkat untuk pancingan agar istrinya bisa hamil."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H