Kulihat tanganmu menari, terus menuliskan kata demi kata. Menjadikannya sebait puisi, tentang sebuah perasaan di mana hatimu yang bicara.Â
Ah kau ini, sebegitu mudahnya meracik kata, demi sebuah persembunyian yang kerap kau jadikan tempat berkeluh kesah, tempat mengadu bagaimana kau mencintainya.Â
Kau terus saja meracik. Seolah kata adalah candu paling merdu yang harus kau tuntaskan, seperti rindu hati sebab tertundanya sebuah pertemuan mata.Â
Di sini, aku sang penikmat yang begitu kidmat membaca setiap hasil racikanmu, menuntaskannya hingga tiada sisa menggantung dalam pikir. Namun aku tak ingin mencari, arah tujuanmu yang begitu tersirat di sana. Sebab sudah kubaca ke mana hatimu berlabuh sejak tanganmu mulai meraciknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H