Mohon tunggu...
herliyana
herliyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi uin syraif hidayatullah Jakarta

saya suka bernyanyi, menulis, dan membaca majalah. aktivitas sepanjang hari di rumah membantu mamah mengerjakan aktivitas kuliah, dan saya sangat senang meonton film drama korea dan series lokal.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Tani Huma Suku Baduy sebagai Solusi Involusi Pertanian dalam Pembangunan

25 Juni 2022   07:01 Diperbarui: 4 Juli 2022   19:11 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

               Menurut (Barat 2018) Istilah involusi dipakai oleh Geertz dalam masalah pertanian. Menurut Geertz involusi pertanian adalah kemandekan atau kemacetan pola pertanian yang ditunjukan oleh tidak adanya kemajuan yang hakiki. Involusi adalah kebalikan dari evolusi, dan Geertz melihat konsep ini dibawa oleh pihak Kolonial Belanda untuk memajukan pertanian di Jawa, namun pada kenyataannya pertanian di Jawa tidak mengalami kemajuan bahkan malah sebaliknya menyebabkan involutif. Kemudian banyak juga faktor yang memang menyebabkan mengapa involusi pertanian terjadi yaitu bisa disebabkan oleh;  hubungan ekologi dan budaya masyarakat, lahan sawah meyempit, peraturan pemerintah, pemasaran dan sistem pengolahan pertanian, modal bahkan pertumbuhan penduduk.

             Strategi huma adalah sistem pertanian dengan menggunakan ladang sebagai media tanam padi. Dalam pandangan involusi pertanian pola menghuma bisa dikatakan pola tani yang masih tradisional dan sulit untuk mengasilkan hasil tani melimpah dan sebaginya. Menurut (Jamaludin 1959) ngahuma (berladang) adalah suatu sistem/pola pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang direncanakan. Proses itu berlangsung secara perputaran (siklus). Dari segi sejarah munculnya sistem/pola pertanian, ngahuma merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam.

           Salah satu wilayah Pulau Jawa yang masih menetapkan sistem huma ini adalah Baduy.  Masyarakat Baduy adalah bagian dari kelompok masyarakat suku Sunda yang masih kental akan adat istiadatnya. Baduy sendiri berada di Desa kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pulau Jawa.  Ladang pertanian, bahkan perkebunan menjadi sumber utama pencaharian masyarakat Baduy dalam mempertahankan hidup. Berladang bagi masyarakat Baduy dianggap sebagai  bagian dari kepercayaan mereka yaitu Sunda Wiwitan (Sunda asli). Maka dari itu,  sistem perladangan masyarakat Baduy dari waktu ke waktu dipertahankan oleh masyarakatnya.

            Sistem pertanian huma sudah dilakukan oleh masyarat Baduy secara turun temurun bisa dikatakan bahwa menghuma adalah cara tanam padi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka hingga sekarang.  Walaupun di jaman sekarang yang dimana banyak lahan sawah dibuat pembangunan, Suku Baduy tidak begitu merasakan dampaknya, walaupun memang daerah mereka anti pembangunan, tapi setidaknya  krisis pangan dan kelaparan tidak dirasakan oleh mereka walaupun letak geografisnya sangat minim akan lahan persawahan. Karena mereka menerapkan strategi menghuma walaupun masyarakat Baduy menanam padi bukan di lahan sawah namun tidak dapat dipungkiri, bertani melalui huma bisa menghasilkan padi yang melimpah juga mencukupi kebutuhan pokok.

  Pembahasan

  • Involusi pertanian

a. Pengertian involusi pertanian menurut Geertz

            Pada awalnya ternyata involusi pertanian dipakai oleh para ilmuan antropolog untuk meneliti kesenian. Kemudian, konsep involusi ini terus dilanjutkan oleh Alexander Goldenweiser, dia adalah seorang ahli  antropologi asal Amerika Serikat. Untuk menganalisis pola kebudayaan yang sulit untuk berkembang pada pola yang baru tapi pola kebudayaan ini terus tenggelam dan menjadi semakin rumit. Namun ternyata konsep seorang ahli antropolog ini mempengaruhi Geertz untuk menerapkannya pada bidang pertanian, maka dari itu menurut Geertz involusi pertanian adalah kemandekan atau kemacetan pola pertanian yang ditunjukan oleh tidak adanya kemajuan yang hakiki.

         b. Sejarah singkat involusi pertanian di Indonesia

             Pada masa kolonial, Jawa menjadi pusat perhatian para Kolonial Belanda dimana mereka menempatkan ekonomi kolonial mereka. Selama di Indonesia Belanda merampas semua produk pertanian  dan membawanya ke Negara mereka. Tetapi disayangkan produk pertanian yang dibawa oleh Belanda tidak berhasil di produksi di negaranya.  

  • Menurut Geertz involusi pertanian yang dibawa Belanda, memiliki tujuan untuk memajukan pertanian di Jawa tetapi sistem yang dibawa oleh pihak Belanda ternyata  tidak menimbulkan perkembangan kearah yang lebih baik, justru sebaliknya menyebabkan keadaan pertanian yang involutif, keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pertumbuhan penduduk di Jawa yang tidak sebanding dengan lahan yang tersedia, dan juga karena adanya dualisme antara kekuasaan dan ekonomi yaitu antara petani pribumi dan pemilik lahan.

  •            Dari segi ekonomi, kolonial Belanda membentuk struktur ekonomi yang tidak seimbang secara kronis dan pada kenyataannya secara intrinsik, terkadang disebut sebagai "ganda". Pada sektor ekspor, terdapat kapitalisme administratif, yaitu sistem di mana pemegang modal (Belanda), mengatur harga jual dan upah, mengontrol output, bahkan dalam mendikte proses produksi. Pada sektor domestik terdapat pertanian unit keluarga, sedikit industri rumah tangga, serta beberapa perdagangan internal kecil-kecilan. Terdapat pemisahan dua sektor dalam Ekonomi Hinia Belanda yang dualistik. Yang pertama ada sektor ekonomi ekspor modal besar, seperti adanya perkebunan tebu, yang mendapat dukungan kapitalisme, unsur pemerintahan yang membantu mempunyai kuasa dalam pengaturan upah dan harga, dan adanya sektor ekonomi pedesaan, dimana kedua sistem tersebut mencakup ekonomi subsisten pertanian masyarakat lokal dan mereka dipaksa untuk memberikan dukungan ‘subsidi’ yang di dalamnya berisi upah dan sewa tanah kepada sektor pertama yang menghasilkan gula. Adapun pola ekonomi yang dualistik dan menggabungkan pola ekonomi ‘padat karya’ milik pribumi dan ekonomi industri ‘padat modal’ milik penjajah.

  •           Saat itu juga, hamipr semua lahan di Pulau Jawa ditanami setiap taunnya. Para petnai pemilik lahan kecil rata-rata mereka tidak memiliki irigasi. Namun pada daerah yang memiliki irigasi, tanah pertanian mereka berupa sawah. Sedangkan pada daerah yang tidak memiliki irigasi, tanah mereka dipakai untuk palawija (sayuran, kacang, dan sebagainya) serta diusahakan untuk bergiliran antara tanam dan bersa (crop and fallow regime). Kemudian tata cara pembagian penanaman juga di bagi antara lahan sawah dan ladang, hal ini dilakukan agar dapat mengetahui perbedaan yang terlihat jelas dalam kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah, serta pada produktivitas pertanian di Indonesia. Lalu, terdapat sektor yang ada di dalam negeri, seperti satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan juga perdagangan kecil.

  •         Pada tahun 1870, Belanda memperkenalkan Hukum Tanah Agraria bersamaan dengan berbagai undang-undang tambahan. Undang-undang tersebut memberikan kemungkinan untuk mengalihkan tanggung jawab secara langsung serta untuk memastikan profitabilitas Jawa kepada perusahaan swasta sekaligus mencegah perusahaan itu menghancurkan ekonomi desa yang menjadi sandaran profitabilitas tersebut. Terdapat gagasan nyaman sejak interregnum Raffles yang menyatakan bahwa tanah terlantar yang tidak digarap merupakan milik negara dan tidak dapat dicabut untuk pertama kalinya secara resmi dikodifikasi, sehingga hal tersebut memungkinkan perusahaan perkebunan swasta untuk menyewakan tanah dengan dasar kontrak jangka panjang yang teratur dari Batavia juga memakai judul agar memperoleh kredit.

          c. Faktor penyebab involusi pertanian

  • Menurut Geertz, penyebab utamanya adalah pertanian di Indonesia:
  • 1.  Sistem pertanian yang di bawa pemerintahan Kolonial Belanda
  • 2. Hubungan ekologi dan budaya
  • 3. Tidak seimbangnya jumlah penduduk di Jawa dan lahan yang ada.
  • 4. Dualisme kekuasaan dan ekonomi antara petani pribumi dan pemilik lahan.
  •  
  • d.  Dampak involusi pertanian terhadap pembangunan di Indonesia
  • Menurut Geertz terdapat tiga dampak involusi pertanian terhadap pembangunan terutama pada pembangunan ekonomi:
  • 1. Terhambatnya pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya involusi pertanian yang dilakukan di Pulau Jawa, dan adanya peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan tenaga kerja, bukan pada pengembangan teknologi serta berakar pada shared poverty. Shared poverty ini adalah kondisi di mana kemiskinan terjadi secara merata di antara sesama anggota keluarga.
  • 2. Adanya distribusi penduduk. Merujuk pada penjelasan daftar pemilih Pemilu tahun 1955, dibandingkan dengan periode sebelumnya, rata-rata distribusi wilayah ini hampir sama. Distribusi penduduk dari wilayah yang minoritas dan hiperpopulasi (the minority-hyperpopulated district) kemudian berubah menjadi wilayah yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit penduduk (the mode).
  • 3. Banyaknya masyarakat yang melakukan urbanisasi dan pindah ke kota. Semakin menyempitnya lahan pertanian maka sebagian masyarakat yang tinggal di desa kemudian melakukan urbanisasi dan bekerja di kota. Dengan demikian, terjadinya interaksi dan adanya hubungan yang dilakukan menjadikan pengetahuan masyarakat yang melakukan urbanisasi lebih terbuka. Hal inilah yang mendasari mereka dalam melakukan urbanisasi, serta masyarakat yang melakukan urbanisasi berubah menjadi lebih rasional. Sementara itu, masyarakat tua atau para sesepuh tetap tinggal di desa dan tetap mempertahankan apa yang sudah diyakini oleh masyarakat desa selama ini.

  • Sistem perladangan di Indonesia
  •              Di Indonesia sistem perladangan sudah lama dikenal dan diperaktekan karena Indonesia termasuk pada daerah tropis di Asia. Sistem ladang yang dikenal seperti menggarap lahan pertanian secara perpindah-pindah di lahan hutan. Sistem perladangan lebih banyak diterapkan di lahan wilayah pedesaan. Menurut (Harianto, Ervina, dan R n.d.) di Pulau Jawa praktek pperladangan sudah hampir punah, kecuali masih ditemukan dibeberapa tempat seperti daerah Sukabumi dan Banten Selatan. Sistem perladangan yang lama punah ini di Pulau Jawa ternyata masih menyisakan satu daerah yang betul-betul masih memegang sisten perladangan dengan baik bahkan diterpakan hingga turun temurun. Sistem perladangan ini berada di wilayah Banten Selatan letaknya di daerah Baduy, desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Bahkan pertaian tradisional tersebut membawa banyak pengaruh positif bagi masyarakat terutama masyarakat baduy sendiri. Dan hal ini menciptkana ketertarikan mengapa bisa di tengah-tengah involusi dengan mengurangnya lahan akibat pertambahan penduduk terus menerus tiap tahunnya namun lahan mereka tetap bisa bertahan dan sistem pertanian tradisional masyarakat Baduy masih berkembang dengan baik.

  • Masyarakat Baduy di Indonesia
  •           Menurut (Wilodati 1992) nama Baduy berasal dari sebutan masyarakat luar, salah satunya adalah orang Belanda yang menyebut mereka dengan sebutan badoe’i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Rawayan. Kemudian, menurut cerita rakyat di Banten, Baduy berasal dari sebuah nama tenpat yang dijadikan tempat huniannya. Sendang yang bernama Cibaduy, tetapi nama Sendang Cibaduy lahir setelah lebih dulu masyarakat yang mengasingkan diri itu membuka kampung. Ada pendapat lain yang menyebutkan Baduy  berasal dari kata Budha yang artinya berubah menjadi Baduuy, dan baduy juga berasal dari kata Baduyut kata ini berasal dari nama tumbuhan yang banyak tumbuh disana yang dinamakan pohon Baduyut. Namun secara jelas kata Baduy lahir setelah masyarakat yang mengasingkan diri itu membangun perkampungan, yang sampai sekarang dikenal sebagai orang-orang Baduy.
  •           Masyarakat Baduy adalah bagian dari kelompok masyarakat suku Sunda yang masih kental akan adat istiadatnya. Ladang pertanian, bahkan perkebunan menjadi sumber utama pencaharian masyarakat Baduy dalam mempertahankan hidup. Berladang bagi masyarakat Baduy dianggap sebagai  bagian dari kepercayaan mereka yaitu Sunda Wiwitan (Sunda asli). Maka dari itu,  sistem perladangan masyarakat Baduy dari waktu ke waktu dipertahankan oleh masyarakatnya.         
  •            Baduy sendiri berada di Desa kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pulau Jawa. Dimana menurut (Baduy, Pendahuluan, dan Baduy 1992) luas Desa adat Kanekes mencapai 5.101,85 Ha. Dengan masyarakat asli Baduy 4.574 orang,  dan wilayahnya hampir tanpa ada dataran dan semata-mata terdiri dari bukit serta lembah dan sungai, sehingga menghuma banyak ditemukan didaerah Baduy dalam mengoptimalkan dan menyesuaikan keadaan geografis suku mereka.

  • Belajar dari Baduy, strategi tani tradisional (Huma) Baduy
  •          Involusi  pertanian ini bahkan masih dirasakan oleh masyarakat Jawa dari zaman kolonial hingga jaman modern sekarang,. Tapi pada dasarnya pulau Jawa sebagai pusat pertanian terbesar di Indonesia yang terdiri dari kekayaan suku dan keanekaragaman hayati, sebagian masyarakat di Pulau Jawa pastinya bisa mengolah pertanian semaksimal mungkin dan tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik kemandekan atau tidak majunya pertanian akibat berbagai faktor involusi, terdapat strategi  involusi pertanian yang bisa menyelematkan hidup para petani. Salah satunya adalah masyarakat tradisional suku Baduy dengan startegi pertanian huma.
  •          Strategi huma adalah sistem pertanian dengan menggunakan ladang sebagai media tanam padi. Dalam pandangan involusi pertanian pola menghuma bisa dikatakan pola tani yang masih tradisional dan sulit untuk mengasilkan hasil tani melimpah dan sebaginya. Menurut (Jamaludin 1959) ngahuma (berladang) adalah suatu sistem/pola pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang direncanakan. Proses itu berlangsung secara perputaran (siklus). Dari segi sejarah munculnya sistem/pola pertanian, ngahuma merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam. Di desa Kanekes dikenal lima macam tradisi huma berdasarkan fungsinya dan satu yang berada di luar Kanekes:
  • Huma serang, yaitu huma adat milik bersama, hanya terdapat dikawasan baduy dalam.
  • Huma puun, yaitu huma milik puun (ketua adat), huma ini khusus untuk puun beserta keluarganya selam ia menjabat menjadi ketua adat
  • Huma tangtu, huma yang diperuntukan khusus bagi keperluan warga kampung Tangtu (Baduy Dalam)
  • Huma tuladan, yaitu huma yang berada di kawasan kapung Penamping untuk keperluan upacara warga Baduy Luar
  • Huma penamping, huma untuk keperluan Baduy Luar
  • Huma urang Baduy, yaitu ladang di luar wilayah desa Kanekes yang dikerjakan orang Baduy Luar dan hasilnya diambil utnuk kepentingan keluarga masing-masing.
  •         Sistem pertanian huma sudah dilakukan oleh masyarat Baduy secara turun temurun bisa dikatakan bahwa menghuma adalah cara tanam padi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka hingga sekarang. Dan yang kita tahu bahwa suku Baduy sangat memegang kuat akan adat leluhur dan sangat menjaga alam, dengan tujuan menjaga hubungan dengan dewi kesuburan yang dipercaya oleh masyarakt Baduy yang dikenal dengan Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Sri, dan juga diharapkan agar hasil panen tetap baik dan mencukupi kebutuhan serta persediaan makanan pokok. 
  •      Sehingga ketika lahan sawah menyempit, pembangunan merajalela, teknologi pertanian semakin canggih, pupuk tanaman semakin bervariasi, pemasaran ekspor impor pangan, dan lain sebagainya sudah dikenal masyarakat luas, suku Baduy tetap antimodernisasi dan menggunakan sistem pertanian yang sudah ada sejak dulu yaitu menghuma. Namun walaupun begitu ternyata di jaman sekarang yang dimana banyak lahan sawah dibuat pembangunan, Suku Baduy tidak begitu merasakan dampaknya, walaupun memang daerah mereka anti pembangunan, tapi setidaknya  krisis pangan dan kelaparan tidak dirasakan oleh mereka walaupun letak geografisnya sangat minim akan lahan persawahan. Karena mereka menerapkan strategi menghuma, maka hasil huma masyarat Baduy baik padi, palawija dan umbi-umbian mereka kelola dengan cara berbeda, dimana hasil huma padi mereka simpan disebuah tempat penyimpanan padi yang disebut dengan leuit, dan hasil huma palawija dan umbi-umbian mereka jual ke pasar. Jadi walaupun masyarakat Baduy menanam padi bukan di lahan sawah namun tidak dapat dipungkiri, bertani melalui huma bisa menghasilkan padi yang melimpah juga mencukupi kebutuhan pokok.
  •       Maka cara tani tradisional bisa dibilang tidak selamanya menjadi pola tani yang menyebabkan involusi pertanian dan pertanian tidak maju sebagaimana yang dijabarkan oleh Geertz. Dengan kata lain bagaimana  melihat bahwa ternyata ada sisi positif yang tadinya menjadi involusi pertanian namun dibalik sebab itu ketika masyarakat bisa mengolah lahan sawah yang menyempit atau bahkan tidak ada lagi lahan sawah, sebenarnya banyak cara tani, seperti salah satunya menghuma atau cara menanam padi di ladang yang bisa diaplikasikan oleh petani Jawa atau petani lainnya. Dimana hasil huma yang dirasakan dan dibuktikan oleh suku Baduy tidak akan memberatkan pemerintah untuk impor beras ataupun krisis pangan dalam mensejahterakan masyarakat. Apalagi ketika semakin banyaknya petumbuhan penduduk dan banyak manusia yang berpindah ke kota yang berimplikasi pada lahan yang menyempit maka lahan-lahan yang tidak memungkinkan untuk dijadikan sawah dengan menerapkan sistem huma atau menanam padi di daratan bisa menjadi solusi agar masyarakat bisa tetap bertani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun