"Tidakkah ruang ini terlalu sesak untuk kita?" Aku bertanya seraya mengaduk kopi yang dia pesan.
Sementara matanya tetap melangkah pada deretan huruf-huruf dalam buku Filsafat, tak menghiraukan pertanyaanku dan udara di luar yg kian pekat.
"Aku tak bisa mengeja apapun dari dirimu" kataku lagi, menyodorkan secangkir kopi di sebelahnya. Namun tak ada yg berubah. Matanya terus melangkah, jari jemarinya makin kokoh menggenggam buku seperti belati, seolah tak goyah oleh hembusan angin yang menghajar tubuhnya berkali-kali.
"Mengapa kau simpan badai itu seorang diri?" Belum sampai kopi kuhirup, suaranya tetiba nyaring menghentakkan ku. Hawa ruangan berubah kaku.
"Ada banyak gelisah yg bergelantungan di sisi-sisi kerudungmu. Mengapa kau menyeret air matamu hanya di secangkir diksi? Bukankah kita hidup bersama untuk berbagi?" Katanya lagi melanjutkan.
Suara yg keluar dari mulutnya menggema, melekat di dinding-dinding rasa. Nafasku nyaris buntu, mata yg lama mendung tak kuasa kularung. Susah payah kukemas duka di punggung sepi, ternyata tak selamanya bisa sembunyi.
Lantas mata kami saling bertemu. Sedang mulutku kehilangan kata-kata dan redup.
"Kemari, dekaplah aku" katanya, menyapu seluruh resah di dadaku.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H