Kekerasan di Sekolah dan Penguatan Kemitraan Tri Pusat Pendidikan
Membaca dan mencermati informasi kekerasan di media massa, entah media cetak maupun elektronik, juga media daring yang terjadi di dunia pendidikan, hati kecil kita masing-masing ikut prihatin bahkan berempati terhadap para korban. Banyak orang tentu mengutuk keras tindakan-tindakan tersebut karena sangat mengganggu keadaan psikis atau kejiwaan para korban. Oleh karenanya, pengawalan dan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan mesti dilakukan secara tersistem agar ke depannya tidak terulang kembali.
Kekerasan di lembaga pendidikan teridentifikasi berupa kekerasan psikis, fisik, seksual juga bullying. Tim Sudah Dong dalam buku Panduan Antibullying untuk Pendamping Siswa (2022:7) menyebutkan 4 (empat) jenis bullying yang mesti diketahui dan dipahami. Pertama, bullying fisik. Jenis ini berupa pemukulan, menendang, menampar, meludahi atau segala bentuk kekerasan yang melukai fisik secara langsung termasuk penindasan secara asusila. Kedua, bullying verbal. Jenis bullying ini termanifestasi dalam bentuk celaan, fitnah, atau penggunaan kata-kata yang tidak baik yang menyakiti perasaan orang lain.
Ketiga, Â bullying relasional. Bullying jenis ini mencakup pengabaian, pengucilan, cibiran, dan segala bentuk tindakan untuk mengasingkan seseorang dari komunitasnya. Keempat, cyber bullying. Jenis ini mencakup segala bentuk tindakan yang dapat menyakiti orang lain dengan sarana media elektronik berupa rekaman video intimidasi maupun pencemaran nama baik melalui media sosial. Keempat jenis bullying ini, semata-mata dilakukan untuk menyakiti korban yang ritmenya dilakukan berulang-ulang sehingga menyebabkan korban mengalami tekanan bahkan dapat memakan korban jiwa.
Beberapa jenis kekerasan di atas, sesungguhnya masih dan akan terus terjadi, apabila semua pihak tidak membangun kesadaran, baik secara internal maupun eksternal, secara personal maupun komunal untuk meminimalisir bahkan menggalang gerakan zero kekerasan. Sejalan dengan itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2023 silam pernah menyerukan gerakan zero kekerasan terhadap anak (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/01/24/). KPAI lantas merekomendasikan pencanangan Gerakan Zero Kekerasan pada Anak demi mewujudkan zero kekerasan di tahun 2045.
Meski demikian, Yayasan Cahaya Guru pernah merilis 136 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 2023 dengan lokus satuan pendidikan. Kasus-kasus ini terekam melalui pemberitaan media massa dengan korbannya berjumlah 339 orang dari total pelaku kekerasan 134 orang, sedangkan korban yang meninggal dunia berjumlah 19 orang. Berdasarkan data ini, kasus yang menempati urutan teratas atau paling banyak terjadi adalah perundungan dan kekerasan seksual (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/16/). Sebuah kondisi yang jika tidak segera diantisipasi, maka akan menjadi ancaman serius ke depan.
Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan oleh KPAI sepanjang tahun 2024 berjumlah 141 kasus, dimana 35% dari total kasus terjadi di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan (https://metro.tempo.co/read/1844009/). Kekerasan yang terjadi cenderung mengakibatkan anak mengalami penderitaan secara fisik maupun psikis, bahkan mendatangkan trauma yang berkepanjangan bahkan meninggal dunia. Total kasus anak yang dinyatakan mengakhiri hidupnya berjumlah 46 kasus. Mirisnya, dari total kasus, 48% terjadi di satuan pendidikan.
Merujuk pada data di atas, maka dapat dipastikan bahwa pelaku kekerasan adalah guru, tenaga kependidikan juga sesama siswa. Namun, belakangan ini, guru juga mengalami kekerasan, baik secara verbal maupun secara fisik. Kejadian terbaru dialami seorang guru SMA Negeri 1 Nubatukan, Kabupaten Lembata, Provinsi NTT (https://suluhnusa.com/hukum/20240309/). Ia menjadi korban pengeroyokan keluarga siswa, hanya karena guru menepuk bahu kiri siswanya ketika siswa menggerutu dan megucapkan kata-kata sinis saat kelengkapan catatan diperiksa.
Sialnya, tepukan pada pundak kiri siswa yang bertujuan mengingatkan, justru mendatangkan kekerasan verbal dan fisik bagi sang guru. Orang tua dan saudara siswa datang ke sekolah dan tanpa mengikuti prosedur penyelesaian masalah, mereka langsung main hakim sendiri. Kedua pelaku menyerobot masuk ke dalam ruang kelas dan melakukan pengeroyokan terhadap guru yang diduga melakukan kekerasan kepada anak mereka. Pengeroyokan terhadap guru SMA Negeri 1 Nubatukan ini, sekarang sudah ditangani Kejaksaan Negeri Lembata.
Penguatan Tri Pusat Pendidikan
Menengok kekerasan yang dialami siswa dan guru di sekolah, maka diperlukan penguatan sistem kerja sama antara lembaga-lembaga terkait seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Fudyartanta dalam Buku Ketaman Siswaan (1990) sebagaimana dikutip Silmi Nurul Utami dalam tulisannya di kompas.com berjudul Tiga Lingkungan Tri Pusat Pendidikan mengatakan bahwa Tri Pusat Pendidikan meliputi pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan perguruan atau sekolah, dan pendidikan di lingkungan masyarakat atau pemuda (https://www.kompas.com/skola/read/2021/12/27/185046269/).