Mohon tunggu...
Herlina Syarifudin
Herlina Syarifudin Mohon Tunggu... Aktris - Tulisanku disini gado-gado ya gaeeessss...tergantung mood mo nulis topiknya apa :)

Playwright, monologer, theatre director, cat lover

Selanjutnya

Tutup

Drama

Naskah Drama “Namaku Skizo”

30 Agustus 2013   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:37 1706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

karya Herlina Syarifudin

SINOPSIS

Ibu kandungkumembuat misteri dalam perjalanan hidupku dengan jalan mengganti namaku setiap 10 tahun sekali. Terlahir ke dunia, ku diberi nama NEU. Menjelang usia 10 tahun, namaku berubah menjadi OPAT. Beranjak di usia 20 tahun menjadi DOMASO. Di 30 tahun berganti BISION. Kemudian pada saat 40 tahun ku dipanggil CLAUS. Pada saat ku berusia 50 tahun, ibu meninggal dunia dan meninggalkan sepucuk surat padaku yang inti isinya adalah nama baru yang akan kusandang sampai akhir hayatku.Dan nama itu adalah SKIZO.

PARA PEMAIN:

1.SOSOK WANITA berperan ganda sebagai NEU, OPAT, DOMASO, BISION, CLAUS dan SKIZO

2.SOSOK IBU / SUARA NENEK

3.ORANG 1 / CASO

4.ORANG 2 / GOGH

5.ORANG 3 / THOVEN

6.ORANG 4 / HEMING

7.ORANG 5 / POE

8.ORANG-ORANG LAIN BERKOSTUM HITAM(jumlah bebas, disesuaikan dengan tafsir sutradara terhadap setting panggung)



PROLOG

Tampak orang-orang yang seluruh tubuh termasuk kaki dan tangannya tertutup kostum pas badan warna hitam bahan lentur (semacam bahan stocking tebal) bertempel sticker warna scotlite bermotif abstrak dan hanya tampak wajahnya dilukis topeng yang hanya berbentuk mata satu dan bibir lebar dengan berbagai bentuk ekspresi bibir. Mereka berjajar di sepanjang pintu masuk menuju ruang pertunjukan mempersilahkan para penonton untuk masuk. Waktu bisa diperkirakan sekitar 5 menit sebelum pertunjukan dimulai.

ORANG-ORANG : (mengucapkan berulang-ulang secara datar dengan berbagai variasi nada)Selamat datang…. Selamat datang…. Selamat datang……

Pada saat lampu gedung pertunjukan perlahan fade out (tanda pertunjukan dimulai), orang-orang ini kemudian berjalan ke arah panggung. Setting panggung dibikin seperti ruang kosong berbentuk kubus raksasa (menyesuaikan ukuran panggung setempat) yang semua permukaannya tertutup oleh jaring-jaring lebar (1x1m) terbuat dari pita kado warna-warni dan di setiap kerangka jaring-jaringnya dipasang star light/lampu natal warna-warni dari lantai, sisi kanan, sisi kiri, depan, belakang dan atas. Dan kemudian orang-orang ini berpose di beberapa lubang jaring seperti di dalam bingkai foto (lubang jaring dipilih acak dari semua sisi kubus raksasa. Yaitu atas, bawah, samping kiri, samping kanan, depan dan belakang).

ORANG 1: (sambil menembus bingkai jaring-jaring, masuk ke dalam ruang kubus raksasa. Sementara suara sayup-sayup ucapan “Selamat datang” yang berulang-ulang tetap terdengar) Selamat datang di dunia yang paling tenang dibanding dunia di luar sana. Silahkan duduk di tempat yang menurut anda paling nyaman. Jangan takut pada kami, karena kami sama dengan anda. Kami juga masih punya hati nurani. Karena kalau tidak punya, tak mungkin kami menawarkan tempat duduk untuk anda. Saya yakin pasti dalam hati anda semua bertanya-tanya dan berasumsi bahwa ini adalah settingan atau bagian dari skenario. Anda keliru. Kami ada dan mengalir begitu saja. Dan kami hidup apa adanya. Tak ada akting. Bagi kami, ketika akting terjadi maka dunia akan hancur. Topeng akan merebak dimana-mana. Dan saya yakin saat inipun anda-anda sekalian juga memakai topeng. Tapi kami, pantang bertopeng.

ORANG-ORANG: Wajah asli, wajah topeng… Wajah asli, wajah topeng… Wajah asli, wajah topeng…

ORANG 2: (sambil menembus bingkai jaring-jaring, masuk ke dalam ruang kubus raksasa. Sementara suara sayup-sayup ucapan “Wajah asli, wajah topeng” yang berulang-ulang tetap terdengar) Karena topeng telah membuat kami menjadi seperti ini. Dulu, terlalu banyak topeng yang kami pakai. Tapi ternyata tidak ada satupun topeng yang melekat persis dan rapi di wajah kami. Saking seringnya kami berganti-ganti topeng, sampai akhirnya topeng-topeng itu melukai wajah asli kami. Topeng-topeng itu telah merusak wajah asli kami. Kini, kami sendiri lupa bagaimana wajah asli kami. Dan betapa sulitnya kami mencari-cari kembali kemana perginya wajah asli kami. Seperti halnya jika kita terluka. Tak kan mungkin bisa sembuh 100% seperti sebelum terluka. Pasti masih ada bekas. Kalaupun ingin sembuh total, butuh biaya yang tak terkira. Dan ketika biaya itu terluapkan habis-habisan, memang benar luka lama bisa sembuh 100%, tapi akan muncul luka baru, stress karena sudah habis-habisan keluar biaya. Dan akan begitu seterusnya. Lingkaran setan. Saya yakin, anda sendiri juga tidak tahu apakah sekarang anda berwajah asli atau sedang memakai topeng. Tapi saya yakin, ketika nanti saya tanya, anda tak mungkin menjawab jujur. Itulah manusia di luar sana. Ketidakjujuran beredar dimana-mana seperti virus.

ORANG-ORANG: Jujur sungkur, tidak jujur subur…. Jujur sungkur, tidak jujur subur…. Jujur sungkur, tidak jujur subur….

ORANG 3: (sambil menembus bingkai jaring-jaring, masuk ke dalam ruang kubus raksasa. Sementara suara sayup-sayup ucapan “Jujur sungkur, tidak jujur subur” yang berulang-ulang tetap terdengar) Tidak seperti kami disini. Kami tidak bisa membedakan mana jujur dan mana tidak jujur. Bagi kami, semua teman-teman disini jujur. Karena itu kami tenang disini. Bisa jadi kenapa kami bisa masuk kesini karena waktu kami masih di luar sana, kami banyak melakukan ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu akhirnya menjadi penyakit bagi kami. Tapi saat ini kamipun tidak paham apakah ketidakjujuran itu sudah lepas dari diri kami ataukah masih mengakar kuat. Hanya Yang Membuat kita Bisa Bernafas hingga kini yang tahu jawabnya. Karena DiaMaha Jujur. Masih tidak percaya? Silahkan tanyakan sendiri padaNya. Karena aku sendiri tak pernah bertanya padaNya. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana cara bertanya padaNya. Karena ku sendiri tak pernah bertemu denganNya. Karena ku sendiri tak tahu dimana Dia berada. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana sosokNya. Karena ku sendiri tak pernah mendengar tapak kakiNya apalagi suaraNya. Kalaupun pernah, mungkin pada saat aku lagi terlelap. Dan kalaupun benar-benar terdengar, mungkin cuma sebatas sayup-sayup saja. Mungkin juga itu cuma hayalanku saja. Karena bisa jadi itu cuma suaraku sendiri. Yach, ku berdialog dengan suaraku sendiri. Ku bertanya, dan ku jawab sendiri.

ADEGAN 1

ORANG-ORANG itu kemudian bergerak kembali berpose di luar bingkai jaring-jaring kubus raksasa dan tablo. Sesaat kemudian NEU muncul.

NEU: Ibu....mengapa dirimu berbuat ini padaku? Kalau memang aku tidak diinginkan untuk lahir ke dunia ini, mengapa tidak dulu-dulu saja sekalian saya digugurkan, daripada ibu akhirnya tidak membesarkanku. Kasihan nenek, setiap hari menjagaku di rumah sakit tanpa pernah tahu kapan ibu datang untuk sekedar beberapa menit menjengukku.Kemana saja kamu, ibu? Semenjak lahir hingga besar begini, tak pernah setetespun aku merasakan air susumu.Kalau ditanya orang-orang, dengan berat hati aku bilang anaknya nenek. Nenek tidak ingin aku bertemu denganmu, ibu. Nenek sudah sangat sakit hati padamu, bu.

NENEK:(Di ruang dan waktu yang berbeda, bisa divisualkan melalui silluet atau hanya voice over) Kelahiranmu dulu itu jadi bahan taruhan paman dan kakek dari pihak ibumu. Mereka ingin anak pertama harus laki-laki. Jika bukan laki-laki, mereka tidak mau mengakui sebagai keponakan ataupun cucu.

NEU: Oh, alangkah indah sekali, nyawaku disamakan dengan dadu. Betapa murahnya diriku. Lebih murah dari harga pisang setandan. Tapi kalau bapakku sendiri orangnya pasrah. Laki perempuan, sama saja yang penting selamat dan sehat. Apa ini berpengaruh dengan yang namanya marga atau farm? Kutemukan surat kelahiranku yang ternyata fotocopian juga. NEU. Hanya itukah namaku? Hanya 3 huruf saja? Betapa pelitnya orangtuaku memberi nama. Yang jelas kutahu, sejak lahir aku sudah diasuh sama nenek. Waktu usia 5 bulan aku sempat dirawat di rumah sakit karena sakit panas tinggi. Tangan dan kakiku diikat disamping tempat tidur. Karena kalau tidak diikat, jari-jari tanganku pasti akan aku gigit-gigit terus. Begitulah nenek menceritakan padaku, saat aku remaja. Tiap malam yang menjagaku cuma nenek. Ibuku? Entah, aku sendiri tidak tahu kapan dia pernah datang. Mungkin memang benar, karena kalah taruhan, jadi aku dianggap ‘tiada’ oleh mereka. Lantas, kemana bapakku? Ternyata bapakku sudah pergi bersama wanita lain. Beruntung aku masih punya nenek dari bapak. Aku sadar, karena sakit hati nenek kepada ibuku, akupun jadi ikutan benci sama ibu kandungku sendiri. Kalau sudah seperti ini siapa yang berdosa dan siapa yang durhaka?

ORANG-ORANG: Adakah orang tua durhaka? Adakah orang tua durhaka? Adakah orang tua durhaka?

NEU:(suara sayup-sayup “Adakah orang tua durhaka?” yang berulang-ulang tetap terdengar) Aku sendiri tak ingin temukan jawabnya. Berkali pula kucoba tanamkan rasa sayang pada ibuku, selalu saja ada tolakan dalam batinku. Aku tidak tahu, hati dan otakku sudah diracuni apa sama nenek, sampai aku tak mau mengakui kalau dia adalah ibu kandungku sendiri.

NENEK: Orang tuamu adalah orang yang membesarkan, menyekolahkan dan memberi makan kamu. Melahirkan saja itu mudah. Lha wong bikinnya saja nikmat. Banyak ibu-ibu yang tidak bertanggungjawab di dunia ini. Melahirkan di luar nikah terus malu sama tetangga, tinggal dibuang begitu saja. Nanti juga bisa bikin lagi.

NEU: Pernah suatu kali aku ingin main ke ibuku yang rumahnya cuma saling berpunggungan tembok dengan rumah nenek, tapi nenek melarang.

NENEK: Buat apa kamu ke rumah ibumu? Belum tentu juga dipedulikan kedatanganmu.

NEU: Ah, ya sudahlah. Kasihan nenek. Biarkan beliau tenang di alamnya. Samar-samar kuingat, aku tinggal bersama ibuku dengan terpaksa semenjak nenek meninggal.

ADEGAN 2

NEU: Oh, letih sekali aku hari ini. Tak bergairah. Rasanya jenuh sekali. Teman-teman…. kalian jenuh tidak hari ini? (pertanyaan ditujukan kepada ORANG-ORANG di dalam bingkai kubus raksasa)Kenapa aku malas sekali hari ini ya? Hari apa sekarang? Ah, bagiku semua hari sama saja. Semua hari menjenuhkan. Semua hari muram dan kelam. Pekat. Tak ada satupun hari yang berarti bagiku. Kenapa aku masih hidup juga sampai sekarang ya? Toh, aku tak berarti apa-apa bagi kehidupan. Aku cuma sampah yang jadi tontonan orang-orang di luar sana. Dan mereka cuma menonton saja. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Menemanipun tidak. Mereka ‘pura-pura’ datang pada saat aku tak butuh ditemani. Tapi mereka pergi pada saat aku butuh mereka. Alangkah membosankan hidupku.

ORANG-ORANG: Neu…. Neu…. Neu….

NEU: (suara sayup-sayup memanggil Neu yang berulang-ulang tetap terdengar) Ssttt, sepertinya aku dipanggil. Tuh, kalian dengar kan? Ya..ya, aku disini. Sebentar..., nanti aku kesitu. Biasa, saudara kembarku si Opat, tak akan tenang kalau sehari saja tak curhat padaku. Yach, aku ini bisa dibilang tempat sampah. Tapi aku sendiri bingung, kemana aku harus mencari tempat sampah yang lain kalau aku ingin curhat. Karena saudara kembarku itu egois. Hanya mau didengar, tapi tidak mau mendengar. Payah dia. Ups, nanti dia sewot lagi, ketahuan aku omongin. (merespon suara) Ya..sebentar. Kalian mau aku kenalkan dengan Opat? Kebetulan sekali hari ini kita merayakan ulang tahun yang ke-10.

Kubus raksasa berubah menjadi ruang yang beratmosfir kebencian pada seorang ibu. Terdapat sebuah manekin perempuan yang sudah hancur. Ada pula kertas-kertas yang bertuliskan AKU BENCI IBU! DIA BUKAN IBUKU! MATI SAJA KAU, IBU!Tampak Neu yang berubah menjadi Opat mengamuk seperti orang kesetanan. Membakar tulisan. Menyayat manekin. Lalu tertidur pulas, kelelahan. Muncul sosok ibu membawa kue tart ulang tahun)

IBU: Lah, kok malah masih mimpi. Opat, bangun nak. Teman-temanmu sudah datang. (bicara ke penonton)Jangan terkejut, karena hal ini sudah biasa terjadi. Setelah dia bangun, semua akan kembali normal. Sejak meninggalnya nenek, Opat lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan dia. Aku terlalu menuruti ego saudara-saudaraku. Aku ingin Opat bisa sayang padaku. Aku sengaja mengganti namanya, karena aku tak ingin dia mengingat kembali masa lalunya saat aku melahirkan dia. Selamat ulang tahunOpat...Selamat ulang tahunOpat...

ORANG-ORANG: Selamat ulang tahunOpat... Selamat ulang tahunOpat... Selamat ulang tahunOpat...

IBU: (suara sayup-sayup “Selamat ulang thaun Opat” yang berulang-ulang tetap terdengar) Ayo sayang, bangun… tiup lilinnya, Opaaatttt!!! (nada membentak membuat Opat terbangun karena kaget. Saat Opat terbangun, ekspresi wajah ibu langsung berubah tersenyum manis) Selamat ulang tahun ya nak. Ayo, tiup lilinnya. (seperti terhipnotis oleh ucapan ibunya, tanpa sadar Opat meniup lilin di atas kue tart yang dibawa oleh ibu Opat) Tepuk tangan donk.(ORANG-ORANG bertepuk tangan riang)

OPAT: (membaca tulisan diatas kue tart) SELAMAT ULTAH OPAT. Opat? Siapa Opat? Mengapa aku yang meniup lilin ini? Bu, aku Neu, bukan Opat. Siapa Opat bu? Ini tahun ke-10 aku harus merayakan ulang tahun dengan nama baru, Opat. Nenek tidak kenal Opat bu. Nenek hanya tau Neu.

IBU: Ya kamu sayang, kamu yang baru.Nenekmu sudah tiada Opat. Buat apa membicarakan orang yang sudah tiada.

OPAT: Aku yang baru? Maksudnya?

IBU: (tak menghiraukan kebingungan Opat) Sekarang kau potong kuenya ya nak. Ini pisaunya. Ayo Opat. Kenapa bengong? Cepat kau potong kue itu. Teman-temanmu tak sabar tuk mencicipi kue tart ini. Atau pisau ini yang akan menjadikanmu kue itu Opat.

(Tangan Opat gemetar mengambil pisau dari tangan ibunya dan tanpa sadar mulai mencacahkue tart)

OPAT: (sambil mencacah kue tart bak orang kesurupan) Neu, dimana kamu? Mengapa kau pergi tinggalkan aku tanpa pamit? Ibu, kau kemanakan Neu? Aku ingin Neu kembali. (Tersadar dan terkejut) Apa yang sudah kulakukan? Kue ini hancur oleh tanganku sendiri?

IBU: (tertawa puas) Bagus Opat...bagus. Kau telah berhasil menghancurkan masa lalumu. Lupakan nenekmu. Nenekmu sudah tiada. Yang ada kini adalah ibu, Nak. Ibu yang menyayangimu. Kini ibu ingin kau telan habis masa lalumu itu. Jangan sampai ada yang tersisa. Ayo Opat...cepat...sebelum masa lalu itu bangkit kembali. Lumat habis masa lalumu Opat. Ibu tidak ingin mendengar kata nenek lagi meluncur dari mulutmu Opat.

(seperti terhipnotis kata-kata ibunya, dengan brutal Opat melumat habis kue tart yang telah hancur itu seperti kuda lumping yang melakukan ritual makan pecahan kaca, sambil tanpa terasa airmata Opat bercucuran dan tertelan bersamaan dengan kue tart yang terkunyah di dalam mulutnya. Lalu Opat jatuh pingsan kekenyangan)

ADEGAN 3

(Ruang waktu berubah, setting panggung kubus raksasa menjadi ruang kosong)

IBU: Ah, ternyata nama Opat tak lagi tepat disandangnya. Usia 20 tahun adalah usia kedewasaan bagi Opat. Saatnya Opat melihat dunia yang sebenarnya. Aku ingin Opat juga merasakan sakit hatiku dikhianati oleh kaum lelaki. (berpikir) Ya...DOMASO. Sepertinya nama itu terdengar indah di telinga. Semoga nama ini membuat Opat menjadi sosok yang baru, sosok yang bisa mewakili kebencianku pada lelaki. Kau harus berbakti pada ibu, Domaso. Apapun kata ibu, kau harus turuti, kalau kau tak ingin masuk neraka nantinya.(tertawa puas)

ADEGAN 4

(Setting panggung berubah menjadi studio seorang seniman pelukis, masih di dalam ruang kubus raksasa. ORANG 1 berubah menjadi CASO)

DOMASO: Hai cowok...boleh kita berkenalan? Namaku Domaso. Aku seorang penari. Dan kau?

CASO:Tentu saja cantik. Panggil saja aku, Caso.

DOMASO: Caso, mengingatkanku pada nama pelukis dunia. Dan kau seorang pelukis juga. Penari dan pelukis. Sebuah paduan yang cantik.Ku ingin tubuhku jadi kanvasmu, lalu kuasmu menari-naridi sekujur tubuhku. Tertantang? Tapi aku ingin kau tarik kuasmu dengan garang. Aku benci kelembutan. Kelembutan membuatku menjadi makhluk yang lemah. Aku tak pernah puas ketika harus menari dengan kostum yang cantik. Tapi aku akan puas ketika menari dengan kostum yang mengikat kuat tubuhku sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Dan aku akan merasakan kesakitan itu sebagai keindahan bagiku. Keras, brutal dan ganas adalah kelembutan yang memuaskanku.

(Caso terdiam sesaat sambil matanya nanar memandang Domaso dari ujung rambut hingga ujung kaki)

DOMASO: Kenapa kau diam? Kau takut? Atau jijik?

CASO: Wow, fantastik… Sepertinya Tuhan telah mempertemukan kita. Aku juga bukan seorang pelukis yang gemar melukis obyek yang tenang dan sejuk. Kau lihat, obyek lukisanku rata-rata berwarna merah. Dan cat warna merah yang seringkali aku pakai bukan dari bahan cat air atau cat minyak, melainkan darah asli. Entah darahku sendiri, darah binatang, atau darah manusia lain. Tapi aku tidak membunuh mereka. Aku beli darah itu dari rumah sakit. Terkadang, aku ambil darah tikus atau kucing yang mati di tengah jalan. Jika ingin darah segar, aku nongkrong di pasar daging. Dan aku mulai melukis diantara lalu lalang pembeli dan penjual daging di pasar itu. Kau ingin aku lukis dengan darahku?

DOMASO: Aku tak ingin egois. Aku ingin darahku dan darahmu saling bercanda. Kau sapu kuasmu yang berlumur darahmu ke tubuhku, dan aku akan menari dengan selendangku yang telah basah oleh darahku sendiri. Setelah itu, kita bikin pameran tunggal dari karya kolaborasi yang fantastik ini.

CASO: Kau tampak sensual dimataku. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padamu.

DOMASO: Tidak! Aku harap kau tarik kembali kalimat itu. Jangan pernah kau jatuh cinta padaku kalau kau ingin selamat. Jangan pernah katakan kalimat menjijikkan itu lagi, kalau kau masih ingin menjalani hari-harimu sebagai pelukis. Kau tahu, tak ada kehidupan lelaki dalam kamusku. Lelaki telah merusak kehidupan ibuku dan aku. Lelaki telah membuat nenekku meninggal. Biarlah hubungan kita mengalir indah sebagai makhluk yang kosong, tanpa identitas lelaki atau perempuan. Hubungan yang hanya sebatas kepuasan dalam berkarya. Karena karya itulah belahan jiwaku. Bukan jenis kelamin.

CASO: Aku pantang menarik kembali ucapanku. Kan kutunggu sampai kau sadar bahwa akulah belahan jiwamu. Aku sudah terbiasa menunggu. Proses yang panjang akan menghasilkan karya yang hidup, punya jiwa. Pikirkan ini matang-matang. Aku pergi tapi untuk kembali padamu, jika waktunya tiba. Selamat tinggal....

DOMASO: (berteriak kencang, suaranya menggetarkan ruang kubus raksasa) Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh !!!!!!!!

(bersamaan dengan teriakan panjang Domaso, Caso silam bersama dengan properti studio lukisnya. Ruang kubus raksasa kosong. Domaso lunglai)

ORANG 4: Sejak kepergian si Caso,Domaso makin garang. Setiap berkenalan dengan lelaki dan lelaki itu mulai jatuh cinta padanya, Domaso lantas meluapkan kebenciannya lewat profesi lelaki yang dikenalnya itu. Pura-pura ia merengek meminta hasil karya dari lelaki yang dikenalnya itu sebagai kenang-kenangan. Karena cintanya pada Domaso yang teramat sangat, tak ada satupun lelaki yang menolak saat diminta apapun yang dia punya. Terkumpullah beberapa karya para lelaki yang telah masuk jeratan cinta pura-pura Domaso. Entah kebetulan, mayoritas Domaso berkenalan dengan para seniman.

DOMASO:(terbangun dari lunglainya)Sebentar lagi, riwayat kalian akan tamat di tanganku. Kalian tak kan lagi bisa menjadi pelukis, penulis novel, puisi dan pencipta lagu. Aku akan membuat pameran spektakuler untuk menghancurkan karir kalian semua. Kalian layak mendapatkan ini semua. Kenapa juga kalian harus terlahir sebagai lelaki dan bertemu denganku? Andai kalian bukan lelaki...... Ibu, permainan berikutnya akan segera kita mulai. Bersiaplahuntuk tersenyum. Akan kubalaskan sakit hati ibu pada bapak yang entah kemana saat ini. Semoga dia telah mati dan dilumat belatung. Dan juga sakit hatiku sendiri pada paman dan kakek yang tak pernah mengharapkanku. Tradisi ibu mengganti nama padaku sepertinya bisa menjadi strategi untuk menghilangkan identitas masa laluku. Aku lelah. Semoga aku temukan nama yang cantik dalam mimpiku.

ADEGAN 5

(Setting ruang kubus raksasa berubah menjadi ruang makan)

IBU: Bision...Bision...Bision.....!!!

BISION: (terbangun) Ya bu....sebentar. Sepi sekali. Bu....Ibu.... Kamu dimana bu?

(Bision beranjak ke meja makan karena lapar. Ada secarik kertas disana.)

BISION: (membaca secarik kertas) Ibu ke pasar dulu. Ibu buatkan nasi goreng untukmu. Jadi..., suara siapa tadi? Aha...akhirnya aku dapatkan juga nama baru itu. BISION. Wow....cukup unik. Terima kasih mimpi. Aku akan mulai bekerja untuk menghancurkan karya-karya itu. Minggu depan genap aku berusia 30 tahun. Dan hari itu akan kujadikan target untuk membuka PAMERAN KELAMKU sekaligus meresmikan nama baruku, BISION. Pameran dari karya-karya para lelaki bodoh itu. Kan ku undang mereka untuk menonton instalasi yang spektakuler. Tak sabar aku membayangkan reaksi konyol dari para lelaki itu setelah memandang karyanya nanti. Karya yang telah bergulat bersama mereka dalam kurun waktu yang panjang. Dan akan hancur hanya dalam hitungan detik. Walau aku sudah mulai terbiasa dengan nama yang berganti-ganti, di sisi lain mulai terbersit tanya dalam hati, kenapa Ibu selalu mengganti namaku setiap kali peristiwa hidupku mengalami klimaks di tahun menuju kematangan? Kenapa ibu selalu ingin mengubur masa laluku dengan cara mengganti namaku? apakah ibu dulu juga sering diganti namanya oleh nenek atau ibu sendiri yang mengganti namanya sendiri? Tiap kali ada dorongan hati ingin bertanya, energi sosok garang nan aneh ibuku kembali menciutkan nyaliku. Dan tanya itu akhirnya hanya mampu kuteriakkan dalam hati. Entah kenapa, Ibuku menutup rapat masa lalunya agar akupun tak boleh tahu. Biarlah itu menjadi misteri ibu sendiri bersama Tuhan. Dan akupun sudah mulai terbiasa menjalani kehidupan yang misteri ini bersama ibu. Misteri apakah ibu benar-benar sudah mencintaiku sebagai anaknya sendiri ataukah cuma sebagai formalitas publik daripada dianggap sebagai orangtua yang tidak bertanggungjawab kepada anaknya? Akupun mulai mencoba untuk mencintai ibuku. Tapi tiap kali rasa itu mulai hadir, bayang-bayang kata-kata almarhumah nenek tentang ibu langsung membentengi. Ya sudah, akhirnya kukubur kembali saja rasa itu, daripada nantinya aku jadi tambah terpuruk dan energiku terbuang sia-sia karena terbawa arus sedih yang menurutku ya... sudah kadaluarsalah...Ouw...sepertinya saudara-saudara sudah tak sabar untuk menyaksikan Pameran Kelamku. Ok, kalau begitu mari kita bersama-sama menuju kesana.

ADEGAN 6

Setting kubus raksasa berubah menjadi ruang pameran.Tampak ORANG-ORANG sedang menata ruang pamer yang berisi lukisan yang sudah sobek kanvasnya, sebuah buku novel yang halamannya sobek berceceran, buku kumpulan cerpen yang sudah terbakar sebagian, buku antologi puisi yang basah dan hampir hancur, manekin yang berbalut busana lelaki tapi sebagian kainnya terbakar, dan buku kumpulan lirik lagu ciptaan seseorang yang sudah menjadi sobekan-sobekan kecil. Sambil menata ruang pamer, lamat-lamat ORANG-ORANG itumengucapkan kalimat yang berulang-ulang.

ORANG-ORANG: Mari melangkah menuju cahaya kelam...Mari melangkah menuju cahaya kelam...Mari melangkah menuju cahaya kelam...

Kalimat itu terus diulang-ulang sampai karya-karya tersebut selesai tertata. Semakin menuju ke arah penyelesaian menata karya, suara ORANG-ORANG itu semakin besar volumenya.

BISION: Bagaimana teman-teman, apakah para undangan istimewaku sudah hadir semua? Bagus. Baiklah, segera akan saya buka pameran ini.

(Bision memulai pidatonya diiringi musik kelam penanda pameran dibuka)

BISION: Selamat datang para undangan yang telah bersedia hadir di pembukaan Pameran yang kuberi tajuk Pameran Kelam ini. Terima kasih saya ucapkan spesial kepada para pemilik karya yang telah dengan ikhlas memberikan sebagian dari hasil karyanya sebagai wujud rasa cinta anda kepada seseorang yang bernama Domaso. Saya tahu, saudara-saudara pasti bertanya kenapa Domaso saya sebut sebagai seseorang yang lain dan bukan saya sendiri. Satu hal penting yang harap anda ketahui adalah bahwa yang berdiri di hadapan anda saat ini bukanlah Domaso. Domaso adalah masa lalu saya yang kelam. Maka dari itu, tepat di hari ini, di hari ulang tahun saya yang ke-30 ini, saya ingin mengubur masa lalu itu dengan nama yang baru yakni BISION. Yach...Bision. Jadi, jika anda ingin menghujat atau marah atas apa yang telah dilakukan Domaso terhadap karya-karya anda, semua sudah terlambat. Saya, Bision hanya mendapat mandat untuk menjalankan wasiat terakhirnya sebelum Domaso terkuburkan. Yakni menggelar Pameran Kelam ini. Satu lagi pesan Domaso, pameran ini akan digelar selama 10 tahun. Jadi tidak boleh ada satupun yang menyentuh karya-karya ini kecuali saya, termasuk ibu saya sekalipun. Jika ada yang berani menyentuh apalagi membongkar, jangan salahkan saya kalau anda tidak akan dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali tak ada maksud menakuti atau meneror kehidupan anda. Karena masing-masing dari kita juga punya kehidupan yang tidak ingin diganggu. Saya paham, pasti dalam benak anda masing-masing saat ini bergejolak kata,”Dasar sakit jiwa ya nih orang...Atau mungkin orang aneh atau apalah itu namanya.” Tapi saya tidak akan peduli dengan gunjingan-gunjingan kalian terhadapku dan juga ibuku. Toh, kami tak pernah mengusik kehidupan pribadi kalian. Kami hanya ingin berbagi suasana. Ada kebahagiaan, pasti ada kesedihan. Ada terang, pasti ada gelap. Itulah bumi dan langit. Saling melengkapi. Kami hanya ingin berbagi rasa sakit. Sakit yang mendalam dan berakar kuat. Mungkin kalian akan berpersepsi pada arti balas dendam. Tapi bagiku, istilah itu terlalu naif. Dan bagi para undangan istimewaku yang karya-karyanya saat ini saya pamerkan, kalau anda ingin melihatku bahagia, relakan karya kalian hancur olehku. Seiring dengan hancurnya harapan kalian untuk meraih cinta Domaso. Biarkan aku, Bision, senantiasa tersenyum memandangi karya-karya ini setiap hari. Kehancuran rasa cinta kalian adalah kepuasan batin dan kebahagiaanku. Rasanya sudah terlalu panjang saya berpidato. Caso, Gogh, Thoven, Heming, Poedan para undangan yang lain, seiring gela nafas saya, maka Pameran Kelam ini saya buka.....(Bision menghela nafas panjang, lalu diikuti gemuruh tepuk tangan ORANG-ORANG). Sekarang, saya persilahkan anda semua untuk menikmati Pameran Kelam ini.

ORANG-ORANG: Masuklah ke dalam cahaya kelam…. Masuklah ke dalam cahaya kelam…. Masuklah ke dalam cahaya kelam…..

BISION: Agh....kepalaku tiba-tiba pening. Mungkin lelah dan terlalu bersemangat. Sementara semalam hanya tidur 2 jam karena menyiapkan pameran ini. Sambil menahan sakit, kupandangi satu persatu wajah para undangan yang sedang menikmati karya-karya yang mungkin menurut kacamata mereka tak ada satupun yang indah. Pandangan kengerian, sadis dan penuh tanya. Sengaja aku tidak ingin memberikan penjelasan apapun kepada mereka. Biarlah mereka bertanya dalam hatinya masing-masing. Dan aku sangat puas menikmati wajah-wajah penuh tanya itu, kalau ibu boleh punya misteri masa lalu, kenapa aku tidak? Dan kini saatnya akupun punya misteri itu.

ORANG 5: Satu persatu para undangan pergi. Suasana di ruang pamer ini semakin kelam terasa. Di tahun-tahun awal sejak pameran ini dibuka, banyak sekali pengunjung yang datang. Ada yang hanya melihat-lihat, ada pula yang menjadikannya sebagai bahan penelitian mereka. Tapi, mereka akhirnya pulang dengan kecewa karena sama sekali tak mendapatkan info apapun dari Bision. Bision memilih tetap bungkam sambil mentertawakan kesia-siaan mereka.

BISION: Perlahan-lahan setiap kali para pengunjung itu datang, aku merasa ruang ini semakin menyempit saja. Entah kenapa.... Tahun berganti tahun terus melaju dan menginjak di tahun terakhir target pameran ini kugelar, nafasku terasa makin sesak. Karena bagiku ruang pamer ini nampak benar-benar menghimpitku. Semakin sesak kurasa setiap kali kuberjalan melewati karya-karya ini. Karya-karya itu seperti bergerak dan melotot padaku dan seperti hampir mau mencekikku. Pandangan amarah. Padahal setiap hari aku selalu memperhatikan mereka. Setiap hari ruang pamer ini selalu kubersihkan agar instalasi ini tampak tidak usang. Tak kuat dengan fenomena ini, ku bertanyapadaibuku.

IBU: Itu tandanya namamu sudah berganti, namun kau tak sadari hal itu.

BISION: Lantas siapakah namaku kini bu?

IBU: (tersenyum penuh arti) CLAUS !

ADEGAN 7

CLAUS: Namaku kini terdengar lebih indah daripada Bision. Dan aku tersenyum. Tapi tiba-tiba mendadak senyumku berubah muram. Hati kecilku merasa tidak nyaman dengan nama itu. Aku sendiri tidak tahu, entah mengapa. Tapi ibuku orangnya pantang menarik kembali segala ucapan yang telah dia muntahkan. Sebagai baktiku, aku hanya bisa dengan lapang hati menerima nama itu. Semenjak namaku berganti Claus, aku selalu mengalami ketakutan setiap kali hendak masuk ke ruang pameran kelamku. Baru beberapa langkah saja, nafasku terasa sesak. Ada apa ini? Karya-karya itu mendadak menjadi besar melebihi tubuhku. Manekin itu, tiba-tiba menjadi sosok kanibal yang hendak melahapku hidup-hidup. Buku-buku yang sebagian telah terbakar seakan terlihat apinya masih menjilat-jilat hendak menghampiriku. Setiap tidur, aku selalu bermimpi masuk ke dalam ruang sempit dan aku tak bisa keluar lagi dari sana, karena tiba-tiba pintunya berubah menjadi tembok. Ku coba menjerit meminta bantuan ibuku, tapi ibuku hanya tersenyum saja. Tapi aku tak bisa mengumpat pada ibuku. Tatapan garang nan anehnya selalu meluluhkan energiku setiap kali aku ingin melawannya. Hari itu, mimpiku semakin dahsyat. Saat kupejamkan mata, dan beberapa detik kemudian perlahan mataku terbuka, ternyata aku sudah berada di dalam tubuh sebuah manekin. Aku meringkuk seperti bayi. Bangunan kulit manekin itu sungguh kuat. Dan aku tak punya daya untuk keluar. Aku teriak sekencang mungkin. Tapi suaraku kembali lagi padaku. Oh, Tuhan...kenapa ibu tega melakukan ini padaku? Kenapa ibu tiba-tiba memberiku nama yang membuatku makin tersiksa? Aku merintih, tapi airmataku tak jua mengalir membasahi pipiku. Apakah airmata sudah mulai lelah dan benci padaku? Ku coba memanggil masa laluku satu persatu, siapa tahu mereka bisa membantuku. Ku panggil Neu, Opat, Domaso, Bision..... Tak ada satupun yang menyahut kecuali pantulan suaraku sendiri. Aku lelah untuk menjerit dan mulai kehabisan nafas. Saat aku merasa mulai melayang, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara tangisan. Ibu? Tapi suara tangisan itu terasa asing bagiku. Itu bukan tangis Ibu. Tangis itu kudengar tidak satu orang tapi beberapa. Spontan aku teriak, Ibuuuuu!!! Entah kekuatan darimana, teriakan itu seperti ledakan bom dan menghancurkan manekin yang menyelubungiku. Ibu! Ibu mana? Kenapa kalian memandangku sinis begitu? Kenapa kalian semua menangis? Ada apa ini? Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok yang terbujur dan seluruh tubuhnya tertutup kain. Ibu? Kubuka perlahan kain itu. Dan......spontan airmataku keluar sejadi-jadinya. Saat itu pula, rasa cintaku kepada ibu tiba-tiba hadir.....utuh, tanpa benteng kata-kata almarhumah nenekku. Tapi.......ibu..... Kenapa kali ini kau curang padaku? Biasanya kau selalu menaruh pesan di secarik kertas saat kau hendak pergi kemanapun kau ingin pergi. Tapi sekarang? Kenapa bu? Dimana kau taruh kertas itu? Aku ingin tahu kemana kau hendak pergi saat ini?

(Seseorang lantas menyodorkan kertas pada CLAUS. Gemetar tangan Claus membuka kertas itu.)

SUARA IBU: Nak, maafkan ibu. Mungkin ibu sudah mulai lelah menulis pesan buatmu. Sekarang, sudah saatnya kau terbebas dari kekangan misteri ibu. Sebenarnya ibu juga mencintaimu nak. Tapi ibu tidak ingin ungkapkan hal itu sebelum saatnya tiba.Saat inilah waktu yang tepat. Sekarang, jika kau ingin merasakan cinta ibu abadi di hatimu, sandanglah nama SKIZO sampai akhir hayatmu nak. Jika kau berganti nama, kau akan merasakan cinta ibu lambat laun pupus. Tapi jika kau tetap menyandang nama itu, ibu akan selalu ada di hatimu nak, selamanya. Dan pada saat kau mulai kuat menyandang nama Skizo, perlahan tapi pasti kau akan temukan jawaban dari misteri ibu yang selama ini kau ingin tanyakan. Selamat tinggal nak......

ADEGAN 8

(Setting panggung kubus raksasa, kosong. ORANG-ORANG kembali berpose tablo di tiap bingkai jaring-jaring kubus raksasa)

SKIZO: (berbicara pada penonton) Hai...kenapa disini ramai sekali? Siapa kalian? Darimana datangnya kalian? Ada urusan apa kalian datang kesini? Oh...oh..oh...aku tahu. Pasti kalian ingin menyaksikan kepedihan dan kebodohanku. Pasti kalian ingin tahu apa yang telah kuperbuat disini setelah lama ku tak bersua dengan kalian. Ya kan? Akui saja! Apa yang kalian ingin dapatkan dariku...hah?! Puas kalian! Kemana saja kalian selama ini? Kenapa tega kalian tinggalkan aku sendirian disini? Mana hati nurani kalian? Mana arti kebersamaan kita selama ini? Mana arti kesetiakawanan kalian padaku? Kalian semua jahat...bengis...tak punya hati nurani. Kalian tak ubahnya seperti binatang. Dan aku, habis manis sepah dibuang. Setelah tahu aku seperti ini, kalian tinggalkan aku perlahan-lahan. Aku sepi. Sendiri. Kemana kalian? Kemana? Mana? Beraninya kesini ramai-ramai. Kalian ingin mempermalukan aku di depan teman-temanmu yang lain. Kejamnya kalian. Aku benci kalian. Aku benci kalian semua. Aku tak kenal kalian. Aku tak mau kenal kalian lagi. Lagaknya ingin menengok, menjenguk. Untuk apa? Semua telah berlalu. Tak ada yang bisa diulang. Nasi telah basi. Tatapan mata kalian, seolah-olah iba. Munafik! Kenapa baru sekarang kalian datang? Aku tak butuh kalian lagi. Pergi kalian! Pergi! Biarlah aku sendiri dalam kesendirianku. Tak usah berbasa-basi tuk kasihan padaku. Kenapa masih diam saja? Mengerti tidak kalian? Apa perlu aku teriak lebih keras lagi? Aku bilang, pergi! Masih juga berlagak tuli. Teman-teman...bantu aku tuk usir orang-orang ini. Aku tidak butuh mereka lagi. Aku tidak kenal siapa mereka ini. Mereka ini sosok-sosok pengacau ketenangan kita. Ayo kita usir ramai-ramai...ayo...!!! (mengajak ORANG-ORANG berkostum hitam untuk mengusir para penonton)

EPILOG

ORANG-ORANG: (mengucapkan berulang-ulang secara datar dengan berbagai variasi nada) Ayo pergi kalian dari sini…. Ayo pergi kalian…. Pergilah kalian….. Tinggalkan tempat ini…..

(Pada saat ada beberapa penonton yang hendak beranjak keluar dari ruang pertunjukan karena diusir oleh ORANG-ORANG berkostum hitam, tiba-tiba Skizo menghentikan niat ORANG-ORANG yang tetap sayup-sayup mengusir penonton)

SKIZO: Eits....tunggu dulu! Jangan usir mereka. Biarlah mereka disini. Bukankah kita butuh mereka? Bukankah mereka adalah teman tuk temani sepi kita? Aku takut sendirian. Aku ingin kalian ada disini. Temaniku. Sudah lama aku tak bercerita. Karena sudah lama aku sendiri. Jadi tak tahu kepada siapa ku ingin bercerita.

ORANG-ORANG: (mengucapkan berulang-ulang secara datar dengan berbagai variasi nada) Jangan pergi…. Jangan pergi… Tetaplah disini… Tetaplah disini….

SKIZO: (suara ORANG-ORANG tetap sayup-sayup mengucapkan “Jangan pergi, tetaplah disini” berulang-ulang) Terlalu lama kusimpan cerita ini. Entah, apakah masih renyah tuk didengarkan. Karena aku sendiri lupa dimana kusimpan ceritaku. Andai kalian ingin mendengar ceritaku, kan kucari pelan-pelan dimana kusimpan cerita itu. Bagaimana? Maukah kalian mendengarkan ceritaku? Tapi sebelumnya, bantulah aku mencari ceritaku ini. Aku sungguh-sungguh lupa dimana kutaruh cerita ini. Di selipan mana dan kapan terakhir aku menyimpannya. Aku benar-benar tidak ingat lagi. Bantu aku tuk temukan. Tapi aku sendiri tak tahu harus darimana mulai mencarinya. Adakah saran?

ORANG 1: Ayolah, jangan diam saja. Kenapa kalian jadi seperti patung begini? Aku jadi seperti orang sakit jiwa yang ngomong sendirian tanpa lawan. Tega ya kalian menonton kegilaanku sendirian. Kalian kira, diamnya kalian tidak sakit jiwa. Jangan salah. Dalam diam, terpendam berjuta masalah. Hanya karena kalian malu saja tuk mengungkapkan. Tapi aku bisa membaca dari wajah-wajah kalian. Masalah kalian tak lebih sama beratnya dengan masalahku. Tapi karena kalian pandai menyembunyikannya, sehingga aku pun sulit tuk membaca satu persatu. Lagi pula buat apa juga aku pusing-pusing membaca masalah kalian. Toh, tak juga meringankan.

ORANG 2: Otakku masih lelah tuk berpikir. Otakku tak lagi bisa jalan seperti dulu. Otakku kini tumpul. Karena telah lama kuajak istirahat. Otakku telah lama kutidurkan. Atau mungkin otakku sedang asyik bermain-main entah kemana. Dan aku tak kuasa mengejarnya. Fisikku sudah tak kuat lagi. Aku biarkan dia bermain sesuka hatinya. Biarlah dia bebas. Karena telah lama dia tak temukan kebebasan. Dulu otakku tersiksa.

ORANG 3: Ya. Aku kasihan padanya. Mungkin saja dia sekarang sedang bercanda dengan hatiku. Yach...hatikupun dulu pernah sakit. Tak mampu kucarikan obat. Sampai akhirnya terlanjur. Aku menyesal karena tak bisa obati hatiku. Kini dia tak utuh lagi. Kini hatiku telah cacat. Mungkin sudah bopeng. Tak lagi halus. Aku tak mampu hibur hatiku lagi.

ORANG 4: Dan sudah lama terpuruk. Tak mau bangkit lagi. Setiap kali kucoba bangkitkan, dia lari menjauhiku. Seakan aku ini momok yang patut dijauhi. Momok yang patut disingkirkan dari muka bumi ini. Berat nian jika ku harus mengkorek kembali kisah lama itu.

ORANG 5: Kisah yang membuatku tinggal disini. Di ruangyang tenang ini. Panjang sekali jalanan dan liku yang harus kulalui tuk menguak kembali kisah itu. Dan aku sendiri mungkin sudah lupa harus melewati jalan yang mana dulu. Nanti jika aku tersesat di tengah jalan, apa kalian mau memanggilku kembali atau sekedar melemparkan kompas untukku? Andaipun kompas itu sudah di tanganku, mungkin aku juga sudah tak paham lagi mana utara dan mana selatan. Bagiku semua arah sama saja. Arah yang menyesatkan. Aku telah lama tersesat pada arahku sendiri.

SUARA IBU: Skizo…. Skizo…. Skizo…

ORANG-ORANG: (mengucapkan berulang-ulang secara datar dengan berbagai variasi nada) Skizo…. Skizo…. Skizo…

SKIZO: Ibu... Sepertinya Ibumemanggilku.... Ya, bu....aku disini. Sebentar lagi aku datang menghampirimu ibu..... Ayo, siapa mau ikut denganku....???

ORANG-ORANG: (menirukan Skizo) Ayo, siapa mau ikut denganku? Ayo, siapa mau ikut denganku? Ayo siapa mau ikut denganku?

(sambil sayup-sayup tetap mengucapkan kalimat: “Ayo, siapa mau ikut denganku?” ORANG-ORANG kemudian menghancurkan bangunan kubus raksasa yang terbuat dari pita kado warna-warni dipenuhi lampu natal/star light warna-warni tersebut lalu membalutkan ke seluruh tubuh Skizo hingga lampu general panggung fade out. Hingga yang tampak di kegelapan panggung hanyalah tubuh Skizo dalam balutan lampu star light yang masih menyala warna-warni dan cahaya sticker scotlite dari ORANG-ORANG berkostum hitam yang melakukan gerak mengalir - slow motion)

TAMAT

Ciputat, 29Oktober 2012

PROFIL SINGKAT HERLINA SYARIFUDIN

Lahir di Malang, 7 Desember 1978.Terjerumus ke dalam dunia teater sejak 1998 hingga kini. Merantau ke Jakarta dari 2004 untuk sebuah loyalitas berteater dan akhirnya pernah terjerembab di Sanggar Poros Jakarta, Teater Koma, Teater Populer, Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) dan sempat belajar ke beberapa tokoh teater diantaranya Nano Riantiarno, Putu Wijaya, Slamet Rahardjo, Remy Sylado, Robert Draffin (Australia), Milan Sladek (Jerman), Iman Soleh, Joko Bibit, Dindon WS, Tony Broer, dll.Prestasi yang pernah diraih antara lain Aktris Terbaik Festival Teater Jakarta Pusat, The Best Three Festival Monolog Ruang Publik, The Best Ten Sayembara Penulisan Naskah Drama. Menjadi sutradara, penulis naskah, pemain, stage manager, penata make up, penata artistik sampai bagian ticketing sudah pernah dilaluinya di setiap garapan teater baik kelompok maupun one man show. Karya tulisan yang telah dihasilkan diantaranya:

§beberapa puisi

§KOST SWEET KOST (skenario sitkom)

§AIR MATAKU TAK ASIN LAGI (skenario film pendek)

§SANDAL JEPIT (naskah drama remaja)

§TAPLAK MEJA (naskah drama remaja)

§KASIANAH MERANA (naskah drama perempuan)

§WANITA vs INDONESIA ibarat SRIKANDI vs DASAMUKA (naskah monolog)

§NAMAKU SKIZO (naskah monolog)

§BURUNG (naskah monolog)

§TUMBAL DEWI COKEK (naskah monolog)

§PAHLAWAN DEVISA, PAHLAWAN TERSIKSA (naskah monolog)

§NAMAKU SKIZO (naskah drama)

Perempuan berambut panjang yang sekarang sedang fokus menekuni monolog ini, juga menjadi tenaga pengajar teater di SMA Kristen Ora Et Labora Tangerang Selatan dan acting coach di Sanggar Anak Pelangi Cibubur.

Prinsipnya “Belajar dan terus belajar kepada siapapun, tanpa pandang strata”

NOTE:

Mobile phone: 0817 961 1519 / 021-9280 8285

Email: herlina.syarifudin@gmail.com

Blog: www.herlinasyarifudin.blogspot.com

Facebook: www.facebook.com/elang.pawestri/

Alamat surat:HERLINA SYARIFUDIN

d/a Jl. H. Abdul Gani Kampung Bulak I No. 95 RT/RW 001/02

Cempaka Putih, Ciputat Timur

TANGERANG SELATAN – 15412

MEMO : Apabila ada kelompok teater yang berkeinginan memainkan naskah ini, dimohon untuk ijin atau setidaknya memberi kabar kepada penulis naskah. Kebutuhan ini lebih kepada untuk silaturahmi sekaligus sharing antar insan pelaku seni. Terima kasih. Salam budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun