Mohon tunggu...
Herliawan Setiabudi
Herliawan Setiabudi Mohon Tunggu... -

Just an ordinary Muslim who wants to be an extraordinary One!\r\n\r\nBerbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Setipis Helaian Rambut

24 April 2013   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُوْنَ أَعْمَالاً هِـيَ أَدَقُّ فِــــــيْ أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعْرِ وَكُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْـمُوْبِقَاتِ

“Sungguh, kelak kalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan mata kalian dosanya lebih tipis daripada sehelai rambut. Padahal dahulu, di zaman Nabi, kami menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang akan mencelakakan pelakunya.”

(Anas bin Malik, riwayat Al-Bukhari)

Ada anekdot yang mengatakan bahwa di China, orang melakukan korupsi “di bawah meja”. Di Thailand, “di atas meja”. Kalau di Indonesia, bersama meja-mejanya ikut dikorupsi juga! Kiranya, ungkapan ini sudah merupakan sindiran paling puncak untuk menggambarkan betapa parahnya praktek korupsi yang tiada putus-putusnya di negeri ini.

Media massa acapkali disesaki dengan suguhan berita-berita harian seputar korupsi. Para koruptor ini tampil di televisi dengan santainya, mengumbar senyum dan tebar pesona tanpa rasa bersalah. Mereka juga mendapatkan pelayanan yang istimewa selama proses hukum. Tetap dihormati karena berasal dari kelas orang berdasi. Sehingga, membuat akal sehat kita dijungkirbalikkan dengan menganggap bahwa korupsi itu bukan tindak kejahatan. Atau paling tidak hanya tindak kejahatan yang ringan-ringan saja.

Kata orang juga, Indonesia adalah jujukan bagi laki-laki bule hidung belang yang sedang berhasrat mencari wanita penghibur. Sebab, tarifnya paling murah dibandingkan negara-negara lain. Na’udzubillah min dzalik!

Belum lagi sederet kemaksiatan lain yang tidak perlu repot-repot dicari, ternyata dengan mudah kita jumpai di depan mata. Masih banyak orang menenggak minum-minuman keras di pinggir jalan dengan leluasa, berjudi di lapak-lapak pasar, bahkan juga ada yang melakukannya di pos-pos ronda.

Ironisnya lagi, kalau dilihat di antara para pelaku itu, atau justeru kebanyakannya adalah pemegang KTP dengan identitas beragama Islam. Mereka juga mengerjakan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, bahkan tidak sedikti yang sudah pernah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Lalu, apa faktor yang menyebabkan masih merajalelanya tindakan dosa dan maksiat itu?

Faktornya beragam dan saling berkelindan. Dari sisi internal diri si Muslim sendiri, bisa jadi ritual ibadahnya hanya dianggap sebatas rutinitas dan dikerjakan hanya untuk pantas-pantas saja. Sehingga nilai-nilai ketakwaan tidak bisa mewarnai aspek ruhani, akhlak dan perilakunya. Dari sisi penguasa juga kurang efektif dalam menjalankan fungsinya baik sebagai pembimbing maupun alat kontrol pelaksanaan ibadah bagi rakyat. Selain itu, umat mengalami krisis teladan. Amat jarang—untuk tidak menyebut tidak ada—public figure (tokoh publik), terutama dari kalangan pemerintah (umara`), yang bisa memberikan teladan baik dalam mempraktekkan ajaran Islam secara kaaffah (utuh dan menyeluruh).

Selain itu, sudah menjadi ketetapan Allah, beragam fitnah di tengah umat manusia akan selalu muncul mengiringi proses penuaan zaman hingga datangnya Kiamat. Semakin jauh dari masa hidup Nabi, maka jumlah pelaku dosa dan maksiat juga menunjukkan grafik semakin meningkat. Persis seperti ungkapan Sahabat Anas di muka.

Gunung vs Lalat

Kemaksiatan yang semakin menjadi-jadi di tengah komunitas Muslim tampaknya pertanda bagi merosotnya kualitas keimanan kaum Muslim. Orang-orang yang tipis imannya, kata Nabi, menganggap dosa itu ringan, seringan mengusir seekor lalat yang hinggap di hidung. Mereka menganggap remeh perbuatan dosa. Sehingga, mereka akan berbuat dosa tanpa beban. Padahal, kalau orang yang kuat imannya, menganggap dosa seakan-akan sebuah gunung besar yang ada di sampingnya. Dia sangat khawatir kalau sewaktu-waktu gunung tersebut runtuh menimpa dan membinasakannya. Intinya, mereka ketakutan jika dekat-dekat dengan perbuatan dosa dan maksiat.

Akibat lemahnya iman terhadap adanya Hari Pembalasan di alam akhirat, mungkin ada di antara pelaku maksiat yang berpikir, “Kalau pun masuk neraka, paling-paling hanya beberapa hari saja.” Komentar ini persis seperti yang dilontarkan oleh orang-orang kafir. Mereka tidak takut akan adzab Allah. Kejahilan mereka telah menyeret mereka pada pemikiran dangkal semacam itu. Tidak terbayang di benak mereka, kengerian-kengerian neraka. Bahwa api neraka itu panasnya tujuh puluh kali lipat dari panas api dunia. Neraka paling ringan saja, apabila penghuninya dipakaikan sandal neraka di kakinya, maka otaknya langsung mendidih. Na’udzubillah min dzalik!

وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً

“Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’…” (Al-Baqarah: 80)

Sedangkan Allah telah menyatakan dengan tegas,

وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Sesungguhnya sehari di sisi Rabb-mu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Al-Hajj: 47)

Satu hari di akhirat, lamanya setara dengan seribu tahun di dunia! Masihkah ada pikiran untuk ‘rela’ masuk neraka beberapa hari saja sebagai hukuman atas ‘nikmat’ maksiat dunia yang sesaat? Pastinya, bagi orang yang ‘melek’ ilmu akhirat, tidak akan terbetik keinginan untuk mencicipi jilatan api neraka barang sekejap pun.

Belum lagi kalau kita membaca ayat dan hadits-hadits Nabi yang mendeskripsikan makanan dan minuman penduduk neraka. Makanannya, di antaranya adalah buah-buahan penuh duri. Minumannya dari nanah dan darah. Ditambah lagi dengan siksaan-siksaan ‘khusus’ yang harus diterima oleh para pelaku dosa tertentu.

وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ

Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.” (Al-Hajj: 21)

Maqami’ ialah semacam palu dari besi. Benda ini dipukulkan ke kepala penghuni neraka setiap kali mereka berusaha keluar dari sana. “Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan): ‘Rasakanlah adzab yang membakar ini.’” (Al-Hajj: 22)

Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya.” (Faathir: 36)

Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.” (An-Nisa`: 56)

Tidak ada istilah istirahat dari siksa neraka. Para malaikat ‘spesialis’ penyiksa di neraka sudah dibekali Allah kekuatan. Mereka tidak akan merasa lelah menyiksa dan tiada belas kasihan. Dengan mengetahui betapa ngeri dan dahsyatnya neraka, kita bermohon kepada Allah supaya dihindarkan dari perbuatan dosa yang bisa mengantar ke neraka.

Waspada: istidraj!

Kita harus bersyukur kalau selalu mendapat peringatan dari Allah ketika melakukan sebuah dosa. Misalnya, setelah berbuat buruk, kita merasa tidak nyaman beribadah, atau mendapat musibah ‘ringan’, atau sulit untuk melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya. Ini pertanda Allah sedang menegur kita atas tindakan dosa yang kita lakukan. Harapannya, kita akan tersadar, kemudian kembali aktif dalam amal-amal ketaatan.

Terkadang, orang merasa enjoy-enjoy saja berbuat dosa karena tidak datang teguran dari Allah secara spontan. Pada kondisi ini justeru sangat mengkhawatirkan. Sebab, bisa jadi, kita sedang ‘dibiarkan’ oleh Allah untuk berbuat semau kita, ‘menikmati’ kemaksiatan, hidup tanpa bimbingan-Nya. Karena mungkin peringatan-peringatan yang diberikan Allah sebelum-sebelumnya tidak diindahkan. Inilah yang disebut dengan istidraj (Jawa: dilulu). Allah tangguhkan siksa-Nya atas orang-orang yang terbuai oleh kenikmatan dosa dan maksiat, menjadi sebuah akumulasi adzab yang maha dahsyat.

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)

Oleh karenanya, introspeksi (muhasabah) diri, semestinya menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan oleh tiap-tiap Muslim. Dengan begitu, ia bisa menilai peningkatan atau penurunan kualitas dirinya hari demi hari. Kita dituntut untuk selalu meningkatkan ‘nilai’ diri setiap hari. Idealnya, hari yang kita jalani sekarang harus lebih baik dari hari yang telah kita lalui kemarin. Kalau hari ini amalan kita ternyata lebih buruk dari hari kemarin, berarti kita telah celaka. Sedangkan kalau tidak ada peningkatan, tapi juga tidak menurun, berarti kita merugi.

Kalau intensitas dosa selalu mengalami kenaikan, berarti kita masih masuk kategori ketiga, alias celaka. Dengan media muhasabah, dosa setipis rambut pun tak lagi jadi sepele. Daripada waktu berlalu dalam kungkungan dosa, lebih baik dipakai untuk menghimpun pundi-pundi pahala.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun