Mohon tunggu...
Herliawan Setiabudi
Herliawan Setiabudi Mohon Tunggu... -

Just an ordinary Muslim who wants to be an extraordinary One!\r\n\r\nBerbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Penjara Kita

28 April 2015   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:37 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KALAU hidup ini sekedar kita artikan sebagai ajang mencari kekayaan harta benda, ternyata kita telah salah konsep.

Kalau hidup ini hanya kita fokuskan untuk menikah dengan seorang pria tampan atau wanita cantik idaman, kita juga telah keliru jalan.

Kalau hanya ingin mobil mewah, rumah indah, dan segala fasilitas lengkapnya di dunia, maka pilihan kita telah menyimpang.

Sebab, kalau demikian pikiran kita, maka tidak perlu menjadi orang beriman pun, semua itu bisa diperoleh. Bahkan, terkadang secara kasat mata ‘nikmat’ dunia yang diperoleh orang-orang kafir jauh lebih baik dari yang kita dapatkan. Orang-orang munafik juga demikian. Lalu, apa yang sebetulnya harus diburu oleh orang-orang beriman di dunia ini? Jawabannya yaitu, bekerja di dunia untuk hasil akhirat. Dengan begitu, insyaallah dunia kita akan mengekor di belakang kita.

Allah berjanji kepada hamba-Nya yang bertakwa untuk memberikan beragam kenikmatan. Baik di dunia maupun akhirat. Kalau yang kita kejar kenikmatan dunia semata, maka akhirat akan hilang. Tapi, kalau niatan kita melakukan aktivitas duniawi adalah dalam rangka membekali diri untu kehidupan akhirat, maka Allah menjamin dunia kita tidak akan terlewat. Allah akan mencukupi kebutuhan kita. Tetapi teori ini tidak boleh dibalik. Sama sekali tidak!

Logika pedagang sapi mengatakan, “Kalau kita membeli sapi, pasti mendapat talinya sekaligus. Tapi, kalau kita hanya membeli tali, maka tidak akan mendapat sapi.”

Sedangakan, fakta sederhana di dunia cocok tanam mengatakan, “Petani yang menanam padi, pasti akan diikuti oleh tumbuhnya rerumputan. Tapi, kalau petani itu sejak awal masa tanam hanya menanam rumput, padinya tidak akan pernah ikut tumbuh.”

Kenyamanan dan kelezatan ibadah, taqarrub kepada Allah, merasa dekat dengan Allah, serta kesempatan berbuat baik sebanyak-banyaknya, itu adalah ‘upah’ dari Allah kepada hamba-hamba bertakwa yang taat menjalankan arahan-arahan-Nya. Ini yang tidak dirasa oleh orang-orang kafir selama di dunia. Kalau di akhirat, jelas siksa telah menanti mereka dan keindahan surga telah menunggu orang-orang beriman. Meskipun, tidak sedikit juga orang beriman yang ternyata nikmat di dunia saja sudah melebihi yang diterima orang kafir, apalagi kelak di akhirat. Subhanallah!

Padahal, dunia ini baru merupakan ‘penjara’ bagi orang beriman dan sudah merupakan ‘surga’ bagi orang-orang kafir. Semiskin-miskin dan sesengsara-sengsaranya orang kafir hidup di dunia ini, itu sudah surga terpuncak baginya. Karena setelah itu sengsara abadi neraka sudah menanti dirinya. Wal ‘iyaadzu billaah.

Sebaliknya, sekaya-kaya dan sebahagia-bahagianya orang beriman hidup di dunia ini, itu masih merupakan ‘penjara’ yang mengekang dirinya. Sebab, di akhirat kelak kenikmatan surga yang abadi telah menanti dia sebagai penghuninya. Allaahummaj’alnaa minhum.


الدُّنْيَا سِجْنُ الْـمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ



“Dunia ini adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Kenapa orang mukmin seakan berada dalam penjara di dunia ini? Sebab, banyak hal yang menurut manusia baik, ternyata tidak boleh kita lakukan atu tidak boleh kita nikmati. Maka, tampak seakan-akan banyak hal yang diharamkan di dunia ini. Sedikit-sedikit dilarang, sedikit-sedikit haram. Walau sebenarnya kalau mau kita renungi, ternyata masih sangat lebih banyak hal-hal yang Allah halalkan dibandingkan yang Dia haramkan. Tapi, penilaian manusia mengatakan bahwa aturan-aturan Allah itu sudah cukup merepotkan. Biarlah kita dipaksa masuk surga, ketimbang dengan suka rela terjun bebas ke neraka.

Intinya, orang beriman itu di dunia dapat nikmat, di akhirat dapat lebih banyak lagi yang belum diberikan oleh Allah di dunia. Sedangkan orang kafir, kenikmatannya hanya dirasa di dunia. Di akhirat tidak memiliki jatah lagi karena sudah dia habiskan total di dunia. Orang cerdas pasti akan memilih beriman kepada Allah. Ini sebuah pilihan mudah dan tidak perlu teori bertele-tele untuk menimbang-nimbangnya. Maka Allah yakinkan dalam firman-Nya,


مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ



Barangsiapa yang (dengan amal perbuatannya) menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang (dengan amal perbuatannya) menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat. (Asy-Syûrâ [42]: 20)

Larangan-larangan Allah di dunia justru memperlihatkan kasih sayanya kepada hamba. Kasih sayang Allah kepada kita bagaikan seorang perawat yang merawat pasiennya. Banyak pantangan yang harus dijauhi oleh si pasien demi kesehatannya pribadi. Begitu juga kita hidup di dunia ini. Pantangan-pantangan itu harus kita hindari agar diri dan jiwa kita tetap sehat, bersih dari noda maksiat dan dosa. Sehingga, dengan standar ‘sehat’ itu, kita berhak menjadi penghuni surga.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun