[caption id="attachment_97195" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Dalam mengatasi masalah pemenuhan ketersediaan bahan pangan dan juga energi maka Presiden mencanangkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada program 100 harinya. Program ini merupakan program yang menjadikan kabupaten Merauke sebagai kawasan pertanian terpadu dalam skala luas. Dari isu yang disebarkan diketahui pemerintah mencanangkan lahan seluas 1,3 juta hektar yang terbagi menjadi beberapa klaster di beberapa kecamatan untuk dijadikan lahan pertanian terpadu. Dari segi lingkungan, program MIFEE ini mengancam keadaan hutan dan kawasan konservasi yang telah ada di Merauke. Untuk tahap awal ini lahan yang telah digarap hampir seluas 500.000 hektar dan untuk tahap selanjutnya diperkirakan akan meluas dan mulai akan menabrak kawasan hutan dan kawasan konservasi. Hal ini tentu akan merusak segala kawasan sekitarnya. Dalam persetujuannya MIFEE hanya akan seluas 500.000 hektar, namun jika dilihat dari pihak pemerintah akan memperluas lahan yang akan digunakan untuk program ini, terlihat dari Pemprov dan Pemkab yang menyepakati 700.000 hektar untuk tahap pertama dan bahkan gubernur Papua sendiri menginginkan luasan sebesar 2,4 juta hektar. Padahal untuk menambah luasan lahan harus dibahas terlebih dahulu pada Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) yang selanjutnya harus menunggu izin dari DPR untuk dilakukan perubahan tata ruangnya. Selain tidak jelasnya peruntukan lahan pada program MIFEE ini juga ditemui kekhawatiran dari warga sekitar yang merasa program MIFEE ini akan merusak bahkan mungkin menggerus kebudayaan dari suku setempat, Marind. Terlihat dari beberapa LSM dan bahkan aktivis keagamaan meyakini bahwa program MIFEE ini akan merusak budaya mereka dan mengasingkan suku mereka. Kecemasan suku setempat ini bukannya tidak beralasan, mengingat perluasan peruntukan lahan bisa saja sewaktu-waktu mendesak bahkan dapat menggusur tanah adat mereka dan juga dengan adanya program MIFEE ini mereka menganggap bahwa nilai-nilai dan kearifan lokal akan tergerus budaya yang masuk dari para tenaga kerja yang akan segera menempati beberapa distrik di kabupaten Merauke. Meskipun hal-hal ini hanyalah sebatas masalah sosial namun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ini bisa saja menjadi salah satu faktor yang dapat merusak program MIFEE. Dari segi perekonomian terlihat tidak siapnya pemerintah dalam mencanangkan program MIFEE ini, hal ini dibuktikan dengan penyerahan sepenuhnya hak penggunaan lahan kepada investor, bukan pada petani. Dengan tidak dipegangnya hak penggunaan lahan oleh petani sangat dimungkinkan bahwa akan muncul "Tuan Takur" di lahan sendiri dan juga otomatis menjadikan petani yang bekerja pada program ini lebih berstatus sebagai buruh tani investor-investor yang menanamkan modal di kabupaten dengan luasan 2,5 juta hektar ini. Kebijakan-kebijakan yang hingga kini diberikan pemerintah juga sampai saat ini belum menyentuh tentang peningkatan kesejahteraan petani di Merauke. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk PP sampai saat ini jelas-jelas merugikan petani dengan memberikan keleluasaan pada investor untuk mengelola lahan yang telah disediakan oleh mereka. Tidak tanggung-tanggung setiap izin yang didapat oleh investor akan memperbolehkan investor mendapat keleluasaan pengolahan lahan seluas 10.000 hektar dan terdengar isu juga nantinya khusus untuk budidaya tanaman padi akan diberikan izin pengelolaan lahan sebesar 20.000 hektar. Hal ini sudah tentu akan memberatkan petani yang kepemilikan lahannya hanya beberapa hektar atau bahkan tidak mencapai 1 hektar. Adapun solusi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah dengan program kemitraan atau joint venture yang hingga saat ini belum jelas bagaimana alur kerjasamanya. Merauke yang dijadikan lokasi food estate ini sebetulnya diharapkan menjadi kawasan food estate perintis yang nantinya mungkin akan dikembangkan juga dibeberapa daerah di kawasan Indonesia timur dengan tujuan selain menciptakan ketahanan pangan juga akan menciptakan pembangunan yang merata di kawasan Indonesia timur karena pemerintah beranggapan bahwa seiring berjalannya program pertanian terintegrasi ini juga akan mengembangkan bidang infrastruktur yang hingga saat ini masih terlihat tertinggal di beberapa daerah di kawasan Indonesia timur. Belum diketahui dan juga belum dapat diprediksi bagaimana jalannya program ini untuk kedepannya, mengingat program ini termasuk program jangka panjang dari pemerintah yang bahkan untuk tahap pertamanya masih akan berlangsung hingga tahun 2014. Harapan kedepannya adalah pemerintah bisa dapat membuka mata lebih lebar dan lebih mencermati setiap aktivitas di program MIFEE ini dan juga seharusnya tidak segan untuk lebih melibatkan pihak akademisi dan juga lembaga swadaya masyarakat yang benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H