Mohon tunggu...
Herlambang
Herlambang Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dekriminalisasi Narkotika: Solusi Humanis atas Masalah Overkapasitas Penjara di Indonesia

17 November 2024   21:01 Diperbarui: 17 November 2024   21:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lbhmasyarakat.org

Indonesia tengah menghadapi krisis penahanan narkotika yang serius. Menurut data terbaru yang dikutip dari ANTARA, sekitar 52,97% dari total penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) terkait dengan kasus narkotika, dan kondisi ini mengakibatkan overkapasitas penjara hingga 97%. Pemidanaan yang semakin masif ini tak hanya menguras anggaran negara tetapi juga menciptakan lingkungan penjara yang sesak dan kurang manusiawi, memperparah ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi masalah sosial dan kesehatan akibat kecanduan narkotika.

Dalam hal ini, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, menekankan bahwa pemidanaan massal terhadap pelaku kasus narkotika berkontribusi besar pada krisis ini. Situasi overkapasitas juga memaksa negara untuk terus mengalokasikan anggaran lebih untuk kebutuhan hidup para narapidana, yang sebenarnya bisa dialokasikan pada program-program pemulihan kecanduan.

Dekriminalisasi: Mengubah Pendekatan terhadap Narkotika

Dekriminalisasi adalah kebalikan dari kriminalisasi, yang mengubah suatu tindakan dari yang sebelumnya dianggap tindak pidana menjadi tidak lagi dipidana. Mengutip pandangan Prof. Jacob Elfinus Sahetapy dalam buku yang dikutip oleh Eki, dekriminalisasi memiliki dua bentuk utama. Pertama, dekriminalisasi di level legislasi, yang berarti suatu perbuatan sebelumnya diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana, namun peraturan tersebut diubah sehingga perbuatan itu tidak lagi dikriminalisasi. Kedua, dekriminalisasi dalam tataran praktik sosial, di mana undang-undangnya tetap ada, tetapi masyarakat atau otoritas hukum tidak lagi memperlakukannya sebagai pelanggaran pidana. Sebagai contoh, KUHP memuat ketentuan pidana terhadap petugas medis yang menunjukkan alat kontrasepsi, tetapi praktiknya aturan ini dianggap sudah usang dan tidak diberlakukan.

Penting untuk diketahui bahwa di luar Indonesia, negara lain telah berhasil menerapkan kebijakan dekriminalisasi dengan hasil yang positif. Misalnya, Portugal yang sejak 2001 mengadopsi kebijakan dekriminalisasi narkotika.

Sumber: McCarthy, 2020
Sumber: McCarthy, 2020

Data di atas yang diungkap oleh McCarthy di tahun 2020 menunjukkan bahwa pada tahun 1999, Portugal mencatat 369 orang meninggal akibat overdosis. Namun, setelah kebijakan dekriminalisasi diterapkan, angka kematian tersebut turun drastis menjadi hanya 30 orang pada tahun 2016. Selain itu, jumlah diagnosis HIV dan suntikan turun signifikan, dari 907 orang pada tahun 2000 menjadi hanya 18 orang pada tahun 2017. Penurunan ini menunjukkan bahwa pendekatan rehabilitasi, alih-alih pemidanaan, dapat secara signifikan mengurangi dampak buruk penyalahgunaan narkotika di masyarakat.

Bagaimana Pengaturan Dekriminalisasi Narkotika di Indonesia?

Indonesia sendiri telah mengadopsi konvensi internasional hasil sidang PBB mengenai narkotika, yang memberi alternatif penghukuman berupa rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Konvensi ini tercermin dalam Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009, terutama dalam Pasal 103 yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukuman rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Pasal 54 dan Pasal 55 juga menegaskan bahwa pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan perawatan rehabilitasi medis maupun sosial. Namun, meskipun landasan hukum sudah jelas, implementasi kebijakan rehabilitasi sering kali menemui hambatan.

Selain ketentuan dalam Pasal 103, dekriminalisasi juga diperkuat dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Melalui kedua peraturan tersebut, sangat jelas bahwa seorang pecandu narkotika tetap mendapatkan penghukuman, namun bentuk penghukumannya berupa rehabilitasi.

Di samping itu, Pada tahun 2015, tujuh kementerian dan lembaga terkait---Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan BNN---menandatangani kesepakatan bersama. Kesepakatan ini menghasilkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Tujuan peraturan ini adalah untuk mewujudkan koordinasi dan kerjasama optimal dalam penyelesaian permasalahan narkotika melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tim ini, yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Medis, melaksanakan analisis hukum, medis, dan psikososial untuk menentukan rencana rehabilitasi yang sesuai, termasuk durasi rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asesmen ini kemudian digunakan sebagai kelengkapan berkas perkara yang berfungsi sebagai visum et repertum.

Dalam implementasinya, kebijakan ini belum sepenuhnya berjalan efektif. Ketidaksesuaian antara hukum yang ada dan kenyataan di lapangan menyebabkan masih banyaknya pecandu narkotika yang dipenjara tanpa mendapatkan rehabilitasi yang mereka butuhkan. Salah satu alasan utama mengapa kebijakan rehabilitasi belum maksimal diterapkan adalah ketidaktepatan dan ketidakjelasan dalam pelaksanaan asesmen terpadu yang diperlukan untuk menentukan tingkat ketergantungan narkotika pada tersangka. TAT merupakan instrumen penting untuk mengidentifikasi apakah seorang tersangka dapat menjalani rehabilitasi atau harus dijatuhi hukuman pidana.

Namun, masalahnya terletak pada minimnya sarana dan prasarana serta kurangnya SDM yang kompeten dalam pelaksanaan asesmen ini. Dengan adanya hambatan ini, banyak pengguna narkotika yang justru menerima hukuman penjara ketimbang menjalani rehabilitasi yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Padahal, rehabilitasi bukan hanya soal pengobatan medis, melainkan juga solusi yang lebih manusiawi dan efektif dalam jangka panjang untuk mengurangi tingkat kekambuhan pengguna narkoba. Dekriminalisasi narkotika dalam hal ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menggantikan hukuman penjara dengan rehabilitasi, sesuai dengan amanat konvensi internasional yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Narkotika.

Saatnya Revisi UU No. 35 Tahun 2009

Agenda perubahan terhadap Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024. Pemerintah bahkan mengusulkan untuk menggabungkannya dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Namun, meski sudah ada rencana perubahan, pembahasan revisi ini masih terhambat hingga saat ini.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, terdapat beberapa aspek dalam UU ini yang perlu diubah untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus narkotika. Salah satunya adalah frasa "memiliki, menyimpan, menguasai" dalam Pasal 111 dan 112 yang cenderung multitafsir. Tidak ada batasan jelas mengenai kapan seseorang dapat dianggap sebagai penyalahguna atau pengedar narkotika. Akibatnya, aparat penegak hukum (APH) seringkali mengalami kesulitan dalam menentukan kategori seseorang, yang pada gilirannya berpotensi memperburuk implementasi hukum. Banyak individu yang terlibat narkotika langsung dianggap kriminal, meskipun mereka bisa saja hanya pengguna coba-coba atau bahkan terjebak dalam kondisi tertentu.

Selain itu, Pasal 127 yang mengatur tentang rehabilitasi juga kurang memadai karena tidak memberikan penjelasan tentang kategori penyalahguna yang bisa menjalani rehabilitasi. Hal ini menambah kebingungan bagi APH dalam mengimplementasikan pasal tersebut. Tak hanya itu, UU No. 35 Tahun 2009 juga belum mengatur Asesmen Terpadu (TAT), yang seharusnya menjadi acuan utama dalam penanganan korban penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan TAT yang masih mengacu pada peraturan bersama dari beberapa kementerian membuat mekanisme ini tidak mengikat dan rentan terhadap penafsiran subjektif. Ditambah lagi, tidak ada kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melibatkan TAT dalam proses penanganan kasus narkotika. Akibatnya, asesmen seringkali tidak terlaksana dengan baik dan kebijakan rehabilitasi menjadi kurang efektif.

Untuk itu, revisi terhadap UU No. 35 Tahun 2009 sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai ketidakjelasan ini dan untuk memastikan kebijakan terkait narkotika dapat diterapkan secara lebih konsisten dan tepat sasaran.

Oleh karenanya, keberpihakan para pemegang kebijakan di parlemen dan pemerintahan terhadap masa depan bangsa ini perlu kita pertanyakan, karena dekriminalisasi bukan hanya solusi bagi sistem pemasyarakatan kita yang ambruk, tapi juga langkah revolusioner yang lebih manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun