Di samping itu, Pada tahun 2015, tujuh kementerian dan lembaga terkait---Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan BNN---menandatangani kesepakatan bersama. Kesepakatan ini menghasilkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Tujuan peraturan ini adalah untuk mewujudkan koordinasi dan kerjasama optimal dalam penyelesaian permasalahan narkotika melalui Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tim ini, yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Medis, melaksanakan analisis hukum, medis, dan psikososial untuk menentukan rencana rehabilitasi yang sesuai, termasuk durasi rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asesmen ini kemudian digunakan sebagai kelengkapan berkas perkara yang berfungsi sebagai visum et repertum.
Dalam implementasinya, kebijakan ini belum sepenuhnya berjalan efektif. Ketidaksesuaian antara hukum yang ada dan kenyataan di lapangan menyebabkan masih banyaknya pecandu narkotika yang dipenjara tanpa mendapatkan rehabilitasi yang mereka butuhkan. Salah satu alasan utama mengapa kebijakan rehabilitasi belum maksimal diterapkan adalah ketidaktepatan dan ketidakjelasan dalam pelaksanaan asesmen terpadu yang diperlukan untuk menentukan tingkat ketergantungan narkotika pada tersangka. TAT merupakan instrumen penting untuk mengidentifikasi apakah seorang tersangka dapat menjalani rehabilitasi atau harus dijatuhi hukuman pidana.
Namun, masalahnya terletak pada minimnya sarana dan prasarana serta kurangnya SDM yang kompeten dalam pelaksanaan asesmen ini. Dengan adanya hambatan ini, banyak pengguna narkotika yang justru menerima hukuman penjara ketimbang menjalani rehabilitasi yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Padahal, rehabilitasi bukan hanya soal pengobatan medis, melainkan juga solusi yang lebih manusiawi dan efektif dalam jangka panjang untuk mengurangi tingkat kekambuhan pengguna narkoba. Dekriminalisasi narkotika dalam hal ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menggantikan hukuman penjara dengan rehabilitasi, sesuai dengan amanat konvensi internasional yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Narkotika.
Saatnya Revisi UU No. 35 Tahun 2009
Agenda perubahan terhadap Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024. Pemerintah bahkan mengusulkan untuk menggabungkannya dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Namun, meski sudah ada rencana perubahan, pembahasan revisi ini masih terhambat hingga saat ini.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, terdapat beberapa aspek dalam UU ini yang perlu diubah untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus narkotika. Salah satunya adalah frasa "memiliki, menyimpan, menguasai" dalam Pasal 111 dan 112 yang cenderung multitafsir. Tidak ada batasan jelas mengenai kapan seseorang dapat dianggap sebagai penyalahguna atau pengedar narkotika. Akibatnya, aparat penegak hukum (APH) seringkali mengalami kesulitan dalam menentukan kategori seseorang, yang pada gilirannya berpotensi memperburuk implementasi hukum. Banyak individu yang terlibat narkotika langsung dianggap kriminal, meskipun mereka bisa saja hanya pengguna coba-coba atau bahkan terjebak dalam kondisi tertentu.
Selain itu, Pasal 127 yang mengatur tentang rehabilitasi juga kurang memadai karena tidak memberikan penjelasan tentang kategori penyalahguna yang bisa menjalani rehabilitasi. Hal ini menambah kebingungan bagi APH dalam mengimplementasikan pasal tersebut. Tak hanya itu, UU No. 35 Tahun 2009 juga belum mengatur Asesmen Terpadu (TAT), yang seharusnya menjadi acuan utama dalam penanganan korban penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan TAT yang masih mengacu pada peraturan bersama dari beberapa kementerian membuat mekanisme ini tidak mengikat dan rentan terhadap penafsiran subjektif. Ditambah lagi, tidak ada kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melibatkan TAT dalam proses penanganan kasus narkotika. Akibatnya, asesmen seringkali tidak terlaksana dengan baik dan kebijakan rehabilitasi menjadi kurang efektif.
Untuk itu, revisi terhadap UU No. 35 Tahun 2009 sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai ketidakjelasan ini dan untuk memastikan kebijakan terkait narkotika dapat diterapkan secara lebih konsisten dan tepat sasaran.
Oleh karenanya, keberpihakan para pemegang kebijakan di parlemen dan pemerintahan terhadap masa depan bangsa ini perlu kita pertanyakan, karena dekriminalisasi bukan hanya solusi bagi sistem pemasyarakatan kita yang ambruk, tapi juga langkah revolusioner yang lebih manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H