Uang merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai alat bayar, uang memiliki nilai yang diakui secara luas dan berfungsi sebagai alat tukar yang sah. Di Nusantara, bentuk uang sangat beragam, mulai dari koin perak, koin emas, hingga logam bulat dengan lubang di tengahnya yang memungkinkan untuk diikat dengan tali. Bentuk-bentuk ini, meskipun memiliki nilai, tidak praktis untuk dibawa-bawa dalam jumlah besar.
Pada akhir abad ke-18, VOC memperkenalkan uang kertas untuk memudahkan transaksi dalam jumlah besar. Uang kertas lebih mudah dibawa dan digunakan dibandingkan dengan koin logam. Setelah Indonesia merdeka, diperkenalkan ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai mata uang resmi, yang kemudian digantikan oleh rupiah hingga sekarang.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, masyarakat mulai beralih dari penggunaan uang tunai ke uang non-tunai. Uang non-tunai, seperti kartu kredit, kartu debit, dan dompet digital, menawarkan berbagai kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi. Penggunaan uang non-tunai memungkinkan transaksi dilakukan dengan cepat dan efisien tanpa perlu membawa uang fisik dalam jumlah besar.
Selain itu, uang non-tunai juga mengurangi risiko kehilangan atau pencurian uang tunai. Dengan adanya teknologi enkripsi dan autentikasi yang canggih, transaksi non-tunai menjadi lebih aman. Masyarakat dapat melakukan pembayaran hanya dengan beberapa sentuhan pada layar ponsel atau gesekan kartu, yang sangat praktis dalam kehidupan modern yang serba cepat.
Pemerintah dan berbagai institusi keuangan juga mendorong penggunaan uang non-tunai melalui berbagai program dan insentif. Misalnya, banyak bank yang menawarkan cashback atau diskon khusus bagi pengguna kartu kredit atau debit. Selain itu, dompet digital seperti Wondr by BNI, Byond by BSI, GoPay, OVO, dan Link aja semakin populer dengan berbagai promosi menarik yang membuat masyarakat semakin tertarik untuk beralih ke pembayaran non-tunai.
Tidak ada yang salah dalam menggunakan pembayaran tunai dan non tunai. Keduanya sebagai alat pembayaran rupiah yang sah. Namun disayangkan apabila masyarakat dipaksa untuk memilih pembayaran non tunai. Seperti kejadian yang pernah dirasakan oleh Herlambang disalah satu tempat daerah Cinere. "Saat ingin membayar ke meja kasir. Kasir bertanya," Mau bayar cash atau QRIS? Herlambang ingin membayar cash, akan tetapi sama mbak-mbak kasir, boleh cash namun uang pas ya pak, karena kita tidak menyiapkan uang kembalian". Akhirnya Herlambang dapat membayar dengan memakai QRIS dengan memakai gawai milik istrinya.
Pembayaran non tunai, membuat orang lebih banyak menghabiskan uang dibandingkan dengan pembayaran tunai. Pembayaran secara tunai tentunya memerlukan menghitung dan menyetorkan sejumlah uang saat transaksi dilakukan. Hal ini akan terlihat menonjol apabila transaksi dalam jumlah besar, menggunakan  alat pembayaran mulai dari kertas hingga koin. Berbeda dengan non tunai, tidak ada uang yang diserahkan secara fisik. Kita tinggal memindai kode bayar pada gawai yang kita miliki, sehingga orang akan mudah serta lupa berapa banyak uang yang dibelanjakan.
Melakukan pembayaran tunai maupun non-tunai bisa sama-sama boros jika tidak dikelola dengan baik, karena harus memprioritaskan mana kebutuhan dan keinginan, menyelaraskan penghasilan dan pengeluaran terutama dalam menyusun perencanaan anggaran. Jadi, Anda lebih memilih yang mana, tunai atau non-tunai? (hes50)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H