DALAM pernyataan di berbagai media massa akhir-akhir ini, dua kandidat calon presiden (capres) yang tengah bertarung memperebutkan RI-1 membawa agenda pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu agenda utama pemerintahan mereka.
Salah satu pernyataan yang menarik dari kedua kandidat adalah pendirian bank pertanian khusus untuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil di sektor pertanian dan perikanan. ”Bank pertanian” merupakan terminologi yang menarik untuk dikutip media massa karena kalimat tersebut merefleksikan kritik publik atas minimnya peran perbankan dalam memberikan akses kredit kepada petani, nelayan, dan usaha mikro lainnya.
Bank Dunia (2010) menyebutkan bahwa selama ini permasalahan akses keuangan usaha mikro, termasuk usaha tani dan perikanan, adalah salah satu hambatan utama usaha mikro untuk bisa berkembang dengan baik. Data dari Bank Indonesia (BI) tahun 2012 menyebutkan sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi 7,73 % dari Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sebagian besar KUR dimanfaatkan untuk usaha perdagangan, yakni sebesar 47,2 %, dari total KUR di tahun 2012.
Meskipun akses keuangan untuk petani merupakan permasalahan besar, apakah solusi mendirikan bank pertanian merupakan kebijakan yang tepat dan efektif ? Sejak Orde baru, Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi pionir keuangan mikro bagi petani dan usaha mikro lainnya di Indonesia.
Bahkan, BRI merupakan contoh sukses keuangan mikro di dunia yang banyak dikutip oleh akademisi (lihat misalnya dalam Rosengard & Prasetyantoko, 2011; Robinson, 2001; atau Miyashita, 2000) jauh sebelum gerakan Grameen Bank di Bangladesh mengemuka dan mendunia.
Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertujuan khusus untuk memberikan kredit pada sektor pertanian telah dilaksanakan BRI sejak tahun 1980-an. Sayangnya, program tersebut justru membebani keuangan negara dan membuat BRI mengalami kerugian keuangan dan akhirnya program tersebut ditutup.
Kemudian, pemerintah melanjutkan program kredit di sektor pertanian melalui program Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan sekarang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Di luar dari program kredit yang dilakukan oleh perbankan, akses kredit untuk petani juga dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang berciri lebih informal dan berbasis komunitas, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), atau sistem arisan.
Riset dari Tambunan (2013) dan Bank Dunia (2009) menunjukkan sebagian besar usaha mikro, termasuk di dalamnya usaha pertanian, lebih banyak mengandalkan sumber pembiayaan informal daripada sumber pembiayaan dari perbankan.
Penggunaan sumbersumber informal ini, salah satunya, karena perbankan menerapkan banyak persyaratan yang menyulitkan usaha mikro, terutama perizinan usaha dan agunan. Sementara itu, selain mensyaratkan agunan dan legalitas usaha, perbankan juga memerlukan profil risiko kreditur.
Selama ini, usaha pertanian dianggap usaha dengan tinggi risiko, terlebih saat ini perubahan iklim memacu risiko gagal panen lebih besar. Jika perbankan hendak menurunkan standar risiko pembiayaan untuk petani, perbankan dihadapkan pada perhitungan efisiensi usaha.