PilkadaL atau Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang sering disebut Pilkada, memiliki tantangan penegakan hukum yang berasal dari norma Peraturan Perundang-undangan dan budaya masyarakat pemilih di Indonesia. Tantangan dari Undang-Undang Pilkada yang ada sudah 2 kali diubah dan Masyarakat pemilih yang berpotensi terjerat sanksi peraturan perundang-undangan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pengawas pemilu menemukan bentuk yang semakin tidak jelas dari sisi kewenangan. Pengawas pemilu diserahkan kewenangan untuk mencegah, menindak pelanggaran, sekaligus sebagai hakim. UU Pilkada telah menempatkan pengawas pemilu sebagai lembaga gado-godo. Dari sisi pencegahan, pengawas pemilu menindaklanjuti kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan metode Preemptifikasi (sosialiasi) dan preventifikasi (pencegahan). Terhadap hal-hal yang berpotensi menggangu tahapan pemilihan, pengawas pemilu dapat mengingatkan instansi yang terkait untuk mengantisipasi. Dari sisi penindakan pelanggaran, pengawas pemilu mendapatkan porsi untuk mengelola sentra gakkumdu (sentra penegakan hukum terpadu).Â
Bahasa yang paling mudah untuk menggambarkan Sentra Gakkumdu adalah Mini KPK dalam penindakan pelanggaran pidana pemilihan dikarenakan di dalamnya terdapat pula penyidik dan penuntut. Penyidik dan Penuntut tindak pidana pemilihan berada di bawah kendali dan koordinasi pengawas pemilihan. Pengawas pemilu dapat meminta bantuan penyidik untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan. Satu lagi fungsi yang membuat makin gado-gado adalah fungsi hakim yang dilekatkan pada pengawas pemilu, pengawas pemilu dapat menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada pasangan calon peserta pemilihan. Sebagai lembaga Gado-Gado dari sisi fungsi, pengawas pemilu harus kerja ekstra keras demi memenuhi ekspektasi masyarakat.
Norma Undang-Undang pun tidak lepas dari pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut menunjukkan masih adanya kelemahan di dalam norma Undang-Undang Pilkada. Perubahan beberapa kali tidak menuntaskan permasalahan-permasalahan norma pada Undang-Undang Pilkada sebelumnya.
Bagi masyarakat pemilih, perlu mengetahui bahwa di dalam Undang-Undang Pilkada saat ini diatur bahwa penerima uang dalam pemilihan dapat dikenakan sanksi pidana penjara. Di beberapa daerah masih ada anggapan akan menggunakan hak pilih apabila ada yang bayar. Masyarakat kali ini perlu berhati-hati dan membuang anggapan tersebut dikarenakan penerima uang dalam pilkada dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana bagi penerima uang ini sebelumnya tidak diatur di dalam Undang-Undang Pilkada terdahulu. Mengubah pandangan masyarakat ini menjadi tantangan yang harus dilakukan seluruh elemen masyarakat dengan mensosialisasikan sanksi pidana penerima uang dalam pilkada kepada sanak keluarga, teman, dan orang-orang terdekat. Hal tersebut bertujuan jangan sampai orang-orang terdekat akan terjerat sanksi pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H