Mari kita telaah sedikit Kasus Pemilukada Kotawaringin Barat supaya melihat apakah telah terjadi kriminalisasi atau tidak.
Pelaporan yang dilakukan pelapor Sugianto Sabran bukan yang pertama. Di tahun 2011 setidaknya yang bersangkutan pernah melapor dan dicabut. Kok sekarang dilaporkan lagi, kalau saya jadi Polisi yang pertama saya lakukan adalah menanyakan keseriusan Pelapor. Atau jangan-jangan Pelapor hanya mau mengambil momentum saat ini saja. Atau memang pelapor disuruh melapor. Jangan sampai polisi dimainkan oleh Pelapor.
Dalam Putusan Pengadilan yang menghukum Ratna Mutiara jelas tidak tergambar Peran BW mengarahkan Saksi. Yang terjadi justru Ratna Mutiara selip lidah (slip tounge) ketika menjelaskan posisinya. Maksud Ratna Mutiara sangat baik bersaksi di MK untuk menjelaskan bahwa benar terjadi Politik Uang, namun Ratna Mutiara menjelaskan Peristiwa yang tidak dialami langsung namun dikatakan mengalami langsung. Bisa jadi Ratna Mutiara melihat dan mendengar Peristiwa lainnya berupa peristiwa politik uang yang bukan seperti dikatakan di MK namun masih dalam ruang lingkup Pemilukada Kotawaringin Barat. Â Atau bisa jadi Ratna Mutiara tidak memahami secara benar peristiwa yang ditanyakan kepada dirinya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan saksi Gugup menghadapi hakim MK dan suasana di MK bisa membuat orang gugup dan lupa apa yang mau dikatakan. Bersaksi di pengadilan atau MK bagi orang yang tidak biasa beracara bisa membuat gugup.
Saya pernah memonitor pemeriksaan saksi dalam perkara PHPU di MK , sebut saja Pemilukada salah satu Kota di Indonesia. Dalam sidang tersebut saksi diberikan beras oleh salah satu Pasangan Calon. Saksi mengatakan beras tersebut adalah Beras Raskin yang biasa dibagikan bulan Mei dan November namun sudah dibagikan bulan Januari menjelang pencoblosan. Hakim MK pada saat itu meluruskan saksi dengan menanyakan apakah anda yakin itu beras Raskin, dengan pertanyaan hakim itupun saksi bingung. Hakim pun meluruskan dan menjelaskan bahwa Beras Raskin tidak dibagikan di tahun tersebut karena terakhir dibagikan bulan November dan Desember Tahun Yang Lalu. Saksi pun hanya terdiam dan mengatakan karena tiap tahun saksi hanya mendapat beras Raskin dan tiba-tiba ada yang membagikan bulan Januari sehingga Saksi mengatakan itu Beras Raskin. Tentu saja kalau mau dikriminalisasi, saksi yang selip lidah atau tidak memahami betul apa yang ditanyakakan maka bisa dituntut memberikan keterangan Palsu.
Tanyakan saja kepada setiap Warga yang tinggal di Kotawaringin Barat, Siapakah Sugianto Sabran? Adakah warga yang berani melawan Sugianto Sabran? jawabnya pasti tidak. Karena Sugianto Sabran ditakuti oleh Warga di Kotawaringin Barat (kenapa ditakuti silahkan search di google pasti anda akan menemukan hal-hal yang mencengangkan dan hal yang tidak baik).
Saya sudah dapat menduga ketika Sugianto Sabran mengatakan Keterangan Saksi dihadapan Notaris yang menjadi dasar pelaporan ketika diwawancarai kompas Tv, langsung saja saya teringat permainan keterangan saksi dalam dunia hukum.
Seorang saksi dibawa ke hadapan notaris untuk membuat keterangan tertulis tertentu. Ada juga keterangan tersebut sudah direkayasa sedemikian rupa supaya untuk kepentingan tertentu. Rekayasa keterangan di akta notaris itupun biasanya disertai dengan ancaman dan paksaan dalam pemberian keterangan. Perlu disadari bahwa tidak bisa dianggap keterangan saksi apabila berdasar pada akta notaris. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan dihadapan hakim di Pengadilan.
3 Alat Bukti menurut Polisi
Polisi dalam keterangan Persnya ketika ditanyai Wartawan mengatakan telah ada 3 alat bukti berupa Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, dan Petunjuk. Dan apabila ditelaah, keterangan Polisi tersebut bisa disambungkan dengan keterangan Suugianto Sabran sebagai Pelapor di Kompas Tv. Benarkah telah ada 3 alat bukti?
1) Keterangan Saksi dihadapan Notaris menurut Sugianto Sabran.
Apabila yang dimaksud Polisi alat bukti Keterangan Saksi dihadapan Notaris dianggap  dan dikualifikasi oleh Polisi sebagai keterangan saksi dan Petunjuk maka Polisi telah keliru. Namanya keterangan saksi adanya di Pengadilan, coba baca Pasal 184 KUHAP bahwa keterangan saksi adalah keterangan saksi di Pengadilan. Sehingga keterangan saksi dihadapan Notaris hanya dapat dikualifikasikan sebagai bukti Petunjuk dan nilainya 1 alat bukti bukan 2 alat bukti.
Apabila memang benar ada keterangan saksi, patut dipertanyakan Saksi yang mana yang diperiksa. Saksi yang diduga sudah dikondisikan oleh Pelapor ataukah Saksi yang benar-benar mengalami Peristiwa (dalam hal ini Ratna Mutiara). Kalau Ratna Mutiara sudah jelas keterangannya dalam Putusan Pengadilan bahwa tidak ada keterlibatan BW.
2) Mengapa ada keterangan Ahli.
Supaya memenuhi 2 alat bukti, biasanya ditambahkan dengan keterangan ahli. Keterangan Ahli apa yang digunakan oleh Polisi patut dipertanyakan. Atau patut diduga hanya untuk memenuhi 2 alat bukti sehingga bisa dipaksakan penangkapan BW.
Kualifikasi Ahli pun harus dibatasi, yakni Ahli Hukum Pidana Pemilu. Saya kira Ahli Hukum Pidana Pemilu hanya satu orang di Negeri ini, yakni Prof.Topo Santoso. Prof.Topo Santoso mendapat gelar Profesor atau Guru Besar karena menulis Pidana Pemilu. Dan Prof.Topo Santoso sangat berpengalaman di bidang Pemilu dari tahun 1999 sampai sekarang.
Jadi dalam hal ini Polisi hanya punya 1 alat bukti yakni Petunjuk dalam bentuk keterangan saksi dihadapan notaris. Jadi tidak cukup bukti untuk membuat BW jadi tersangka.
3) Tidak adanya penetapan Mahkamah Konstitusi
Coba anda perhatikan MoU yang ditandatangani oleh Ketua MK dan Kapolri terkait Pemberian keterangan Palsu di Persidangan Mahkamah Konstitusi. Dalam MoU tersebut sudah sangat jelas dan tegas yang dapat melaporkan adalah Mahkamah Konstitusi sendiri melalui Penetapan. Kenapa bisa pelaporan dilakukan Sugianto Sabran kepada Kepolisian langsung tanpa penetapan MK sebelumnya. Justru Sugianto Sabran yang menurut Putusan MK terbukti melakukan politik uang secara TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) Â tidak ditangkap oleh Polisi.
Jadi Polri sendiri sudah melanggar MoU yang dibuat antara POLRI dengan MK terkait pemberian keterangan Palsu di persidangan PHPU MK.
Mengapa Sugianto Sabran masih dibiarkan bebas?
Cari di google dan Putusan MK, jelas Panwaslu Kab.Kotawaringin Barat sudah meneruskan Pidana Politik Uang ke Kepolisian. Pertanyakan Mana Tindak Lanjut Kepolisian atas Pelaporan Panwaslu tersebut? Kalau dihentikan apa dasar menghentikannya karena jelas-jelas sudah terbukti melakukan politik uang menurut Putusan MK. Jadi mengapa Sugianto Sabran masih bebas sampai sekarang padahal Pidana Politik Uangnya sudah ada di tangan Polisi dan sudah terbukti berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Saya bisa menjawab alasan kepolisian pasti alasanya daluarsa pidana pemilu, terus tidak terpenuhi unsur kampanye kumulatif. Kalau alasannya seperti itu lihat PP 6 Tahun 2005 dan Pasal 117 ayat (2) UU 32/2004.
1) tidak ada batas waktu menurut PP 6 Tahun 2005
menurut PP 6 Tahun 2005, Polisi menggunakan aturan KUHAP. Jadi masih sangat relevan apabila polisi meneruskan kasus politik uang pada Pemilukada Kotawringin Barat tahun 2010. Karena belum daluarsa menurut KUHAP.
2) Unsur Pasal 117 ayat (2) tidak mengenal tahapan.
berbeda dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dimana Politik uang hanya bisa dijerat pada tahapan tertentu, dalam Pemilukada tidak dikenal tahapan dalam menjerat Politik uang. Jadi tidak tepat apabila mengaitkan dengan unsur Kampanye yang harus bersifat Kumulatif.
Jadi Mari sama-sama kita dorong laporan politik uang dalam Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2010 yang sudah ada di tangan kepolisian untuk menindaklanjuti supaya jelas dan terang benderang.
Silahkan Anda Nilai apakah telah terjadi Kriminalisasi atau Tidak?
Ini sekedar Tulisan dari Rakyat Yang "Tidak Jelas" Menurut Menteri Tedjo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H