Papua adalah negeri yang terletak di ufuk timur Indonesia yang menyimpan kekayaan akan sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah. Tuhan sudah menyiapkan dan menyediakan kekayaan alam itu kepada masyarakat di Bumi Cendrawasih dan menempatkan mereka  untuk menjaga, memelihara dan menikmati kekayaan alam tersebut, bahkan juga memberikan tanah yang subur dan keindahan alam yang digemari hingga ke mancanegara.
Namun dibalik semuanya itu, masyarakat Papua masih digolongkan  miskin di atas kekayaan sumber daya alam yang  melimpah dan  yang menjadi persoalan yang aneh tetapi nyata di republik ini bahwa akar persoalan fundamentalnya adalah miskin infrastruktur. Kurangnya infrastruktur menyebabkan masyarakat hidup terkurung di wilayah terisolasi dengan tingkat kemiskinan yang sangat parah. Nah, salah satu obat mujarab yang dapat menyembuhkan ketimpangan ini  adalah dengan membangun infrastruktur dasar utamanya utamanya yang terkait dengan pembangunan infrastruktur jalan.
Pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Papua  menjadi salah satu kebutuhan mendesak  dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat. Keberadaan jalan raya akan mampu membuka akses bagi masyarakat untuk melaksanakan aktivitas ekonomi. Nah, salah satu program unggulan pemerintah untuk  membuka keterisolasian  tersebut adalah pembangunan jalan Trans Papua  sepanjang 4330 Km.
Resolusi Konflik Penyelesaian Hak Ulayat
Kendati telah memastikan bakal memprioritaskan pembangunan infrastruktur konektivitas di  Papua lewat jalan Trans Papua, pemerintah masih menghadapi berbagai kesulitan dalam mewujudkannya. Salah satunya yaitu pembebasan lahan hak ulayat. Sekedar informasi bahwa hak ulayat adalah  hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum tertentu atas suatu wilayah tertentu yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlu diingat, Papua tak lepas dari tanah adat. Pihak yang akan menggunakan tanah ulayat masyarakat adat, harus menjelaskan kepada masyarakat pemilik seperti status tanah yang akan dipakai kedepan. Karena bagi masyarakat tanah sudah menjadi komoditas bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat dan pemangku kepentingan pembangunan di Papua.
Berbeda dengan daerah lain di luar Pulau Papua, penyelesaian konflik terkait hak ulayat tak hanya melibatkan pihak kontraktor, konsultan dan instansi pemerintah pelaksana kegiatan tender, namun mau tak mau harus melibatkan partisipasi masyarakat yang terdiri dari beberapa elemen untuk melakukan pendekatan emosional lewat jalur kearifan lokal. Adapun pihak yang dimaksud terdiri dari kepala kecamatan (jika di Papua disebut kepala distrik), kepala desa, kepala suku, ketua adat, gembala jemaat/pendeta/ tokoh agama , tokoh pemuda, tokoh perempuan dan pihak dari TNI dan POLRI. Â
Tokoh-tokoh tersebut punya peranan besar dalam menjelaskan ke masyarakat sekitar tentang proyek pembangunan yang dilakukan  sehingga persepsi salah paham bisa dihindarkan. Tak jarang juga, sebelum pengerjaan, dibentuklah wadah forum komunikasi masyarakat untuk mengetahui respon masyarakat sekitar. Dengan begitu, masyarakat merasa dihargai keberadaannya dan tak disangka mereka  turut membantu pengerjaan proyek itu dengan ikhlas seperti mengangkat bahan bangunan karena mereka meyakini semakin cepat proyek dilakukan maka akan semakin cepat juga daerah mereka maju mengejar ketertinggalan.
Disadari bahwa akan sulit mewujudkan pembangunan infrastruktur di Papua kalau masalah tanah belum diselesaikan sebab yang punya hak kepemilikannya adalah masyarakat atau komunitas pemilik wilayah adat. Partisipasi masyarakat dalam proses penyelesaian konflik hak ulayat merupakan prasyarat utama yang akan melandasi keberhasilan dalam proses pembangunan infrastruktur jalan di Papua.Â
Partisipasi mereka tidak hanya dipandang sebagai bagian dari proses tetapi juga merupakan bagian tujuan, dimana partisipasi merupakan salah satu indikator tingkat keberhasilan khususnya program pembangunan Trans Papua. Oleh karena itu salah satu jalan pemecahan dari konflik ini  adalah pendekatan secara humanis dengan dilandasi kearifan lokal kepada masyarakat suku setempat.
Penulis: