Dalam catatan sejarah, diceritakan bahwa Presiden Pertama RI, Soekarno, adalah sosok yang mudah menangis apalagi kalau melihat kesengsaraan dan kemiskinan rakyatnya. Dari banyaknya kasus yang melanda negeri ini sekarang, sebagian kalangan memprediksi bahwa andaikan Bung Karno masih hidup, mungkin Beliau terlihat akan berlinangan air mata melihat kondisi Pulau Papua yang masih mengalami ketertinggalan utamanya dari segi infrastruktur dan pendidikan.
Sesungguhnya, Papua belum sepenuhnya lepas dari sanderaan. Jika dahulu warga Papua disandera oleh penjajah asing namun sekarang ini dijajah oleh bangsanya sendiri. Orang mengatakan bahwa dijajah bangsa sendiri lebih menyakitkan dibandingkan dengan dijajah bangsa asing. Dalam hati nurani bertanya “siapa sih orang itu dan kok setega itu ya mereka?”. Latar belakangnya tak lain dan tak bukan kalau punya konflik kepentingan pribadi. Awalnya, warga Papua terbuai oleh bujuk rayu dari pencitraan orang yang membangun branding sebagai orang bersih dan baik. Namun kenyataannya, saat memikul tanggung jawab sebagai pengayom masyarakat, justru kelakuannya berbalik arah. Emang sih, tak bisa dipukul rata bahwa semua pejabat di Papua itu licik karena kita masih bisa menjumpai pejabat yang punya integritas namun jumlahnya hanya segelintir saja.
Bagaimana Bentuk Penyanderaan Mereka?
Untung saja, pemerintah Indonesia yang dikomandoi oleh Bapak Joko Widodo berupaya semaksimal mungkin mewujudkan konsep Nawacita dimana salah satu hal agenda urgensi yang dilakukan adalah membangun Kawasan Timur Indonesia khususnya di Pulau Papua. Dana yang dialokasikan pemerintah tersebut digunakan untuk mengejar ketertinggalan di Bumi Cendrawasih dengan titik fokus pada pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan pendidikan khususnya di daerah pedalaman. Eh,bukannya disambut dengan baik, namun beberapa orang yang tak bertanggung jawab malah menyelewengkan dan menggelembungkan dana tersebut, dilakukan berjamaah lagi. #Preett
Malas, Bukanlah Ciri Pemuda Papua
Bung Karno seringkali mendengungkan semangat nasionalisme dan patriotisme. Namun dalam perjalanan mewujudkan semangat tersebut, ada saja hambatan yang bisa mengoyangkan integritas pemuda mulai dari tawaran uang, tawaran jabatan yang pada intinya membangun doktrin bahwa asal masa depan diri dan keluarganya terjamin, dan bersikap masa bodoh dengan orang Papua lainnya. Kalau miskin ya miskin saja. Siapa suruh malas.
MALAS, itulah satu kata yang sering terlontar dari mulut-mulut orang bersumbu pendek ketika ditanya mengapa warga Papua tertinggal dalam banyak hal. Dari pengamatanku, pemuda Papua bukanlah pribadi yang malas. Mereka punya fisik dan etos kerja yang tinggi untuk belajar, asalkan ada yang mengarahkan. Mau buktinya, sebut saja George Saa, pemuda dari daerah terpencil di Papua mendapat arahan dan bimbingan dari salah satu tokoh pendidikan ternama di Indonesia, Prof. Yohanes Surya. Hasil gemlengannya berbuah manis. George yang lahir dari keluarga sederhana berhasil memenangkan First Step to Nobel Prize in Physic yang itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri dan karena hal inilah yang membuat dia menjadi rebutan negara-negara lain. Contoh lain yaitu pemudi-pemudi Papua yang awalnya menghabiskan waktunya hanya tidur, makan, ngerumpi ama tetangga, mendapat pencerahan karena adanya bimbingan dan bantuan modal untuk pembuatan noken (tas dari Papua) yang pada akhirnya mereka bisa memanfaatkan waktunya dengan produktif dan menghasilkan pendapatan bagi keluarganya.
Usaha Pemuda Papua Bangkit dari Keterpurukan