[caption id="attachment_347472" align="aligncenter" width="320" caption="lobelobenamakassar.blogspot.com"][/caption]
Saya teringat 6 tahun silam ketika menikmati berstatus mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin. Saat itu, saya mendapat teman-teman baru yang berasal dari berbagai latar belakang asal daerah. Awal-awalnya kami merasa canggung untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga terkesan timbul sekat-sekat diantara kami. Ada juga beberapa orang yang masih terbawa dengan sifat fanatik terhadap teman yang berbeda daerah dengannya. Sulitnya terhubung satu sama lain membuat kami susah bekerjasama baik itu dalam menuntaskan tugas perkuliahan.
Suatu ketika, senior-senior mengumpulkan kami dalam suatu ruangan dan mengatakan bahwa semua mahasiswa baru wajib untuk mengikuti kegiatan pengkaderan yang dikenal dengan ospek. Kegiatan pengkaderan ini pada awalnya bertujuan untuk membina rasa persaudaraan diantara mahasiswa baru dan senior.
Pada awal-awal pengkaderan, kami hanya mau terlihat kompak di depan senior saja agar nantinya bisa terhindar dari hukuman. Hingga suatu ketika, kami diwajibkan mengikuti salah satu rangkaian pengkaderan berupa kelas sharing dari salah satu senior. Beliau lebih banyak berbicara mengenai keterkaitan kearifan lokal orang Sulawesi Selatan dalam membina hubungan persaudaraan dengan orang-orang disekitarnya. Saya paling suka ketika beliau menjelaskan makna salah satu falsafah lokal orang Bugis Makassar yaitu Siri’Na Pacce
Siri' Na Pacce merupakan keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka menjadi kuat tanpa mengenal adanya perbedaan terutama menyangkut asal usul daerah/suku. Siri artinya rasa malu yang terurai dalam dimensi harkat dan martabat manusia atau sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam melakukan interaksi dengan orang lain.
Pacce adalah sebuah konsep yang menuntut seseorang bisa menjaga solidaritas kelompok sehingga bisa menjadi seorang perantauan yang disegani dan dihormati atau sikap belas kasih dan perasaan penanggung beban dan penderitaan orang lain meskipun berlainan suku.
Beliau menekankan bahwa sebagai mahasiswa perantauan, penting untuk membina suatu hubungan/connected dengan mahasiswa lainnya sehingga nantinya terjalin hubungan yang baik dan harmonis
Peran Lontara dalam Membina Konektivitas dengan Sesama
Selain Siri' Na Pacce, beliau juga menjelaskan tentang peran Lontara dalam membangun hubungan sosial dengan manusia lainnya. Lontara merupakan aksara tradisional masyarakat Bugis Makassar yang kaya dengan makna filosofi. Lontara menganjurkan manusia agar memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban, menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang demi kesetiakawanan atau solidaritas antar sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan orang lain serta berusaha pula membagi kepedihan itu ke dalam dirinya.
Dari sekian banyaknya makna filosofi Lontara, yang digunakan beliau saat itu adalah makna Iya padecengi assiajingeng yang artinya hal-hal yang bisa memperbaiki hubungan kekeluargaan. Adapun hal yang dimaksud yaitu:
1. Siaddappengeng pulanae ( selalu memaafkan)
2. Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie (sependeritaan dan kasih mengasihi
3.Tessicirinnaiannge ri sitinajae (rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar)
4. Sipakainge’ri gau’patujue ( ingat memperingati dalam hal-hal yang benar)
5. Sipakario-rio ( gembira menggembirakan)
Hasil “doktrin” senior inilah yang akhirnya membuat kami tersadar bahwa kami saat itu bukan berstatus sebagai teman sesama mahasiswa tetapi merupakan satu bagian keluarga yang harusnya membantu jika ada teman kesusahan dan saling mengingatkan jika ada teman yang lalai.
Salam budaya dari mahasiswa Universitas Hasanuddin asal Rantepao, Tana Toraja, Heriyanto Rantelino
Facebook: Heriyanto Rantelino
Twitter: @Ryan_Nebula
No Kontak :085242441580
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H