Kemarin, tak sengaja membaca status FB tentang potret keluarga, yang intinya mengajak kita tidak percaya pada potret keluarga yang ditampilkan di media sosial karena ia hanya menampilkan 60 dari 86.400 detik yang dimiliki keluarga itu dalam sehari. Banyak sekali yang berkomentar dan menyatakan kesetujuannya, bahkan membagikan status itu.
Saya pun setuju. Semua orang saya kira setuju.
Yang menarik, dari beberapa komentar, saya jadi tahu bahwa efek kartu lebaran yang "mengkilap" ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Sedih, kesal, marah, dan terutama iri. Lah kok harus iri segala? Potret di kartu lebaran kan hanya dibuat sesaat saja, buat menampilkan yang terbaik. Setelah berfoto ya sudah, baju bagus dilepas, diganti baju sehari-hari. Ini kan logika sederhana saja, masak sih kita membayangkan bahwa orang yang di kartu lebaran pakai baju bagus, setiap harinya juga selalu memakai baju sebagus yang di foto? Â
Eh, jangan-jangan banyak yang berpikir seperti itu ya? Waduh... Saya jadi merasa semakin bersalah karena memuat kartu lebaran yang tidak merefleksikan keadaan saya sesungguhnya....
Tulisan ini saya buat sebagai klarifikasi bahwa kartu lebaran yang saya muat kemarin di FB, dan saya kirimkan via WA, sesungguhnya tidak menampilkan saya dan keluarga saya sehari-hari. Maafkan saya yang sudah berbohong dengan kartu lebaran itu.
Tetapi sekarang saya sudah menceritakan latar belakang pembuatannya (asbabun nuzul), sehingga semoga kartu lebaran itu dapat ditempatkan sekadar sebagai sebuah dokumen sejarah saja.
Sebagai bonus, bersama ini saya muat foto keluarga saya yang lebih "mendekati" kenyataan. Jangan kaget melihatnya ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H