Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Suara PDI-P, Antara Impian dan Fakta

12 April 2014   03:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil Pemilu Caleg 9 April 2014 berdasarkan hasil Quick Count, ternyata tidak sefantastis impian yang dibangun para elit maupun analisa para pengamat politik. Meskipun nanti hasil resmi KPU diumumkan, kebiasaan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan hitung cepat Quick Count yang menempatkan PDI-P di rangking 1 dengan 18,9 % suara pemilih. Dengan nilai ini tentu sulit PDI-P mengusung capres sendirian dan membentuk kabinet yang solid. Ini adalah tantangan cukup berat bagi PDI-P dan harus berpikir dan memilih dengan tepat jalinan koalisi yang baik dan solid, bukan koalisi rapuh seperti era SBY.

Namun, barangkali ada baiknya juga jika hasilnya tak seperti yang diharapkan. Istilah Jokowi tidak terlalu 'TEBAL'. PDI-P terlihat terlena dengan popularitas Jokowi, sehingga nampak kader-kadernya kurang menjual dan menggerakkan mesin partainya untuk menggunakan Jokowi sebagai jualan kepada konstituen. Banyak yang tidak tahu adanya keterkaitan PDI-P dan Jokowi.

Dari hasil yang jauh dari ekspektasi ini, tentunya harus menjadi bahan pelajaran dan evaluasi agar dalam pilpres mendatang para kader bisa bekerja lebih baik. Namun menurut penulis, efek Jokowi tetap ada meskipun kurang menggema. Hanya saja nilai jual Jokowi kurang diberdayakan oleh partai, di samping pencapresan yang terbilang agak terlambat.

Tapi meski demikian tetap ada harapan untuk menjalin koalisi yang cantik. Semoga seperti kata Jokowi, koalisi tanpa dagang sapi. Kita lihat saja apa yang akan terjadi pada permainan selanjutnya. Untuk tahapan yang paling urgent adalah diperlukannya sosok cawapres pendamping Jokowi yang bisa menutupi kelemahannya, salah satu diantaranya adalah pengalaman mengelola permasalahan nasional dan juga berkomunikasi pada tataran Internasional.

Dan yang perlu diperhatikan adalah PDI-P selama ini kurang merespon kritikan-kritikan dan tudingan negatif terhadap PDI-P. Seperti isue adanya caleg yang berhaluan "Syi'ah" yang saat ini seperti sebuah momok dan sangat tidak diterima di kalangan umat Islam. Barangkali perlu dialog-dialog terhadap konstituen untuk menetralisir penilaian negatif tersebut kalau perlu menggandenga tokoh-tokoh yang bisa menjadi penengah. Termasuk juga propaganda-propaganda banyaknya caleg non muslim, dsb. Ini perlu semacam dialog atau edukasi kepada para konstituen agar bagaimana mereka bisa merasa nyaman. Isu-isu sektarian seharusnya ada bagian yang menggarap agar PDI-P tidak menakutkan buat mereka.

Yang tak kalah gaungnya nanti dan ini menjadi amunisi black campaign adalah isu pengusaha nakal di belakang Jokowi. Jika ini tidak benar, semestinya PDI-P bisa menggarapnya dengan melakukan klarifikasi atau edukasi kepada konstituen bahwa hal itu tidak benar. Jika amunisi-amunisi yang membahayakan itu bisa dikendalikan oleh PDI-P maka kan memperbesar peluang dan memuluskan langkah Jokowi menjadi RI-1.

Akhirnya, menang biasa atau menang fantastis tetap harus disikapi dengan baik oleh PDI-P jika ingin memainkan instrumen pemerintahan negeri ini dengan tokoh yang diharapkan bisa memperbarui keadaan negara RI agar keluar dari kemelut masalah yang semakin ruwet dari hari ke hari.

Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun