Suatu ketika Nastiti pulang ke rumah orang tuanya dengan tergopoh-gopoh. Ia tak sabar untuk mengadukan kekecewaannya setelah sebulan berumah tangga dengan mas Prasojo. Dengan berurai air mata ia sandarkan kepalanya di pangkuan Simbok ( bundanya ) dengan penuh manja. “Simbok..., maafkan Nastiti yang dulu tak pernah mendengar nasehat Simbok. Nastiti tidak sanggup meneruskan pernikahan ini.. hik...hik... hik... “ Simbok tersentak mendengar pengaduan Nastiti. Diusapnya rambut anaknya penuh kasih sayang. “Nduuk.. cah ayu, apa yang terjadi dengan kalian? Bukannya mas Prasojo yang ganteng dan gagah itu sudah menjadi pilihan terbaikmu dan sesuai kriteriamu? Mengapa secepat ini kamu berfikir mau mengakhiri pernikahan kalian ? Sabar ya, Nduuk....“ “Simbooook... hik..hik..hik.. “ Nastiti kembali menangis lebih keras. “ Nastiti sudah tidak kuat lagi... Apakah ini yang namanya pernikahan? Kami memang menikah, tapi itu hanya di atas kertas saja. Pernikahan tak cukup hanya dengan bukti surat nikah saja, lalu sesudahnya ditelantarkan. Maafkan Nastiti ya mbok, Nastiti telah salah pilih.. hik hik hik...“ “Lalu apa masalah kalian yang sebenarnya?” Simbok semakin penasaran terhadap nasib anaknya. “Begini mbok, selama menikah sebulan ini mas Prasojo tak sekali pun menyentuhku. Ia begitu dingin.. Hik..hik..hik..” Begitulah kisah Nastiti dan pilihannya, penyesalan selalu datang belakangan. #cintabuta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H