“Dul”, namaku
ayahku nyanyi sunyi
ibuku rindu matahari
aku berjalan sendiri
meski segala ada
tetap saja sendiri
*
bila senja hari
aku berselimut sepi
bila malam hari
kupeluk cinta imitasi
di mana saja hingga larut dan pecah sunyi
begitu setiap kali
hingga adrenalinku
terpacu mengusir sepi
*
lalu di suatu malam yang beku
“duaaaarrrr.... braaaaakkkkk......”
mainan itu berubah menjadi
mesin pembunuh nomor satu
tak pernah terbayang
dan tetap aku gagal paham
begitu cepatnya aku berhasil
meraih gelar pembunuh
di usia dini
*
kamu kan si “Dul”, begitu kata orang
bukan, bukan juga Abdul Qadir Jaelani
bukan pula syeikh yang baik budi
nama itu terlalu berat di raga ini
jika tak ditumbuhkan di jiwa dan hati
*
“Dul”, namaku
ayahku mainan
ibuku sudut-sudut kemewahan di jalanan
aku bebas
sekaligus terpenjara dan tak bisa lepas
dari bayang-bayang ketakutan
juga cinta yang semu
*
“Dul”, panggilanku
kini aku berteman jemari
di dinding terali besi
merangkai puisi
#Jakarta, 9 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H