Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok: Antara Konstitusi, Kitab Suci dan Konstituen

27 Agustus 2013   20:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:44 3211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13776089151639527762

“Kalaupun saya harus mati, saya siap untuk konstitusi." Sebuah kalimat yang terdengar heroik, namun kita bisa melihat realitasnya di dunia nyata dari apa yang dilakukan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Jika selama ini kita bermimpi atau merindukan pemimpin yang bisa menjadi tauladan dalam menegakkan konstitusi, kali ini mimpi dan kerinduan itu telah menjadi kenyataan. Semenjak menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, sepak terjang Ahok sangat mencengangkan dan berhasil “menghipnotis” masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia. Lihatlah keberanian dan ketegasannya merombak birokrasi yang korup, kegigihannya untuk tidak menjadi penurut atas kemauan Bank Dunia, keuletannya mengurusi normalisasi waduk Pluit dan kepiawaiannya membersihkan kawasan Pasar Tanah Abang menjadi bukti betapa ia adalah sosok yang berani dan tegas. Meskipun untuk memuluskan penegakan konstitusi itu beliau terpaksa harus bersitegang dengan Wakil Ketua DPRD H. Lulung Lunggana si penguasa bisnis Parkir dan Perizinan PKL di Tanah Abang.

Gaya bicara Ahok memang “ceplas-ceplos”. Nyaris tak kenal takut dengan siapapun yang melanggar aturan membuatnya mendapat perhatian lebih dan respon positif dari sebagian besar masyarakat. Perhatian dari masyarakat ini tentu wajar saja, karena apa yang dilakukan telah dirasakan manfaat dan keberpihakannya terhadap kepentingan rakyat kecil yang selama ini sering dimarginalkan oleh penguasa. Taat Konstitusi

Ahok pernah melontarkan kalimat, “Saya hanya taat sama konstitusi, bukan kitab suci.” Kalimat ini berhasil dipelintir lawan-lawan politiknya saat Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu  seolah-olah Ahok membenci dan mendiskreditkan agama dan kitab suci. Padahal yang dimaksud Ahok tentu bukan demikian.

Sebagimana kita tahu, agama yang dianut masyarakat Jakarta tidak hanya satu. Setiap agama punya kitab suci, tidak mungkin Ahok sebagai pejabat pemerintah menempatkan salah satu kitab suci untuk berdiri di atas konstitusi yang menjadi jembatan antar agama. Konstitusi memang harus diletakkan di atas agama, namun bukan berarti kesuciannya pun demikian. Konstitusi tidak bisa dibandingkan dengan agama, sebagaimana membandingkan kambing dengan sapi. Konstitusi adalah alat untuk mengatur kehidupan semua agama.

Kalimat Ahok yang telah dipelintir di atas kembali diulang di kemudian hari, namun kali ini beliau tidak membandingkannya dengan kata “kitab suci”, melainkan dengan kata “konstituen”. Saat menerima utusan dari pengunjuk rasa terkait PKL Tanah Abang, pengunjuk rasa mendesak Ahok untuk minta maaf kepada H. Lulung atas pernyataannya yang dianggap tidak santun karena Ahok pernah mengatakan jika PKL tidak mau direlokasi akan terancam penjara. Namun bukannya menuruti kemauan pengunjuk rasa, justru dengan mantap Ahok mengatakan "Saya tidak akan mengatakan karakter saya seperti apa, tapi saya akan menunjukkan bahwa saya hanya taat sama konstitusi, bukan konstituen. Kalaupun saya harus mati, saya siap untuk konstitusi."

Wajar saja apa yang dilontarkan Ahok tersebut, karena ia adalah pemimpin semua golongan. Memang seperti itu seharusnya seorang pemimpin jika ingin menjaga kerukunan warga yang dipimpinnya. Jika masih mementingkan golongan tertentu, niscaya akan terjadi pergolakan dan kekacauan seperti yang terjadi di negara Mesir belum lama ini. Karena pimpinan Mesir lebih mementingkan kepentingan golongannya maka usia pemerintahannya tidak bertahan lama setelah digulingkan oleh warga negaranya sendiri bersama dengan militer. Maka sungguh tepat apabila Ahok menempatkan konstitusi berada di atas kitab suci atau konstituen. Singkatnya, seorang pemimpin harus adil terhadap semua golongan.

Penekanan kepada taat konstitusi, bagi Ahok adalah hal yang vital dan prinsipil. Dari sinilah sebenarnya awal dari permasalahan besar yang dihadapi masyarakat Indonesia, khususnya DKI Jakarta yang penuh dengan pelanggaran-pelanggaran konstitusi. Permasalahan macet, banjir, korupsi, kemiskinan dan lain-lain jika ditelusuri hingga hulu akan bertemu dengan yang namanya pelanggaran-pelanggaran konstitusi.

Apa yang terjadi di Tanah Abang adalah salah satu bentuk pelanggaran Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dengan sanksi pidana berupa kurungan 10 hingga 60 hari, denda Rp. 100 ribu sampai Rp. 20 juta. Dengan berjualannya PKL di kawasan publik seperti di Tanah Abang itu sangat jelas mengganggu ketertiban umum. Pelanggaran konstitusi inilah yang mengakibatkan semrawutnya kondisi Pasar Tanah Abang. Kemacetan, kekumuhan dan estetika sebuah kawasan perdagangan dikorbankan untuk ambisi para preman yang mengeruk keuntungan dari pelanggaran penggunaan jalan tersebut. Di sinilah nilai Plus seorang Ahok yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya meski sudah bertahun-tahun memimpin Jakarta.

Ahok adalah matahari baru, harapan baru. Konsistensinya terhadap konstitusi adalah aset berharga bagi tumbuhnya pemimpin jujur dan amanah di negeri ini. Sebagian bukti-bukti konsistensi dan keberaniannya satu per satu menampakkan diri,  seiring dengan waktu kepemimpinannya yang belum genap satu tahun.

Ahok adalah simbol ketegasan dan kelugasan seorang pemimpin yang sedang dibutuhkan untuk memecah kebuntuan atas permasalahan yang tak terpecahkan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Bersama Jokowi dia tak bernasib seperti wakil-wakil sebelumnya yang hanya menjadi ban serep seorang Gubernur, namun beliau mampu bersinergi menjadi sosok yang tegas dan keras untuk mengimbangi kekerasan kehidupan Ibu kota.

Selamat Berjuang pak Ahok, masyarakat yang pintar tak akan melihat siapa anda tapi melihat apa yang anda lakukan. Karena seperti yang anda pikirkan, anda adalah bagian dari konstitusi yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di negeri ini.

Ah, andaikan semua orang taat Konstitusi.

#Jakarta, 27 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun