Entah mengapa setelah membaca surat terbuka Bapak Basuki Cahaya Purnama, yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta saya tergerak membagikannya di Kompasiana. Mungkin karena sebagai sesama manusia saya mencoba mendengar suara hati manusia lainnya yang bernama Basuki Cahaya Purnama atau yang sering dipanggil Ahok. Bapak Basuki saat ini tengah menjalani proses hukum dengan tuduhan penistaan agama dan baru saja dikalahkan dalam kompetisi memperebutkan jabatan gubernur di ibukota Republik Indonesia oleh Anies Baswedan.
Lepas dari semua hingar bingar dan gejolak yang menjadi latar peristiwa di belakangnya, tulisan ini hanyalah sekedar ungkapan empati sebagai manusia biasa kepada manusia biasa lainnya, bukan empati kepada Ahok sbagai calon gubernur atau gubernur saat ini. Dan juga bukan sebagai seorang kristen dan warga betetnis tionghoa. Karena pada hakekatnya bagi saya manusia di mata Tuhan adalah sama sebagai makhluk yang dalam kondisi beraneka ragam.
Ini juga terlepas dari soal dukung mendukung, apalagi pilkada juga sudah usai. Sekali lagi hanya sekedar empati sebagai sesama manusia yang kebetulan terlahir sebagai muslim dan ingin sedikit mendengar kata hati seorang manusia yang kebetulan non muslim yang mana sebagian ulama-ulama Islam sudah memberikan fatwa haram memilih pemimpin non muslim. Apalagi sebagian ulama sudah memvonis bahwa manusia bernama Ahok sudah "menistakan agama" meskipun seharusnya keputusan itu dari sisi hukum tidaklah sesuai dengan asas praduga tak bersalah. Keputusan hakim di pengadilan yang seharusnya menjadi acuan vonis atas kesalahan Ahok.
Dan kiranya, inilah surat Ahok yang cukup mengharukan, Â setidaknya bagi saya yang tidak ingin turut membencinya karena kasus penistaan agama yang belum terbuksi di pengadilan.
**
Saya memahami dan bisa merasakan apa yang beliau rasakan. Memimpin Jakarta dan memajukannya itu bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Harus kuat dan tahan banting. Namun ada titik di mana ketika kekuatan besar berusaha merobohkannya sekaligus menghalangi semua niat baik, pada akhirnya seorang Ahok harus tumbang. Bahkan harus siap dipenjara walau dengan rekayasa politik.Â
Ahok bagi saya adalah manusia langka. Karena ia berani melawan arus di tengah-tengah orang-orang baik yang lebih memilih diam atau tiarap. Cara bicaranya memang sering kasar, tapi subtansinya tetaplah untuk membenahi Jakarta lebih baik. Meskipun itu sekaligus menjadi kelemahannya, tapi biar bagaimana pun karya Ahok sulit untuk dinafikkan begitu saja.
Ia sudah mencoba berpegang pada idealisme keadilan sosial di tengah-tengah kesenjangan sosial yang mengaga. Tapi ternyata kultur dan etos kerja sebagian besar kita masih belum bisa menerimanya. Dan Ahok pun setelah ini mungkin akan bisa belajar banyak bahwa mengandalkan kinerja saja tidaklah cukup. Itulah kenyataan dunia politik di negeri ini.Â
Tentu saja para pembaca boleh setuju dan tidak setuju dengan opini saya. Semua tergantung dari mana sudut pandang melihatnya. Dan menulis tentang Ahok 'sang penista' ini pun mungkin akan mendapat respon negatif dari yang sudah geregetan ingin melihat Ahok dipenjara, tidak mengapa. Dalam negara demokrasi perbedaan pendapat itu diperbolehkan, asal tidak memaksakan pendapatnya. Dan semoga tidak ada label-label yang tidak mengenakkan seperti saat-saat kampanye pilkada.
Saya selalu teringat kata-kata Almarhum Gus Dur :
Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yg baik untuk semua orang, Orang tidak akan tanya apa agamamu. Setidaknya berlaku untuk 42% pemilih DKI Jakarta, dan mungkin bisa lebih andaikan Ahok tak terpeleset kata-kata yang mudah digoreng untuk kekuasaan.
Mohon maaf bila tidak berkenan.Â