Pelayanan Rumah Sakit “X”, tempat Bapak dirawat sejak 10 hari yang lalu menyisakan kekecewaan dan juga ketidakmengertian akan cara kerja manajemen Rumah Sakit. Seberapa besar kepedulian mereka terhadap kesembuhan pasien? Dengan keluhan penyakit di saluran kemih yang ternyata di dalamnya ada batu sebesar biji kacang dan keluhan sakit yang belum berhasil didiagnosa oleh tim dokter namun kami sudah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, hampir 22 juta rupiah. Itu belum biaya yang sudah kami keluarkan di Rumah Sakit “Z”, tempat Bapak dirawat sebelum di rumah sakit “X”. Karena ketidaklengkapan peralatan di RS “Z”, maka dirujuklah RS “X” untuk rawat inap dan pemeriksaan lebih lanjut. Dengan biaya sebesar itu, kami hanya mendapatkan hasil sitoscopy yang biaya labnya sebesar 7,5 juta rupiah. Itu pun hanya berhasil mengetahui keberadaan batu, dan kondisi fungsi ginjal tidak diketahui. Harus dilakukan dua kali lagi diagnosa dengan CT Scan dan Renogram yang tidak bisa dilakukan di RS “X”, tapi harus ke RS Pertamina atau RS Gatot Subroto. Untuk melakukan pemeriksaan sitoscopy pun ( memasukkan kamera dengan kabel lewat alat kelamin melalui saluran kemih hingga mendekati kedua ginjal), harus ditunda hingga 3x, dengan alasan tensi darah tidak normal. Padahal saat-saat tensi darah normal bisa dilihat perilakunya, yaitu pagi dan siang hari. Saat sore hari memang selalu naik, dan ketidakberuntungannya jadwal dokter selalu sore hari. Jadi kloplah alasan untuk tidak segera menanganinya, hingga akhirnya tertunda selama 3 hari baru bisa dilakukan pemeriksaan dengan sitoscopy. Namun, semakin bertambah hari kondisi pasien tidak mengalami perbaikan, justru kondisinya lemas dan merembet ke rasa sakit di ulu hati. Bahkan pernah saat minum tersedak, nafas Bapak tersengal-sengal dan akhirnya disarankan oleh Dokter harus dilarikan ke ICU. Di sini, semakin menambah kesimpulan kami bahwa RS “X” hanya peduli uang, bukan kesembuhan. Saat mau dirawat di ICU, kami diharuskan melunasi tagihan sementara sebesar 18 juta. Jika tidak, maka tak boleh masuk ICU. Padahal seharusnya dalam kondisi darurat urusan administrasi bisa dilakukan belakangan. Menyikapi perlakuan ini, maka keluarga memutuskan untuk tidak mengikuti saran dokter harus ke ICU. Sebelumnya dokter memberitahukan jika Bapak perlu pemeriksaan jantung, torak dan paru-paru. Ini yang menjadi tanda-tanya besar, kenapa fokus penyembuhan semakin berkembang dan keluar jauh dari titik masalah yang dikeluhkan. Belum lagi ulah salah seorang dokter spesialis paru saat menjawab pertanyaan saudara kami yang sebelumnya dokter itu mengatakan ‘telah terjadi penyempitan saluran nafas’. Saudara saya minta penjelasan lagi ‘maksud penyempitan itu bagaimana dok?’. Dengan ketus dokter menjawab: ‘ Tadi kan saya sudah bilang penyempitan saluran nafas, apa kamu tidak dengar?’. Sungguh jawaban yang sangat tidak bijak dari seorang dokter. Jawaban itu sampai membekas lama di pikiran saudara kami itu. Dan sumpah serapah pun terlontar saat membicarakan sang dokter. Akhirnya, apapun yang terjadi kami bertekad untuk tidak pindah ke ruangan ICU dengan harapan akan baik-baik saja setelah diberikan bantuan nafas dengan tabung oksigen. Bapak tetap bertahan di kamar semula. Dan dua hari berikutnya setelah kondisi membaik, kami tak lagi punya kepercayaan terhadap RS “X”, dan memilih untuk keluar saja dari rumah sakit ini, sambil mencari tempat untuk perawatan selanjutnya, entah ke rumah sakit lain atau pengobatan alternatif.Itulah sekelumit pengalaman dan kekecewaan kami terhadap pelayanan Rumah Sakit “X”. Mungkin tidak semua Rumah Sakit punya pelayanan yang buruk seperti ini, meskipun banyak juga RS yang hanya peduli uang seperti RS “X” ini. Apa boleh buat, mungkin saat ini sebagai pasien memang perlu banyak mencari tahu seberapa baik pelayanan sebuah rumah sakit sebelum akhirnya memutuskan untuk dirawat di sana. Salah-salah, pasien hanya menjadi sapi perah dan korban kepentingan bisnis kedokteran. Itu pun belum tentu mendapatkan kesembuhan, seperti yang terjadi pada Bapak saya. Semoga pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan dan pelayanan kesehatan negeri ini mau mendengar dan memperbaikinya.
Jakarta, 13 Desember 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H