Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Joko Wi Bukan Malaikat

12 April 2012   06:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:43 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada minggu-minggu ini sosok Joko Wi, yang saat ini masih menjabat sebagai walikota Solo dan berencana ikut dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta bulan Juli 2012 mendatang  sudah menjadi pemberitaan yang sangat populer di berbagai   media, apakah itu televisi , koran, maupun dunia maya. Bahkan di pasar-pasar dan di tempat-tempat yang banyak berkumpul masyarakat kecil Joko Wi juga sudah mulai banyak dikenal oleh masyarakat, dengan penampilannya yang low profile dan nampak lebih akrab dan berusaha mendekatkan jarak dengan calon konstituennya. Di tengah-tengah kepopulerannya ada begitu banyak dukungan baik yang terlontar secara langsung, ataupun lewat tulisan-tulisan berbagai media, komentar dan status para pengguna sosial media di seluruh Indonesia terutama Jakarta.

Namun, ada sebersit kekhawatiran  ( mudah-mudahan hanya kekhawatiran saya pribadi ), manakala harapan yang besar itu hanya ibarat balon yang ditiup sedemikian cepat, hingga pada saat antiklimaks balon itu akan meletus dengan suara yang mengagetkan dan tak terduga. Mengapa ?

Kalau mencoba melihat realita, bagaimanapun Joko Wi bukanlah malaikat yang punya kelebihan jauh di atas rata-rata manusia. Joko Wi tetaplah manusia biasa. Meskipun begitu kini di pundaknya bergantung luapan harapan yang besar untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan besar Ibukota yang sampai saat ini tak kunjung selesai atau minimal berkurang, terutama masalah kemacetan, transportasi, banjir, meningkatnya kriminalitas, populasi warga yang terus bertambah dan masih banyak permasalahan lain yang akan menjadi pekerjaan rumah seorang Gubernur di provinsi para urban ini. Walaupun tentu saja, permasalahan  ibukota tidak hanya menjadi tanggung jawab Gubernur semata, namun keberhasilan dan kegagalan tentu terlebih dahulu akan dialamatkan kepada seorang pemimpin. Yang namanya persoalan memang akan selalu ada, besar ataupun kecil. Masalahnya di Jakarta ini, intrik-intrik politik mungkin akan jauh berbeda dengan intrik-intrik politik setingkat Kota Solo. Joko Wi akan berhadapan dengan para mafia politik atau pun mafia sesungguhnya yang merasa kepentingannya terancam. Sanggupkah Joko Wi melawan semua itu ? Sanggupkan beliau bertahan mungkin dengan godaan-godaan duniawi yang akan menjadi peluru untuk menembus keteguhan beliau selama ini dalam memimpin ? Belum lagi, statusnya selama ini yang sebenarnya masih menjadi Walikota dan jika terpilih nanti tentu masa tugas sebagai Walikota di Solo akan ditinggalkan, tentu ini akan menjadi sandungan tersendiri dari lawan-lawan politik untuk memojokkannya. Sudah benarkah jalan atau cara Joko Wi baik secara hukum maupun etika politik ?

Itulah ganjalan di hati saya, esensinya adalah bukan khawatir akan kegagalan menjalankan tugas sebagai Gubernur jika terpilih nantinya, tapi apakah beliau bisa teguh pendirian dan tetap istiqomah menjadi pemimpin yang bersih. Kegagalan dalam bertugas akan mudah dimaafkan, karena itu manusiawi. Tapi akan sangat disayangkan jika kegagalannya disebabkan oleh faktor X , yaitu ketidakmampuannya menyelenggarakan pemerintahan yang bersih bahkan terlibat korupsi  dan konkalikong dengan para pengusaha atau mafia politik. Karena melihat track record beliau dengan prestasi-prestasi yang cemerlang, sangat disayangkan jika di tengah jalan nantinya ia jatuh karena khilaf tak mampu menahan gempuran-gempuran yang bisa menjerumuskannya ke terali besi.

Sebagaimana yang terjadi dengan politisi-politisi muda yang dahulunya sangat diharapkan menjadi pendobrak ke arah kemajuan bangsa, seperti Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Budiman Sujatmiko,Rama Pratama dan banyak lagi tokoh-tokoh muda lainnya yang saat ini menikmati kekuasaan, yang di masa-masa orde baru dahulu sangat vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan mempunyai "problem solution" seperti dalam tulisan-tulisannya di media cetak, ternyata pada saat terjun ke pemerintahan justru tak sanggup mempertahankan idealisme dan menerapkan "problem solution"nya. Alih-alih berhasil,  mereka justru larut dalam permainan dan sistem yang akhirnya membuat penyelesaian hukum semakin kabur. Cengkeraman budaya perpolitikan yang masih jauh dari bersih, telah membenamkan mereka sekaligus membenamkan harapan akan kaum muda yang berpotensi melakukan perubahan. Akankah Joko Wi demikian halnya ? Semoga saja tidak ( itu harapan yang masih tersisa di tengah-tengah krisis akan tokoh yang zuhud dan rendah hati seperti beliau ). Apalagi beliau memiliki pengalaman yang konkrit dan tak sekedar menjadi pengamat dan ahli yang baru mau turun gunung. Ini mungkin variabel yang bisa menetralisir pesimisme terhadap langkahnya ke depan.

Akhirnya, hanya do'a saja untuk pak Joko Wi, semoga kelak jika benar-benar menjadi Gubernur DKI  Jakarta, beliau tetap mampu menjadi dirinya sendiri, tidak lupa diri, tahan godaan dan tetap istiqomah memperjuangkan nasib rakyat, dan yang lebih penting tetap ikhlas tanpa kepentingan kecuali kepentingan masyarakat banyak yang telah mempercayakan amanahnya. Akan tetapi jika pun gagal, saya akan tetap mengagumi seorang Joko Wi asalkan kegagalannya tidak dikarenakan lupa diri, korupsi, ataupun terjerat kasus-kasus negatif lainnya. Kekhawatiran saya hanyalah berangkat dari  rasa sayang dan cinta terhadap seorang pemimpin seperti beliau, eman-eman ( sayang ) kalo bibit negarawan seperti beliau  akhirnya layu dihembus dan diporak-porandakan  oleh angin perpolitikan nasional yang carut-marut.

Joko Wi bukanlah malaikat, orang-orang di sekelilingnya bisa punya andil untuk membuatnya hitam atau putih. Begitu pun para pengagum maupun musuh-musuhnya. Pujian - pujian setinggi langit tanpa mengkritisi tentu bisa sama bahayanya dengan menjatuhkan langkahnya, karena pujian yang nyaris tanpa reserve lambat laun akan membuat seorang pemimpin selalu merasa benar dan tak bisa menerima kritik. Diperlukan kearifan dan sikap realistis dalam mendukung beliau, sehingga tetap  bisa mengingatkannya jika sudah keluar jalur dan melenceng dari tujuan mulia.

Wallahu 'alam

Salam Sukses untuk beliau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun