Mohon tunggu...
Heri Purnomo
Heri Purnomo Mohon Tunggu... Administrasi - nothing

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Senyap: Sebuah Penelusuran Fakta Sejarah

17 Desember 2014   00:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Peristiwa G30S/PKI adalah tangga untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. " Demikian kalimat permulaan pada teks  pengantar film dokumenter berjudul SENYAP. Film yang sukses diputar di ratusan kampus dan pusat-pusat kebudayaan di tanah air ini dikemas dalam adegan-adegan yang cukup natural dan menyentuh nurani. Film ini diperankan langsung oleh salah satu keluarga korban dan beberapa pelaku eksekusi pembantaian orang-orang yang dicurigai terlibat partai dan organisasi berpaham komunis pada pemerintahan Soekarno.

Cerita dalam film ini bermula dari rasa penasaran dan keinginantahuan Adi, seorang adik korban pembantaian yang bernama Ramli tentang siapa-siapa saja yang telah menghabisi nyawa kakaknya. Selama ini para korban kekejaman peristiwa 1965 tak berani membuka suara dan lebih memilih munutup rapat-rapat trauma masa lalu. Untuk memecah suasana senyap itu, Adi tergerak untuk menemui para pelaku yang telah membunuh abangnya dan juga orang-orang yang sebagian besar tak berdosa itu sambil berkeliling menawarkan kaca mata.

14187243781617628382
14187243781617628382

Adi berhasil menemui orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan sang kakak. Mereka ada yang berperan sebagai pemimpin pembantaian, eksekutor, maupun penjaga penjara. Bahkan penjaga penjara tempat Ramli bermalam sebelum dieksekusi adalah pamannya sendiri. Anehnya, setiap kali Adi menanyakan perihal pembunuhan itu, tak satu pun dari mereka merasa menyesal. Bahkan mereka berdalih bahwa apa yang dilakukan itu adalah bela negara, dan orang-orang yang dibantai itu pantas mati meskipun dengan cara-cara yang di luar perikemanusiaan. Bela negara seperti apa jika penghilangan nyawa orang dilakukan bukan dalam peperangan, atau jika dikatakan hukuman mati tentu harus melewati proses pengadilan. Itulah yang membuat Adi tak habis pikir, begitu hebatnya propaganda tentang faham komunisme sehingga mampu mematikan nalar kemanusiaan.

Adi mengaku bukan karena dendam ia melakukan penelusuran tentang kematian kakaknya. Kalau karena dendam tentu ia tak akan menemui orang-orang yang terlibat maupun sanak famili para pelaku. Barangkali pertanyaan besar berkecamuk pada diri Adi. Benarkan persoalan politik selalu menjadi pembenaran untuk mengabaikan rasa kemanusiaan? Tak adakah sedikitpun kemanusiaan yang tersisa hanya karena pembelaan terhadap proses politik dan atas nama bela negara? Haruskah peristiwa kelam ini dilupakan? Tentu tak akan mungkin dilupakan, barangkali yang paling maksimal hanyalah memaafkan. Lalu selesaikah semua persoalan jika tak ada kata maaf ? Mereka tak menuntut keadilan sempurna, tapi jika ada ketulusan kata maaf tentu sudah cukup untuk sedikit mengobati luka.

Kesenyapan belum akan berakhir saat sejarah belum dituliskan secara jujur. Rezim orde baru memiliki sejarah dalam versi tersendiri. Akankah rezim pengganti sanggup meluruskannya? Semoga ada saatnya sejarah tak harus mengikuti apa kata penguasa.

14187245611992695893
14187245611992695893

Film ini, patut ditonton oleh para generasi muda dan siapa saja yang ingin mengetahui peristiwa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Tayangannya bisa menjadi pembelajaran dan renungan bahwa fakta sejarah seringkali sangat berjarak dengan apa yang selama ini dijejalkan di bangku sekolah. Makanya tak heran di beberapa tempat penayangan film ini sempat diprotes dan dihentikan oleh pihak yang merasa tersinggung atau mungkin terganggu. Seperti yang terjadi di Universitas Brawijaya, Malang. Namun di beberapa kota-kota besar lainnya berlangsung dengan lancar, seperti halnya pada penayangan yang kami tonton atas undangan mas Erri Subakti ( Indonesian Citizen Journalist  Club / ICJC ) di Pusat Kebudayaan Jerman, Goethe Institute - Jakarta Pusat, pada hari Jum'at 12 Desember 2014.

14187246151521858339
14187246151521858339
#Goethe Institue, Menteng, Desember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun