Mohon tunggu...
Herin Priyono
Herin Priyono Mohon Tunggu... profesional -

jurnalis, penulis-madzab "Syaraf Penulisan" dan peneliti pd Pusat Pelatihan Pasca Sarjana Yogyakarta. https://www.facebook.com/GRUP-PENULIS-by-SYARAF-PENULISAN-134853406547865/ HP 082135211769

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cetak Lengkap "Spiritual Company" Tren Baru Amerika, Mekar di Lamongan Sejak 1961

7 Februari 2014   10:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Three Pillars

to the era of Spiritual company:

Inilah “3 Proyek Besar” Menuju

Spiritual Company yang sesungguhnya

Catatan Penulis:  Artikel ini adalah petilan dari prolog buku Three Pillars to the era of  Spiritual Company: Inilah "3 Proyek Besar" menuju Spiritual Company yang sesungguhnya. Inilah "mutiara" dari dusun terpencil Turi, Lamongan yang puluhan tahun mendahului kebangkitan era "bisnis etis" Amerika, dalam bentuk yang lebih dari sekedar beyond of the norm, berakar dalam, organis dan penuh deformasi kultur. Renald Khasali, penulis buku Re Code pun menyempatkan 9 jam "mukim" dengan mahasiswa S2 binaannya di ponpes SPMAA ini. Penulis didaulat jadi Editor buku ini, oleh penulisnya Gus Hafidh SKP, putra Abdullah Muchtar, SKPM pendiri SPMAA sang pelopor Multi Culturalism Indonesia ini. Semoga bermanfaat

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Nun di tahun 1961, atau tepatnya 46 tahun sebelum muncul era baru “Etika Bisnis” yang disusul dengan kemunculan praktik-praktik bisnis etik baru yang kini terkenal dengan brand spiritual Company, sebagai sebuah praktek korporasi yang mulai manafikan “perburuan keuntungan” semata sebagai tujuan tunggal berbisnis, berdirilah sebuah terobosan baru model pesantren, di desa Turi, Lamongan, Jawa Timur oleh seorang cendekiawan muda pada masanya yang sangat altruistic, dialah Abdullah Muchtar, sesosok "Bapak Guru" idealis yang nekad berniat mewakafkan seluruh “nasib” hidup dan seluruh harta kekayaan warisan dari ayahandanya, seorang “juragan kerbau” kaya raya untuk mendirikan sebuah sekolah tradisional gratis bagi warga desa yang miskin.

[caption id="attachment_294249" align="alignleft" width="576" caption="Renald Khasali, PhD (tengah) dan Gus Hafidh, SKP (kanan) saat berdiskusi di SPMAA Lamongan (foto: Ist)"][/caption]

Meskipun berbasis Islam,  entah feeling apa yang mendasari pikiran Abdullah Muchtar, demikian nama pemuda tersebut, memilih menamai pesantrennya yang notabene berada di sebuah desa terpencil, sangat tradisional dan “fanatik” membuta kepada yang namanya kyiai, dengan nama sekolah yang tak lazim pada jamannya: Yayasan Sumber Pendidikan Mental Agama Allah/SPMAA.

Sebuah nama bersemangat menghadirkan idealism rakmatan lil alamin yang dalam perjalanannya malah mendatangkan berbagai fitnahan, intrik dan penentangan dari warganya dengan berbagai aroma tuduhan bid’ah, nyempal hingga tuduhan mengaku Nabi yang berhasil menjebloskannya ke dalam penjara 4 bulan lamanya.

Kini, di tahun 2014, saat buku ini mulai ditulis kembali dari 90 tulisan tangan Abdullah Muchtar, nama SPMAA semakin moncer, menjadi obyek studi banding dari berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri, tidak hanya dari kalangan Islam tapi juga dari banyak golongan lainnya. Banyak romo dan biarawati "mukim" ke ponpes ini. Kepeloporan “multi culturenya” yang mendahului jamannya jadi kajian banyak pihak.

Best practice dari praktik Spiritual Company, dari era Manajamen Etik Barat yang baru bangkit sekitar 2007 lalu, kentara sekali baunya di seluruh sudut pesantren ini, bahkan sangat radikal dengan memasukkan praktik “kasih” kepada semua bangsa manusia, ke dalam struktur kurikulum sekolah, dengan mendirikan sebuah panti jompo “Mental Kasih” dan Panti Asuhan Pancasila, sebagai "lab hidup" tempat praktik kepedulian kepada lansia yang terlantar atau diterlantarkan keluarganya menyatu dengan masjid pondok, dan sonder pandang dari agama apa pun. Di situ, ke 400  santrinya bergantian mengurus lansia, dari memandikan tubuh tua renta, menyuap nasi, membuang kencing sampai bekas berak para lansia rawatannya yang “tersalur” sembarangan di lantai.

Dilihat dari masa kelahirannya, jelas bahwa pikiran Abdullah Muchtar ini dapat disebut “mendahului jaman” dan dengan proses pertumbuhan persis sebagaimana dialami oleh para rasul dan nabi –pendahulu jaman, penuh dengan tantangan dan ujian, bahkan untuk setiap kebaikan yang dilakukannya. Bukan di New York, atau di pusat symbol “peradaban” modern, tapi di desa terpencil, yang terisolir dari keramaian dan sepi dari publisitas. Benar-benar: rame ing gawe-sepi ing pamrih. Penuh dengan pengabdian yang nothing to losed dan jauh dari hasrat pamer.

***

Mengenai apa dan bagaimana atau seperti apa praktik Spiritual Company, dan apa manfaatnya bagi adab kemanusiaan, Majalah SWA, edisi Maret 2007 pernah menurunkan laput-nya, dan mencatat beberapa ciri karakter operasi perusahaan yang kelak dijuluki conscious  capitalism oleh Patricia Aburdene,  ke dalam empat orientasi kerja yaitu pertama, body (tercapainya “kesehatan finansial)”, kedua, mind (perusahaan dan human capital berkembang), ketiga, heart (hubungan perusahaan dan karyawannya harmonis) dengan budaya great working place tinggi dengan ciri (trust, caring and fun) dan keempat spirit, perusahaan beroperasi penuh integritas dan penuh kemaslahatan, baik ke seluruh stakeholdersnya, termasuk bagi investornya.

Jadi, perusahaan Spiritual Company tetaplah mengejar untung (profitabilitas) tetapi tidak menjadikan perburuan “laba” sebagai nilai tunggal, apalagi mengambil laba dengan cara “menikam” orang lain, menyogok atau manipulasi dan korupsi sebagaimana dilakukan oleh perusahaan terkemuka di Amerika yang menimbulkan petaka ekonomi dunia seperti kasus Global Crossing, Tyco, WorldCom dan yang paling menggemparkan Enron Gate, padahal mereka kondang sebagai perusahaan berkelas dunia yang sudah ber-GCG (Good Corporate Governanve) yang menerapkan prinsip transpransi, akutabilitas, fairness dan independensi, itulah yang disebut Abdullah Muchtar tercakup dalam istilah amanah. Jadi, apakah Anda sekolah, kepala ponpes yang berorientasi ibadah, tetap saja berkepentingan dengan esensi spiritual company ini.

Praktik ideal lainnya adalah semangat giving service yang berorientasi pada kepuasan dan “kebahagiaan” karena melayani pelanggannya, atau “Melayani bangsa manusia”, dalam istilah Abdullah Muctar yang selalu disinggung ulang dalam 90 buku karyanya yang tersebar di kalangan santrinya.

“Sejak 1961, awal saya mengenal kebenaran, Tiada satupun dakwah saya bermaksud menjatuhkan bangsa manusia….tidak peduli asal suku, bangsa, dan agama apapun yang penting jenis manusia harus diselamatkan semuanya.”

Kita kembali ke laptop.

Hebatnya, pebisnis spiritual yang diwawancarai SWA ini juga memilih untuk memenangkan orang lain lebih dulu, baru menang untuk dirinya, dan lebih dari semua itu, mereka mengaku bekerja atas dasar cinta.

Mengenai soal mengabdi dengan "cinta kasih" ini, tahun 1961 Abdullah Muchtar sudah menulis begini, "Komitmen yang harus dimiliki dalam membela umat manusia adalah "mau" dan mampu mencintai diri lain seperti mencintai diri sendiri atau bahkan lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan orang lain,"

Dalam catatan majalah SWA, Spiritual Company sudah bekerja dan bergerak mencari laba di maqom/tataran beyond the norm, telah melampaui sekedar norma-norma formal dan nilai-nilai (value) tapi lebih di atasnya lagi, yaitu: belief, kepercayaan dan keyakinan. Dimulai dari memberi, dan berakhir pada memberi dan terus meningkatkan kepuasaan manusia yang “dilayaninya” sebagaimana Toyota yang motto kerjanya berbunyi: we are not salling, kami tidak sedang “menjual” tapi melayani.

Itulah yang kelak disebut sebagai conscious  capitalism oleh Patricia Aburdene untuk melukiskan trend baru perilaku para pemilik modal untuk menjadi lebih nguwongke para pelanggannya dengan proporsi yang sangat layak, tahu batas cara mengambil keuntungan yang patut dan berkeadilan, dan kemampuan ini, dalam pandangan Aabdulah Muchtar hanya bisa lahir dari pandangan yang tidak “mendewakan” kehidupan dunia. Jadi Spiritualistik, berarti juga menyertakan jejak pikiran (jejak takdir) tuhan yang selalu mengingatkan bangsa manusia bahwa awal kehidupan manusia (bukan akhir) adalah akhirat, dunia ini hanya “jembatan” untuk menuju kehidupan hakiki abadi, yaitu akhirat.

Yang terbaik, kata Abdullah Muchtar menegaskan proporsi kepatutan, seyogyanya 75% untuk akhirat, dan 25% untuk duniawi atau fifty-fifty, atau minimal 75% dunia akhirat 25%. Rejeki yang “terdistribusi” kembali sebagai sedekah (sebagai pinjaman untukKU, kata Allah) dijanjikan Allah bakal kembali (menjadi gain) kepada yang bersangkutan sebanyak 700 kali.

Konversi Tuhan adalah, sedekah itu ibarat sebulir padi, dari sebulir itu akan tumbuh 7 tangkai padi yang setiap tangkai berisi 70 bulir padi. Ini artinya setiap sedekah 1 bulir  padi, Allah mengembalikan 700 kali banyaknya. Bandingkan dengan keuntungan yang dicapai para CEO “spiritual Company” yang hanya 20%. Mungkinkah ini karena perbedaan belief dan beyond pelakunya?

“Ini hitungan ghoib Allah. Dengan keyakinan mata batin ini (beyond, istilah responden SWA) membuat kepercayaan kita (mempersembahkan harta untuk kepentingan umat-Ed) tidak mudah goyah. Tidak ada keraguan lagi. Maka wujudnya mereka tidak ragu untuk mengorbankan apa saja –tenaga, pikiran bahkan nyawa—yang dimiliki demi panggilan iman. Mereka ini orang-orang yang berkualifikasi sabar dan yakin betul akan janji Allah,” tulis Abdullah Muchtar sejak 1961 lalu dan “tesis”nya ini diabadikan dalam diktat Menyisir Kembali Sisi Gelap Kerusakan Umat jauh sebelum dunia barat terjaga dari tidurnya.

Hakekatnya, nun 1500 tahun lalu, rasul Muhammad sudah melakukan esensi spiritual company tadi. Muhammad dan istri beliau (Khadijah) yang konglomerat dan para sahabat, telah menghibahkan seluruh kekayaannya untuk membiayai dakwahnya hingga seorang rasul yang semula entrepreneur terkemuka ikhlas tidur di atas pelepah daun kelapa demi memperbaiki umat manusia.

Realitasnya juga, SPMAA –dalam roda pengelolaan lembaga nir laba yang “anti proposal” alias anti kridolumahing asto—tidak mengemis-emis, dan tak jarang dibenturkan pada deficit keuangan pondok hingga Rp 1 Miliar/pertahun, namun rejeki usaha (body) atau "kesehatan finansialnya", seperti janji Allah, selalu teratasi –dari arah tak terduga—dan ini nyata, meski terdengar absurd dilihat dari hitungan matematik manusia.

“Ini kawah candradimuka yang menggodog syaraf pengabdian seseorang hingga ke tingkat DNA yang luar biasa,” begitu komentar Maha Guru Manajemen UI, penulis buku Re Code Renald Khasali, PhD saat berdialog di mabes SPMAA, di Lamongan bersama para mahasiswa S2 binaannya.

Riset majalah SWA terhadap 41 perusahaan dari berbagai jenis industry (omset antara Rp 100-500 Milyar) dan ada 295 diantaranya beromset Rp 1 triliun ke atas menyebutkan bahwa berpraktik spiritual company tidak menyebabkan mereka bangkrut, bahkan realitasnya mereka (1) tetap mampu  menghasilkan laba perusahaan (bottom up) hingga 20% pertahun, (2) mampu membebaskan perusahaan dari kebangkrutan karena praktik korupsi kolusi, dan (3) mampu menciptakan inner energy penuh kreatifitas dari seluruh karyawan disebabkan dimensi kedalaman kesejahteraan karyawannya yang melampaui hal-hal yang materialistic dan fisikaly belaka, dan (4) para pemimpin dan karyawan tertuntun oleh pusat energy tiada batas, yaitu energy Ilahiah yang berlogika 700 kali.

SPMAA adalah lembaga nir laba. SPMAA tidak mengejar bottom up (laba), tapi tetap saja harus menjaga pertumbuhan pemasukan (body) untuk “menghidupi” 700 santrinya. Lalu darimana datangnya pertumbuhan jika tidak ada “usaha” yang dapat mendatangkan penghasilan?

“SPMAA ini Yayasan Allah, Maha Pemilik yang Maha Kaya dan Pengasih!” kata Abdullah Muchtar berulangkali kepada istri dan anak-anaknya, “Nanti biar allah yang mencarikan jalan!”

Tapi bukan berarti tanpa harus ikhtiar kongkrit. Salah satunya, para santri diberdayakan di sawah. Pada tahap kini (2014) motto  SPMAA adalah, “1 Santri 1 Laptop 1 kambing, itu adalah modal awal kemandirian santri, dan mereka tidaklah bebas SPP, tapi SPPnya unik yaitu sedekah Dzikir (tahlil) sejuta kali yang boleh diangsur beberapa semester. Di luar itu, Abdullah Muchtar menguasakan kepada pengurusan Allah sebagai Pemilik dan Pencipta Alam Semesta.

***

Nampaknya, inilah “syarat” baru Spiritual Company yang belum dilakukan dalam dunia korporasi sebagaimana makin mewabah akhir-akhir ini. Untuk menuju Spiritual Company yang betul-betul berfondasi beyond, inilah agaknya kepeloporan model Abdullahah Muchtar di SPMAA Lamongan dan cabang-cabangnya yang patut ditiru. Buku ini dimaksudkan sebagai rujukan untuk menyongsong era baru Spiritual Company yang lebih abadi dan tembus jaman.

Dalam formula pondasi beyond terbatas, era ini di Indonesia telah dipelopori oleh Ari Ginanjar dengan pelatihan “Emotional Spiritual Quotient/ESQ yang laris hingga ditandai oleh SWA sebagai “euphoria” Go spiritual di dunia bisnis yang melebar ke pasar eksekutip negeri tetangga seperti Malaysia, Brunei, bahkan Belanda dan Amerika Serikat. Berlanjut dengan pelatihan ala 7 habith (Stephen Covey) di tahun 2007. Dilanjutkan lagi oleh Mario Teguh, Andrie Wongso, Reza M. Syarif, arvan Pradiansyah, Goenardjoadi Goenawan dan banyak lagi. Dari khasanah spiritual asing, bisa and abaca dari buku Good to Great (Jim Collins) atau The Corporate mystic (Prof Gay Hendrick & Kate Ludiman), atau yang muncul belakangan The 8th Habit Stephen Covey).

Apa yang dilakukan oleh Abdullah Muchtar sejak 1961 tersebut dengan menggratiskan para siswanya yang berkisar dari 400 – 700 santrinya pertahun adalah “mutiara” asli Bumi Nusantara yang dilakukan sejak jauh dunia barat (kapitalisme) belum menyadari hakekat bisni etik karena sifat kolonialismenya yang lebih bernuansa kerakusan, aroganism dan nafsu duniawi. Gebyar lahiriahnya meski menggiurkan bagi banyak bangsa manusia, namun penuh gelembung seperti berbagai “skandal global” yang mereka namai sendiri sebagai economic buble, ekonomi gelembung yang sarat tipu daya hingga mempedayai para pelakunya sendiri.

Tidak hanya harta benda, Abdullah Muchtar juga mengkondisioning ke 20 anak dan menantunya, mulai dari yang berprofesi dokter hingga mantan pekerja ahli di lembaga internasional, kini “terkerahkan” pengabdiannya untuk bekerja di SPMA, dengan status PGA (Pegawai Gaji Akhirat). Abdullah Muchtar tak pernah memaksa anak-anaknya, tapi keteladanan yang dipertontonkannya sebagai “tuntunan” teladan, berdampak menggerakkan anaknya, menyebar semangat menyelamatkan “Bangsa manusia” di seluruh Indonesia, dari Papua, Bali hingga Aceh, tak kurang dari 43 cabang SPMAA kini telah tersebar di penjuru nusantara dan dikelola oleh ke 20 putra putrinya.

Riset majalah SWA terhadap 41 perusahaan dari berbagai jenis industry (omset antara Rp 100-500 Milyar) dan ada 295 diantaranya beromset Rp 1 triliun ke atas menyebutkan bahwa berpraktik spiritual company tidak menyebabkan mereka bangkrut, bahkan realitasnya mereka tetap mampu  menghasilkan laba perusahaan (bottom up) hingga 20% pertahun, menjauhkan perusahaan dari kebangkrutan karena korupsi, dan menciptakan inner energy penuh kreatifitas dari seluruh karyawan disebabkan dimensi kedalaman kesejahteraan karyawan melampaui hal-hal yang materialistic dan fisikaly belaka, para pemimpin dan karyawan tertuntun oleh pusat energy tiada batas, yaitu energy Ilahiah.

Dan energy itu bersumber dari tiga jalur “energy kepedulian” yang mengispirasi datangnya energy kepedulian lain yang oleh Abdulah Muchtar disebut “Tiga Proyek Besar” Solusi Permasalahan Umat Manusia, dari sinilah sumber energy Spiritual Company akan datang, menciptakan akar multiplier effect yang luas dan dalam, mengaliri orang-orang dan lembaga tiada henti, melalui penerapan “Trilogi K” sebagai paying isu: (1) Kenali Tuhan, (2) Kenali esensi sunber infiltrasi (makar) Ghoib terhadap Manusia dan (3) Kenali nutrisi hari akhir.

Buku ini mengurai “Trilogi K” tersebut, sebagai payung aplikasi Spiritual Company yang lebih mendasar dan bekerja langsung di pusat akarnya untuk menghasilkan buah karya yang penuh kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, yaitu “bangsa manusia” dalam istilah Abdullah Muchtar, tanpa pandang Agama, suka dan bangsa.

Seperti bunyi judul buku ini, Three Pillars to the era of Spiritual Company, inilah fondasi yang sesungguhnya dari peradaban bisnis yang human dan menyipiritual yang mencerahkan (aufklarung) bagi para pelakunya dan masyarakat secara luas, bisnis sebagai ibadah. Dan mewirausahakan birokrasi layanan public (termasuk sekolah) bukanlah berarti mengkomersialkan pendidikan, malah kalau perlu “gratis” dengan memwirausahakan asset yang menganggur (tak produktif), hingga imbang antara di kolom yang cost center dengan profit center, salah satunya dengan memberdayakan tenaga santri untuk tujuan produktifitas. Di satu pihak mendidik kemandirian, dan di lain pihak memberi arti kepada jiwa para siswa bahwa dirinya berharga, memberi arti, dan berkontribusi, sehingga seluruh lini kehidupan di dalam organisasi sekolah atau usaha berfungsi penuh sebagai proses pendidikan yang mencerahkan.

[WX1]

[WX2]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun