Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Polemik UKT, Tak Cukup Ditunda Kenaikannya

1 Juni 2024   11:21 Diperbarui: 1 Juni 2024   11:21 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kendati demikian, cukupkah penundaan kenaikan UKT jadi solusi?

Penundaan tidak menyelesaikan Akar Masalah

Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan mengatakan, pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara. Menurutnya, kemungkinan tahun depan UKT kembali naik, karena pembatalan ini tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Masalah mendasar kenaikan UKT, kata, Edy, karena pemerintah menetapkan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kampus yang berstatus PTN-BH dikurangi porsi pendanaan dari pemerintah. (https://nasional.tempo.co/). Kenaikan biaya UKT ini dikarenakan status PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang berubah
menjadi PTN BH (Badan Hukum) sejak tahun 2000. Berdasarkan UU No 12/2012 dimana  perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah. Sehingga mereka harus mencari pembiayaan sendiri untuk operasional kampus. Salah satu cara yang dilakukan kampus adalah membebankan biaya tersebut kepada mahasiswa.

Maka, sepanjang  Ini terlihat dari pemerintah masih belum mencabut status PTN BH, sepanjang itu pula polemik kenaikan biaya kuliah akan berulang di kemudian hari. Artinya, keputusan pemerintah membatalkan kenaikan UKT tahun ini belum sepenuhnya melegakan dunia pendidikan.

Liberalisasi Dunia Pendidikan : Akar Masalah

Ini adalah potret liberalisasi dunia pendidikan dalam bangunan negara kapitalis dan abainya negara atas hak pendidikan atas rakyat miskin. Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 % dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Penndidikan Tinggi Kemendikud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.

Paradigma keliru tampak dari pernyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun, yakni SD,SMP, hingga SMA. Padahal sejatinya, mengenyam pendidikan berkualitas dan terjangkau setinggi mungkin adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Namun faktanya, ada diskriminasi di dunia pendidikan dengan membeda-bedakan status ekonomi.

Kebijakan ini tentu saja bisa mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia Internasional.  Data Badan Pusat Statistik (BPS)  Agustus tahun 2023 memperlihatkan ada 452.713 lulusan S1, S2, dan S3 rentang usia 15 sampai 24 tahun yang tidak bekerja, sekolah, atau mendapat pelatihan (not in employment, education, and training/NEET). Sedangkan lulusan diploma ada 108.464 orang. ( Kompas.com, Minggu,19/5/2024).

Di tanah air, berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk bekerja didominasi lulusan SD ke bawah. Jumalahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang 36,82 % dari total penduduk bekerja di tanah air. Jika demikian, cita-cita menuju Indonesia emas sepertinya jadi bikin cemas.

Solusi Islam dalam Masalah Pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun