Kesedihan bertubi-tubi menambah beban rakyat. Bagaimana tidak, saat menjelang Ramadhan disambut dengan kenaikan sembako terutama beras. Saat akan mudik, tarif tol diumumkan naik. Saat THR cair, dipotong pajak penghasilan yang jumlahnya lebih besar dari tahun sebelumnya. Astaghfirullah. Bukannya mengeluh, tapi sebagai rakyat kecil, potongan pajak THR cukup berarti.
Tunjangan hari raya (THR) yang diberikan pada pekerja swasta akan dikenakan pajak. Pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPH) sesuai pasal 21. Pemotongan ini langsung dilakukan oleh perusahaan untuk disetorkan ke negara. Perhitungan pajak ini dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai 1 Januari 2024. Potongan pajak THR dengan metode TER pada 2024 ini disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan buku cermat pemotongan PPh Pasal 21/26 DJP, Kemenkeu RI mengatur mengenai penghasilan yang dipotong PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, yang bersifat teratur dan tidak teratur.Â
Penghasilan tersebut berupa, seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Termasuk bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang bersifat tidak teratur;
Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan dua tarif pemotongan yakni tarif umum dan tarif efektif rata-rata (TER). TER terdiri dari Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. (https://www.detik.com/jatim/berita)
Tentu saja kebijakan ini membuat publik kaget dan protes. Namun Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti membantah tudingan bahwa potongan pajak THR menjadi lebih besar setelah penerapan sistem TER. Menurutnya, tidak ada perubahan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.
Namun, bagi pekerja, besarnya pajak pada Bulan Maret saat menerima THR tentu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan uang THR sangat diharapkan untuk keperluan berlebaran seperti mudik, membeli sembako, dll.. Dengan demikian, potongan pajak yang melonjak akan membuat banyak mengurangi jumlah THR yang diterima.
Sebagai contoh, seorang yang bernama Dila, saat gajian pada 25 Maret silam. Di luar THR dan tunjangan lembur yang sifatnya tak tetap, Dila biasanya mendapat penghasilan kotor sebesar Rp12,8 juta per bulan, termasuk gaji pokok senilai Rp11 juta. Setelah dipotong PPh serta iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, angka bersihnya kira-kira Rp11,6 juta. Ini menggunakan perhitungan PPh dengan asumsi Dila tidak pernah lembur dan menggunakan fasilitas asuransi dan kesehatan (benefit in kinds). Pada Maret, Dila mendapat THR senilai satu bulan gaji pokok dan tunjangan lembur hingga Rp2,1 juta. Karena itu, penghasilan kotornya mencapai sekitar Rp26 juta. Namun, angka bersih yang masuk ke rekeningnya hanya Rp22,1 juta. Di luar potongan untuk iuran BPJS, PPh-nya saja menyentuh Rp3,4 juta.
"Pajak THR tahun ini kayak diam-diam menghanyutkan," kata Dila.
Dila mencoba menerima, "tapi enggak ikhlas".
Apalagi pekerja yang merupakan bagian dari "generasi sandwich" yang harus menanggung hidup diri sendiri, orang tua atau saudara, serta anaknya. Potongan Pajak THR hingga jutaan sangat berarti bagi mereka. (https://www.bbc.com/indonesia)