Miris! Meski sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun bangsa ini terancam problem serius dalam pembangunan generasi. Stunting saat ini menjadi  isu besar dan penting bagi Indonesia yang harus segera diatasi agar Upaya mempersiapkan generasi emas Indonesia pada tahun 2045 tidak terhambat. Ini karena negara dengan kualitas generasi yang lemah, mustahil mampu menjadi negara maju dan besar. Pemerintah Indonesia sama saja mempertaruhkan masa depan bangsa dan negara ini apabila gagal menyolusi problem stunting.
Data PBB 2020 mencatat lebih dari 149 juta atau 22% balita di seluruh dunia mengalami stunting dan 6,3 juta di antaranya merupakan balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan kekurangan gizi dalam 2 tahun pertama usia balita. Ibu kekurangan nutrisi saat kehamilan dan sanitasi yang buruk. Saat ini prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6% sementara target yang ingin dicapai adalah 14% pada 2024.
Menurut laporan Surveilans Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021---2022, dari 34 provinsi, hanya 2 yang mampu menurunkan prevalensi stunting di bawah 14%, yakni DKI dan Bali. Ada 11 provinsi dengan prevalensi stunting antara 14---20%. Bahkan, ada 5 provinsi dengan prevalensi 30---35% berturut-turut, yakni Aceh, NTB, Papua, Sulawesi Barat, dan NTT.
Banyak yang meragukan Indonesia bisa menikmati bonus demografi di tahun 2030-2040, bila melihat jutaan anak masih stunting. Anak-anak dengan gizi buruk ini akan menjadi beban sosial, bahkan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 % dari PDB per tahunnya, atau sekitar Rp 300 triliun-Rp 400 triliun per tahunnya. Jika dihitung dari PDB 2022 yang mencapai Rp19,58 triliun, kerugian ekonominya bisa mencapai Rp391 triliun per tahun. Kerugian ini terjadi akibat anak stunting biasanya memiliki kesehatan buruk yang nantinya akan menurunkan produktivitasnya. (https://tirto.id/)
Lebih lanjut, studi berjudul "Economic costs of childhood stunting to the private sector in low- and middle-income countries" menemukan bahwa benar adanya anak-anak kerdil ini membebani negara berpenghasilan rendah hingga menengah dengan total nilai hampir mencapai USD300 miliar atau setara Rp4.560 triliun (asumsi kurs Rp15.200/USD). ((https://tirto.id/)
Penanganan Stunting masih TerkendalaÂ
Untuk menyelesaikan kasus ini, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ada tiga upaya pencegahan yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Pertama adalah pemberian TTD atau Tablet Tambah Darah kepada para remaja putri. Kedua, pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil. Dan ketiga, pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6 sampai 24 bulan.
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan APBN untuk mendukung kesejahteraan anak di bidang kesehatan dan perlindungan anak sebesar Rp48,3 triliun (2022) dan Rp49,4 triliun (2023). Sementara itu, anggaran belanja pemerintah untuk mendukung percepatan penurunan stunting adalah sebesar Rp34,15 triliun (2022) dan Rp30,4 triliun (2023). Besaran tersebut diperuntukkan tiga jenis intervensi (spesifik, sensitif, dan dukungan) yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor.
Hanya saja, sangat disayangkan masih saja terjadi kasus korupsi pada anggaran stunting yang genting. Â Guru besar fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Tabroni mengungkapkan adanya indikasi penyelewengan dana penanganan stunting atau kekurangan gizi pada anak di tingkat daerah. Sebelumnya pemerintah juga mencatat bahwa dana stunting di suatu daerah ada yang digunakan untuk keperluan rapat dan perjalanan dinas.
Contoh kasus, Kejaksaan negeri Kota Depok, Jawa Barat (Jabar) tengah mempelajari dugaan korupsi dana program penurunan angka stunting (Tengkes) sebesar Rp4,9 Miliar di Dinas Kesehatan Kota Depok. Anggota DPRD Kota Depok Nurhasim menduga ada korupsi dalam anggaran stunting yang ditangani Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2023. Ini terlihat dari makanan tambahan yang dimakan balita tidak sebanding dengan nominal Rp18 ribu per porsi (https://mediaindonesia.com)