Tudingan Kekerasan Berbasis Gender Salah Arah!
Oleh: Herini Ridianah, S.Pd
Kasus penganiayaan terhadap anak dan istri di Depok, Jawa Barat yang berujung pada kematian sang anak dan luka berat sang istri dianggap sebagai kekerasan berbasis gender yang ekstrim. Hal ini diungkapkan anggota Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat kepada Antara (Sabtu, 5/10/2022). Menurutnya, kekerasan tersebut terjadi sebagai puncak kekerasan dalam rumah tangga.Â
Kasus tersebut bukan kriminal biasa, sehingga terhadap pelaku harus diberi sanksi unsur pemberatan. Hal itu karena melanggar hak anak untuk dilindungi orang tuanya dan bebas dari penyiksaan, sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan anak. Pelaku juga dianggap telah melakukan kekerasan berbasis gender.
Tudingan tersebut jelas salah arah, karena pada faktanya banyak terjadi kekerasan dengan korban yang sama gendernya, bahkan mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Jika public lebih jeli melihat fakta, kasus kekerasan baik yang terjadi di ranah domestik maupun umum, justru disebabkan cara pandang manusia yang sekuler, bukan akibar gender.Â
Sekulerisme adalah ide yang memisahkan agama dengan kehidupan. Efeknya manusia akan berpikir dan bertingkah laku sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Manusia akan mengalami krisis keimanan yang parah.
Islam mengajarkan bahwa penganiayaan dan pembunuhan tanpa haq adalah dosa besar. Namun, sekulerime telah menggiring manusia untuk memiliki mindset bahwa pelampiasan rasa kekesalan, kebencian, egoisme, dan sejenisnya lebih penting dibanding dengan nyawa manusia. Ditambah fakta kehidupan yang kapitalistik membuat ekonomi menjadi faktor utama paceklik keluarga.Â
Kehidupan liberal juga membuat bangunan keluarga rapuh dan rentan terjadi perselingkuhan. Sehingga publik mendapati berbagai jenis kasus KDRT dan pembunuhan yang begitu sadis. Inilah akar kerusakan sistemik yang disebabkan sekulerisme.
Maka tuduhan "kekerasan terhadap istri dan anak sebagai kekerasan gender ekstrem" telah mengaburkan penyebab kekerasan sebenarnya, termasuk penyebab secara sistemik. Pegiat gender selalu mengarahkan penyebab pada ketidaksetaraan gender sebagai bagian upaya untuk menipu umat agar mendukung kesetaraan gender sebagai solusi atas persoalan perempuan dan anak.Â
Padahal senyatanya kesetaraan gender hanyalah ilusi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan World Economic Forum (WEF) pada tahun 2020, target planet 50:50 yang diklaim untuk menutupi kesenjangan gender terkait ekonomi membutuhkan 257 tahun.( https://www.dw.com/id)