Berharap Indonesia bersih dari korupsi, nampaknya menjadi mimpi yang mustahil diwujudkan. Bukan sekedar narasi pesimis, namun melihat kenyataan kejahatan korupsi di negeri ini yang justru makin menjadi-jadi setiap tahunnya. ICW mengungkapkan kerugian negara akibat korupsi mencapai 6,5 T yang setara dengan 650 ton beras. Awal bulan September 2018 saja, KPK telah mengungkap korupsi massal di Malang. Tak tanggung-tanggung, ada 41 anggota DPRD kota Malang yang ditetapkan sebagai tersangka dari total 45 anggota DPRD. Tak hanya itu, Walikota Malang non aktif Moch Anton dan eks Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Pengawasan Bangunan kota Malang tahun 2015, Jaroy Edy Sulistiyono telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sebelumnya, masih segar dalam ingatan kita, Â kasus korupsi massal e-KTP yang melibatkan Ketua DPR ( Setya Novanto) hingga merugikan negara sebesar 2,3 T.
Dalam 13 tahun terakhir, terhitung tahun 2015, ada 56 kepala daerah jadi terpidana korupsi (tirto.id). Korupsi massal nampaknya sudah menjadi fenomena tren di negeri ini. Dari pusat hingga ke daerah, dari eksekutif juga legislatif. Bahkan Lombok yang sedang berduka pun tak luput dari kasus korupsi oknum anggota DPRD Mataram senilai 30 juta. Miris!
Sayangnya, pemberantasan kasus korupsi di negeri ini menunjukkan ketidakseriusannya. ICW menganggap pemerintah tak serius memberi efek jera ke koruptor (Jawa pos.com). Temuan kamar luas Setya Novanto dan pelaku koruptor lainnya di LAPAS Sukamiskin, Bandung menjadi bukti. Perlakuan hukum spesial untuk para koruptor justru menumbuhsuburkan keinginan pejabat untuk tak segan bermain curang asal dapat menambah pundi-pundi kekayaan. Â Alih-alih dicabut hak politiknya di pemerintahan, Bawaslu justru mengizinkan mantan napi kasus korupsi kembali berkiprah di pentas politik. Lebih parah lagi, banyak pertahanan calon kepala daerah yang terbukti korupsi bisa menang pilkada. Politisinya muka tembok, pemilihnya IQ --nya jongkok.
Partai politik yang seharusnya berfungsi menyortir para calon wakil rakyat terbebas dari napi koruptor, justru memberi ruang napi koruptor nyaleg lagi. Alasannya, membiarkan masyarakat untuk cerdas memilih. Masalahnya, selama ini partai politik tidak menjalankan fungsi edukasinya untuk mencerdaskan masyarakat. Bagai pepatah "Habis manis sepah dibuang", masyarakat hanya didekati ketika musim pemilu saja, setelahnya dilupakan. Â Akibatnya, harus diakui mayoritas pemilih kemungkinan besar masih bisa tertipu dengan memilih caleg napi koruptor. Jauh sebelum itu terjadi, maka pihak Bawaslu dan KPU sebelumnya telah meminta para parpol menandatangani fakta Integritas sebagai komitmen untuk tidak mencalonkan kadernya yang pernah terlibat korupsi, narkoba. Namun kenyataan hari ini berkata lain. Napi koruptor bersikukuh tetap nyaleg atas seizin parpol. Maka, usulan kreatif pun datang salahsatunya dari acara mata najwa, yaitu dengan memberi tanda gambar jeruji di atas foto calon wakil rakyat napi koruptor pada surat suara. Â Eksesnya panjang, jika para calon wakil rakyat napi koruptor ini banyak mengisi ruang DPR, maka tak dapat dibayangkan kelak yang akan memilih hakim agung kualitasnya seperti apa, mencederai pengadilan.
Paket Demokrasi bonus korupsi
Deretan kasus korupsi yang terus bergulir dan tak bisa dihentikan, menunjukkan ada yang salah dengan sistem politik negeri ini. Ibarat nasi dan lauknya, maka sistem demokrasi dan korupsi telah menjadi satu paket yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Politik demokrasi yang berbiaya tinggi menjerat mereka yang menjabat untuk memutar otak agar dapat balik modal.
Modal bisa dari dana sendiri atau dari pemilik modal.Dengan proses politik itu kekuasaan didapat. Lalu kekuasaan itu dipakai untuk mengembalikan modal dan memberikan keuntungan kepada pemodal, juga untuk memupuk modal mempertahankan kekuasaan pada proses politik berikutnya.Jadilah siklus money making power, power making money terus bergulir. Di situlah terjadi persengkongkolan politisi-penguasa dengan pemodal, dan juga terjadi korupsi dalam berbagai bentuk dan modusnya.Maka sistem demokrasi padat modal itulah yang jadi biang korupsinya. (www.globalmuslim.web.id)
Ditambah jiwa rakus yang ada pada para politisi telah melunturkan keimanan dan perasaan takut dosa akan laranganNya. Jangankan berharap agar pesta demokrasi ini melahirkan para pejabat yang dapat berkhidmat pada Allah SWT, berkhidmat pada rakyat saja sulit kita temukan.UU dan aturan diperdagangkan demi kepentingan kapitalis, bahkan asing, dengan imbalan uang.
Maka, persoalan korupsi bukan sebatas persoalan individu saja. Namun ini adalah buah dari sistem demokrasi. Persoalan ideologi. Maka sepanjang demokrasi yang menjadi biang korupsi masih tetap dipertahankan, siapapun rezim yang berkuasa, korupsi akan terus langgeng di negeri ini. menyelesaikannya pun harus menyentuh hingga ke akar masalahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H