Hari ini, dunia islam sedang mengalami krisis pendidikan dalam kadar yang signifikan. Tak terkecuali Indonesia sebagai negeri muslim terbesar yang justru memiliki segudang masalah pendidikan yang tak kunjung selesai. Fakta miris dunia pendidikan Indonesia makin terdengar nyaring dari tahun ke tahun. Â Bahkan, di awal tahun 2018, negeri ini serasa ditampar oleh kasus siswa yang tega membunuh gurunya.
Alih-alih berhenti, kasus kekerasan terhadap guru justru makin marak terjadi di berbagai daerah, baik dilakukan oleh siswa maupun wali murid.  Pun demikian halnya kasus kekerasan guru terhadap muridnya hingga kasus pelecehan seksual oleh guru. Kasus bullying pun marak terjadi antar siswa mulai dari tingkat SD hingga mahasiswa perguruan tinggi. Tak sedikit pula yang berujung pada kematian korban.
Bagai fenomena gunung es, kasus yang muncul hanyalah sebagian kecil dari fakta kerusakan moral yang sesungguhnya. Meski pahit, harus diakui bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal menghasilkan generasi cerdas berkepribadian islam. Cerdas dalam arti takwa, yaitu yang takut terhadap Tuhannya di atas segalanya.
Sebaliknya, pendidikan Indonesia justru banyak memproduksi orang-orang yang terjerat maksiat. Para pecandu narkoba ada dimana-mana. Koruptor-koruptor baik darikelas teri sampai kelas kakap rata-rata adalah orang berpendidikan. Anak-anak didik gemar berkelahi/tawuran. Banyak pula diantara mereka melakukan gaul bebas, bahkan menjadi PSK dan mucikari menjual teman sekolahnya.
Budaya mencontek yang sudah mendarah daging, kecurangan Ujian Nasional (UN) hingga perayaan kelulusan dengan pesta bikini dan seks bebas. Semua perilaku buruk tersebut menggambarkan kegagalan membentuk kepribadian.
Pendidikan gagal, salah siapa?
Bukan dalam rangka menyalahkan, namun sebagai bentuk kepedulian, kita harus mampu mencari akar masalah dunia pendidikan negeri ini. Tentunya, agar upaya perbaikan yang dilakukan bisa signifikan menjadi solusi tuntas. Setidaknya, ada yang menganggap kegagalan pendidikan ini akibat ketiadaan pendidikan karakter pada anak didik. Ada pula yang menyangka kurikulumnya tidak tepat. Adajuga yang menilai karena daya dukung pendidikan kurang baik, seperti sumber daya manusia dan ketiadaan infrastruktur yang memadai.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas output pendidikan. Pendidikan karakter ditambahkan dalam kurikulum di sekolah. Kurikulum pendidikan pun sudah berulang kali berganti. Gaji para pendidik pun sebagian sudah dinaikkan dengan tunjangan. Anggaran pendidikan pun dinaikkan di APBN. Tapi nyatanya, pendidikan tetap saja terseok-seok.
Baru-baru ini, Presiden Jokowi juga mengusulkan gagasan Student Loan serta Impor Universitas yang mengundang kontroversi. Gagasan Student Loan hanyalah salah satu bukti keinginan pemerintah untuk semakin lepas tanggung jawab dari kewajiban menanggung biaya pendidikan rakyatnya.Â
Setelah UU Pendidikan Tinggi No.12 tahun 2012 ditetapkan, jerat kapitalisme dan liberalisme pendidikan makin terasa. Pendidikan semakin mahal dijangkau rakyat. Gagasan Impor Universitas pun jelas bukanlah solusi, karena rentan masuknya budaya asing pada generasi. Â Â
Tak jarang pula pemerintah melakukan studi banding ke negara-negara barat untuk mencari solusi alternatif mengatasi masalah pendidikan. Namun sebenarnya, jika jujur, Barat sendiri dengan kemajuan pendidikannya, tak mampu melahirkan generasi terbaik.