Kementrian Keuangan pada 16 Agustus 2017 merilis Rancangan APBN 2018. Dalam rilis tersebut disebutkan anggaran penerimaan negara Rp.1878,4 triliun yang didapat dari pajak Rp.1.609,4 triliun (86%); sumber daya alam (SDA) migas Rp 77,2 triliun (4 %) dan SDA non Migas Rp 22,1 triliun (1%). Sedangkan anggaran belanjanya, cicilan pokok utang dan bunga Rp 629,2 triliun; bunga Rp 247,6 triliun dan defisit (minus) anggaran Rp 326 triliun
Kebijakan defisit APBN makin melanggengkan utang Indonesia yang terus membengkak tak terkendali. Utang berbasis riba, produk kapitalisme, bukan untuk kemajuan tapi menghasilkan kehancuran suatu bangsa.. Betapa kita saksikan hari ini, Indonesia yang kaya sumber daya alamnya harus rela dijarah penjajah sebagai konsekuensi bangsa ini berutang kepada mereka. Walhasil, rakyat selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Sungguh ironi, Indonesia yang kaya akan SDA hanya menikmati hasil 5 % saja, dan terpaksa bertahan hidup dari pajak dan utang.
Oleh karena itu, wajar jika dikatakan berharap Indonesia bebas dari utang bagai mimpi yang tak akan terwujud, selama sistem ekonomi Indonesia masih berbasis ekonomi kapitalisme. Alternatif satu-satunya, sesungguhnya Indonesia masih bisa diselamatkan dengan sistem ekonomi islam yang telah terbukti dalam sejarah penerapannya, membawa negara khilafah saat itu berada di masa keemasannya dan mensejahterakan rakyatnya. Masalahnya tinggal mau atau tidak mengambil islam sebagai solusi, disaat pemerintah saat ini justru sedang mengidap alergi pada kata'khilafah'.
.
[1] Perkins, J. (2016). The New Confessions of an Economic Hit Man. Berrett-Koehler Publishers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H