Mohon tunggu...
Hyronimus Lado
Hyronimus Lado Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Matematika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dalam Arti Sebenarnya

20 Januari 2015   07:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Terinspirasi dari pesan guru matematikaku di SMA Efata SOE, tahun 2003 silam. "Tunliu" hanya sepenggal nama itu yang ku ingat.Berikut pesannya "jika ingin menjadi jutawan, maka jangan memilih berprofesi sebagai guru. Sebab menjadi guru berarti siap untuk hidup miskin. Hal inilah yang membuatku untuk mau menjadi guru. Ingin belajar melayani tanpa berharap lebih. Tujuanku seperti yang diamanatkan undang-undang yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 "mencerdaskan kehidupan bangsa"

Dengan pilihan hidup seperti ini, tentunya sangat berpengaruh dengan ekonomi keluarga. Sekedar membenarkan pesan guru SMAku dan pernyataanku tersebut, berikut sebuah cerita. Pernah aku berjumpa dengan seorang pegawai dinas perhubungan ketika liburan semester tahun 2004 silam yang juga salah satu anggota keluargaku. Ada satu pertanyaan dan juga sindiran dalam dialog kami. Begini pertanyaan beliau "dimana kuliahnya, dan apa urusannya?" Setelah menjawab pertanyaannya, saya ditertawakan sambil berkata "di jaman seperti ini, masih ingin menjadi guru?". Jawabanku sederhana "panggilan hidup"

Namun karena ketegaran hati dan tentunya diimbangi dengan doa, semuanya pasti dapat teratasi. Hal ini juga telah dibuktikan oleh beberapa pensiunan guru SDK Lelawerang yang juga mantan guru SD saya pada tahun 1989-1995. Dengan gaji yang begitu rendah, mereka dapat mengatasi kesulitan ekonomi dalam rumah tangganya. Bahkan tak sedikit dari mereka menyekolahkan anaknya hingga pada perguruan tinggi, dengan tujuan yang sama yaitu menjadi guru.

Dengan demikian guru pada jaman dulu memang benar-benar menyadari panggilannya, berbeda dengan sebagian guru jaman sekarang. Sejak diterbitkannya undang-undang No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yang mengamanatkan agar semua guru wajib bersertifikat pendidik dengan sejumlah tunjangan yang cukup menggiurkan. Maka sangatlah nampak bahwa guru bukan lagi dimaknai sebagai panggilan. Hal ini tampak pada peminat calon mahasiswa FKIP tahun 2006, naik drastis. Sebut saja UNDANA Kupang sebelum adanya undang-undang guru dan dosen, rata-rata peminat setiap tahun maksimal mencapai 30 orang per angkatan per program studi. Namun pada tahun 2006 dalam satu angkatan per program studi dapat mencapai 70 orang.

Guru bukan lagi panggilan hidup seperti yang terjadi pada jaman dulu. Pilihan menjadi guru, merupakan pilihan yang tepat bagi para pencari kerja. Demikianlah kenyataan yang terjadi pada saat ini, dengan harapan mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Namun kenyataan ketika terjun ke dalam dunia pendidikan, terjadi banyak keluhan. Keluhan utama yang seiring didiskusikan pada salah satu forum guru di NTT dalam grup facebook warta guru NTT yaitu: minimnya gaji guru honorer, dan guru bersertifikasi yang tidak memaknai arti profesi guru yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun