Mohon tunggu...
Hyronimus Lado
Hyronimus Lado Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Matematika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan di Era Digital

25 Januari 2015   01:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beda era, beda pula orangnya. Begitu juga beda pimpinan beda juga pemikirannya. Perubahan kurikulum yang tak menentu, membuat para guru yang sebagai ujung tombak selalu kewalahan dalam mengimplementasikannya. Memang kurikulum 2013 (K.13) dalam penberlakuannya terkesan tidak seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya. Tahapannya dapat dikatakan aneh. Kenapa tidak, K.13 pada tahap uji coba sudah baik untuk penerapan pada sekolah-sekolah model. Herannya pada tahap ke-1 langsung diberlakukan untuk seluruh sekolah, yang sebenarnya diperuntukkan khusus pada kelas tertentu misalnya, kelas 1, 4, 7, dan 10. Nanti pada tahap berikut berlanjut untuk kelas 1, 2, 4, 5, 7, 8 dan 10, 11. Sehingga pada tahap/tahun ke-3 secara keseluruhan sudah mengimplementasikan dan tahun tersebut juga diberlakukan UN menggunakan kurikulum yang dimaksud.
Setelah selesai memperbaiki sistem pemberlakuan K.13 gilirannya pemerintah melalui kementrian pendidikan mulai mencari peluang program lain yang perlu pembenahan. Sasarannya pada masalah minimnya sumber belajar di daerah-daerah pelosok seperti buku pembelajaran, dll yang memang tidak dapat dipungkiri lagi hal tersebut. Walaupun sekolah sudah berusaha dalam pengadaannya, tetapi respon yang lambat dari pihak penyedia dengan alasan minimnya infrastruktur seperti akses untuk mencapai lokasi, dll. Yang lebih fatal lagi bila ada bantuan yang melibatkan dinas terkait (dinas pendidikan). Contoh konkrit misalnya dana DAK, sekolah mengusulkan pengadaan buku pelajaran misalnya. Sayangnya yang datang hanyalah buku referensi tambahan untuk memenuhi perpustakaan sekolah. Hal seperti ini, sering dipersoalkan pihak sekolah tetapi alasannya simpel "namanya juga sumbangan", aneh tapi nyata.
Dengan demikian maka, pemerintah melalui kementrian pendidikan menghadirkan wacana tentang e-sabak sebagai alternatif dari program pengadaan buku pelajaran, membuat banyak kalangan guru dan siswa merasa bahagia, namun tak sedikit dari sebagian guru yang merasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada para guru yang berada di daerah-daerah pelosok, sebab yang diutamakan dalam program ini adalah sekolah-sekolah di daerah pelosok yang sulit mengakses sumber informasi (sumber belajar).
Pengetahuan guru yang masih minim terhadap teknologi digital, dikhawatirkan akan berpengaruh pada proses pembelajaran. Sebab guru akan merasa minder, bila siswanya lebih optimal dalam mengoperasikan peralatan tersebut. Pertanyaannya mengapa bukan siswa yang dikhawatirkan dalam program ini? Jawabannya sederhana, karena siswa pelosok sangat agresif bila melihat hal-hal atau bentuk lainya yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Atau pertanyaan lain yang timbul, misalnya mengapa bukan buku pelajaran yang disenangi siswa pelosok? Menumbuhkan minat baca buku  pada para siswa di pelosok memang agak sulit dilakukan, tetapi tidak semua jenis buku. Sebab ada juga siswa yang suka membaca buku-buku cerita bergambar.
Ada beberapa catatan penting bila pemerintah, melalui kementerian pendidikan serius menjalankan program ini. Sangat perlu diperhatikan beberapa hal yang memang menjadi prioritas sebelum diberlakukannya program e-sabak, seperti: 1) perlu meningkatkan kompetensi guru melalui pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan. 2) peningkatan infrastruktur penunjang e-sabak seperti; a) listrik yang memang menjadi kendala bila tabletnya low bath, b) jalan yang menjadi kendala bila ingin membangun listrik, sebab tidak mungkin semua logistik yang diperlukan untuk membangun listrik diangkut dengan tenaga manusia. 
Masalah yang paling mendasar adalah jaringan internet yang sangat-sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin guru atau siswa dapat mengakses sumber belajar lain selain buku jika yang ada tersedia hanyalah jaringan telkomsel yang notabene sangatlah mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Bukan mahalnya yang dipersoalkan, tetapi jaringannya yang tersedia hanyalah telkomsel generasi ke-2 atau yang dikenal dengan 2G. Padahal bila kita mengintip yang ada di Jakarta dan Surabaya yang sudah pada generasi ke-4 atau dikenal dengan 4G LTE memang sangat jauh berbeda. Dengan memanfaatkan jaringan telkomsel 2G ini, para guru hanya dapat memanfaatkan Facebook untuk berbagi pengalaman. Hanya saja bila dalam postingan terdapat gambar yang walaupun resolusinya kecil, bila ingin melihatnya saja dapat membutuhkan waktu hingga 10-20 menit, itupun dapat terwujud ketika jaringannya stabil. 
Apakah jaringan 2G dapat mengunduh buku-buku yang banyak tersedia di internet? Jawabannya bisa, hanya saja butuh kesabaran dan menyedot banyak waktu untuk hal tersebut. Bila ini dilakukan para guru, maka terkesan hanya membuang-buang waktu. Apakah pemerintah, melalui kementrian pendidikan tetap memberlakukan program e-sabak? Kita menanti jawabannya nanti
#2G vs 4G LTE

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun