Sejarah mencatat bahwa pergeseran ilmu pengetahuan dan konstruksi sosial dari negara maju (barat) ke negara berkembang (timur) itu membutuhkan waktu yang amat lama. Misalnya bagaimana Jefferson membangun ide pemerintah yang "desentralisasi" pada tahun 1809 di Amerika, sementara ide tersebut baru dibawa oleh Amin Rais ke Indonesia sekitar tahun 1997 dan mulai menyuarakan sistem tersebut pada tahun 1998 melalui pergerakan reformasi untuk mengkudeta sentralisasi Suharto, dan mulailah berlaku pada tahun 2004 di pemilu pertama pasca orde baru. Bayangkan pergeseran tersebut dimulai pada tahun 1809 dari Amerika dan baru tiba di Indonesia pada tahun 2004. Pergeseran sistem tersebut membutuhkan waktu ratusan tahun untuk tiba ke negeri ini.
Selain itu, ketika kehidupan sosial dunia barat sudah mencapai puncaknya modern (post modern), sementara kita baru beranjak dari tradisional menuju modern. Disisi lain ketika barat sudah mulai menerapkan paradigma "post birokratik" dalam sistem pemerintahannya, sementara kita masih berkutat dengan paradigma "birokratik" dengan fenomena "berhalanisasi" aturan dalam birokrasinya. Artinya fenomena-fenomena tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa tranformasi ilmu pengetahuan dari barat ke timur membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa diterapkan di negara-negara berkembang, itupun dengan garansi yang tidak pasti.
Lalu tiba-tiba revolusi industri 4.0 begitu cepatnya mentransformasikan dirinya di negara berkembang, dan dengan tangan terbuka kita menerima hal tersebut dengan segala kebanggaannya tanpa adanya kontrol dan persiapan apa-apa. Pernahkah kita menganalisis secara filosofis apa sesungguhnya yang terjadi secara empirik selama ini. Di semua level baik pemerintah maupun swasta, bahkan termasuk perguruan tinggi selalu menjadikan revolusi industri 4.0 sebagai bahan seminar, dialog, dan diskusi dengan mengungkapkan berbagai "strength dan opportunity-nya", namun sepanjang itu, tidak pernah satupun terdapat narasi yang mengutarakan sisi negatif perihal fakta yang terjadi selama ini.
Produk-produk revolusi teknologi 4.0 selalu dijadikan branding "succes story" kepada publik, semisal eksistensi Bukalapak, Tokopedia, dan sejenisnya, namun pernah tidak pemerintah menganalisis dan mendata betapa banyak toko-toko milik rakyat, usaha rakyat, kios rakyat, butik rakyat, dan usaha rakyat lainnya yang mulai punah dan bangkrut di berbagai wilayah di negeri ini. Pemiliknya adalah banyak manusia dan di dalamnya terdapat juga karyawan-karyawan yang kehidupannya tergantung dari usaha-usaha tersebut.Â
Sementara produk-produk revolusi industri digital tersebut hanya mampu memperkaya pemiliknya saja yang cuma satu orang pemilik. Artinya mereka telah menciptakan karya yang mampu menjadi mesin penyedot uang, maka semakin banyak produksi kebangi tersebut, semakin banyak pula mesin penyedot uang. Pada saat yang sama usaha-usaha rakyat di berbagai tempat dan wilayah menjadi hampir punah perihal adanya revolusi industri digital tersebut. Akibatnya terjadi pengangguran yang tak terbendung. Data terbaru tahun 2019 mencatat bahwa Indonesia merupakan negara kedua tertinggi angka pengangguran di Asia Tenggara (Viva.com, 2019).Â
Secara logika, dengan adanya revolusi teknologi seperti saat ini, seharusnya negeri ini semakin maju dan berkembang di semua sektor, termasuk sektor tata kelola pemerintah (governance), tapi anehnya kehidupan ekonomi dan sosial menjadi semakin mundur, pengangguran semakin tinggi, dan kehidupan sosial menjadi semakin tidak beradab. Maka kontrol pemerintah seharusnya semakin kuat juga, bukan justru membiarkan ini terjadi secara liar saja atas nama kompetisi.
Tentu banyak yang mengatakan seperti ini : "tidak mungkin kita bisa membendung perkembangan teknologi saat ini, maka satu-satu jalan adalah kita harus bisa bersaing (kompetitif)". Tidak ada salah dengan narasi tersebut, namun yang perlu diketahui bahwa status negeri ini adalah bukan negara maju. Negara maju tentu akan memiliki banyak "second option" dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya, sementara dalam negara berkembang mengharuskan adanya "security dan intervensi" dari pemerintah, terlebih secara umum budaya masyarakat yang masih sangat primordial, masih rendah inovasi, termasuk rendahnya kreativitas jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Sejarah mencatat bahwa revolusi industri jenis apapun tanpa kontrol kuat dari pemerintah pasti akan mengakibatkan masifnya pengangguran dan kemiskinan. Fenomena inilah yang pernah dilawan oleh kaum sosialis yang dipimpin oleh Karl Marx pada saat itu, meksipun ideologi ini dianggap "kiri" di dunia ini. Hal yang sama bahwa fenomena tersebut telah terjadi saat ini dengan gaya dan konstruksi sosial yang berbeda, dan bahkan pemerintah memberi pujian terhadap revolusi tersebut, meskipun fenomena tersebut menyebabkan masifnya pengangguran dan kemiskinan.
Jika eksistensi revolusi teknologhi diarahkan agar kinerja pemerintah menjadi lebih muda, cepat, efektif, efisien, dan akseleratif, maka dipastikan eksistensi revolusi tersebut mencapai puncak kemanfaatannya, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka digitalisasi yang dibangga-banggakan tersebut menjadi gagal adanya, anehnya yang gagal inilah yang dijadikan bahan pujian agar terlihat lebih modern dan agar tidak terlihat ketinggalan jaman.
"Sebelum berbicara banyak tentang revolusi industri 4.0, pahami filosofinya, analisis fenomena empirisnya, lalu kaitkan dengan kehidupan sosial, maka setelah itu kita akan melihat secara terang benderang isi dari revolusi tersebut, jangan-jangan sesungguhnya negeri ini sedang dibohongi oleh istilah revolusi industri 4.0. Negeri barat tahu persis bahwa negeri ini belum siap menerima "legacy" dari barat, maka doktrin mereka kepada negara berkembang melalui jalur digital pasti mudah diterima, pada saat itulah kita akan beruforia dalam kemiskinan dan pengangguran tanpa sadar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H