Argumentasi tentang orde baru dan demokrasi adalah dua diksi yang diperebutkan substansinya dalam pilpres kali ini. Mereka yang tiba-tiba kangen Orde Baru mungkin saja memiliki pertimbangan kuat mengapa mereka memuji Orde Baru ditengah gamangnya hukum dan ekonomi saat ini. Bisa jadi karena banyak masyarakat yang sudah bosan dengan retorika politik saat ini yang tak menuai ekspektasi publik, pada akhirnya muncul "distrust" publik terhadap manusia-manusia pemegang kekuasaan.
Pada sisi lain, mereka yang tidak setuju dengan Orde Baru tak tanggung-tanggung menganggap Suharto sebagai guru korupsi, sehingga Suharto acap disebut secara "absurd" dalam setiap dialog politik mereka, pun memiliki pertimbangan yang kuat mengapa mereka begitu gencar mencaci Orde Baru. Bisa jadi mereka menganggap bahwa hanya melalui sistem demokrasi, kesejahteraan itu ada. Mereka menganggap demokrasi merupakan jalan tunggal menuju kesejahteraan. Dengan demokrasi kita bisa berbicara bebas, kita bisa mengontrol kebijakan, kita bebas berekspresi dan berserikat.
Dua narasi itu pun turun sampai ke akar rumput dan menjadi perbincangan hangat yang disesalkan oleh masyarakat-masyarakat di level bawah. Akan tidak bermasalah jika perdebatan itu mengedepankan rasionalitas, celakanya semuanya sibuk menjudge Orde Baru dengan narasi esktrim di ruang publik dengan latar mengharapkan simpati publik demi kekuasaan.
"Benarkah Demokrasi Jalan Tunggal Menuju Kesejahteraan?"
Bagi mereka yang terlalu mengagungkan demokrasi dengan segala kelebihannya, mungkin mereka lupa bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bergantung pada pilihan sistem politik yang dianut. Perdebatan demokrasi sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan itu masih bersifat "spekulatif-hipotesis". Hubungan demokrasi dan kesejahteraan itu tidak bersifat linier-kausalistik, melainkan bersifat non linier-kondisional. Pendeknya hubungan keduanya tak terjadi karena sebab akibat, melainkan bahwa minimal kesejahteraan itulah yang akan menguatkan demokrasi itu sendiri.
Kita bisa melihat negara-negara maju di Asia Tenggara seperti Singapura dengan pembangunan ekonomi yang mencengangkan mampu merajai ekonomi Asean, padahal pilihan sistem politiknya adalah semi otoriter, bukan demokrasi penuh. Kegemilangan pembangunan ekonomi Korea Selatan dan Taiwan pun berawal ketika sistem politik semi otoriter, meskipun saat ini kedua negara tsb memeluk sistem demokrasi penuh. Vietnam yang terbilang baru memerdekakan dirinya pun menunjukkan kemajuan ekonominya yang gemilang pada pertengahan tahun 1990-an, padahal secara de-facto negaranya menganut sistem otoriter.
Contoh lain yang paling spektakuler adalah bagaimana Cina mampu mencengangkan dan menguasai ekonomi dunia saat ini, bahkan Amerika sebagai negara adikuasa pun menabuh "perang dagang" dengan kekuatan ekonomi Cina saat ini, padahal pilihan sistem politik Cina adalah otoriter dengan menganut sistem ekonomi pasar bebas. Dari contoh tersebut, yang ingin saya katakan adalah negara-negara High Performance Asian Economies (HPAEs) tersebut telah membuktikan bahwa ada jalan lain di luar demokrasi untuk mencapai kesejahteraan, bahkan Lee Kwan Yew pernah mengafirmasikan bahwa yang dibutuhkan sebuah negara adalah 'kedisiplinan" lebih dari sekedar demokrasi, sementara negeri ini begitu mengagungkan demokrasi dengan nir-kedisiplinan, itulah masalahnya.
Inti dari sebuah negara adalah kesejahteraan. Mau apapun pilihan sistem negara tersebut, jika mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, selagi tidak menghilangkan agama dan tidak membunuh, itulah sistem yang baik. Mengapa kita harus banyak beretorika dan meninggikan ego kekuasaan, jika itu tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat, bukankah itu kegagalan yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H