Kalimat "Ilmu itu bukan yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat" menekankan bahwa esensi sejati dari ilmu pengetahuan terletak pada penerapannya dalam kehidupan nyata, bukan sekadar dalam penguasaan teoritis atau hafalan.
Ā Imam Al-Ghazali dalam karya-karyanya sering menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat. Ia menyatakan bahwa ilmu haruslah membawa perubahan positif dalam diri seseorang dan masyarakat sekitarnya. Menurutnya, ilmu yang hanya dihafal tanpa diaplikasikan tidak akan membawa keberkahan dan manfaat.
Sejalan dengan yang di ejawantahkan oleh Ibnu Sina atau Avicenna juga menggarisbawahi pentingnya praktek dalam ilmu pengetahuan. Ia percaya bahwa ilmu kedokteran, misalnya, tidak hanya harus dipahami secara teoritis, tetapi juga harus diterapkan dalam praktik untuk menyembuhkan pasien.
John Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika, mengemukakan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan haruslah berfokus pada pengalaman nyata dan pembelajaran yang aplikatif. Menurutnya, pendidikan yang hanya menekankan hafalan tidak akan menghasilkan individu yang kreatif dan kritis.
Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed" mengkritik sistem pendidikan yang hanya berfokus pada penghafalan tanpa pemahaman. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang liberatif, di mana peserta didik diajak untuk berpikir kritis dan menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Al-Qur'an Dalam Surah Al-Baqarah ayat 269, Allah SWT berfirman:Ā
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, ia benar-benar telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal."Ā
Ayat ini menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam ilmu, bukan sekadar pengetahuan teoretis.
Rasulullah SAW bersabda:Ā
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."Ā
(HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni).