Mohon tunggu...
herie_dailyactivity
herie_dailyactivity Mohon Tunggu... Freelancer - Akun Kedua Kompasiana

Menulis Sesuai Suasana Hati

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Nak, Hidup Harus Berlanjut, Maaf Ibu....(Munajat Istri Yang Tersakiti)

5 Februari 2025   09:25 Diperbarui: 7 Februari 2025   07:18 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Saya bertutur, ihwal sepenggal perjalanan yang saya alami. Hidup dengan awal penuh bahagia, sekarang tersisa kepahitan dan tetap harus menghela nafas untuk tetap hidup. Hidup terus berjalan, tidak boleh terkalahkan oleh sikap penghianatan dan kemunafikan seorang suami.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika Redan melamar saya, saat itu tergambar kebahagiaan akan segera terwujud. Saya terima lamaran itu dengan penuh rasa gembira dan tentunya penuh syukur. Saat itu, saya membayangkan akan hidup dalam belaian kasih dan sayang dari seseorang yang akan dipanggil ayah oleh anak-anak kami.

Dalam perjalanannya, setelah akad nikah dilanjutkan dengan resepsi sederhana di gelar, babak awal kehidupan rumah tanggal di mulai. Ekonomi yang pas-pasan, terlebih suami tengah berjuang dengan status kepegawainnya, anak pertama kami lahir. Bayi laki-laki yang melengkapi kehidupan keluarga kecil kami.
"Saya selalu mendukungmu Mas. Ambil S-2, segala upaya yang bisa saya lakukan akan saya lakukan untuk bisa mewujudkan cita-citamu. Toh bila berhasil, untuk keluarga kita kan? "
Ucapa saya saat itu, ketika Redan mengutarakan niatnya untuk melanjutkan studinya. Bila studi S2 selesai, bisa untuk mendukung jenjang karier kepegawainnya sebagai seorang pegawai fungsional golongan III.
"Tentulah, semua yang ingin saya raih, tentu untuk keluarga. Siapa lagi kalau bukan kamu dan anak-anak? " Ucap Redan, semakin meyakinkan. Sehingga ketika ada kesulitan dalam biaya study S2, saya tidak ragu-ragu untuk menjual apa yang saya punya, misalnya perhiasan atau sepetak tanah warisan orang tua.
Hari-hari bahagia seolah belum sempurna, karena pertemuan dengan suami belum setiap hari. Suami menjadat penempatan tugas di sebuah kota di Jawa Barat. Saya sendiri, mengabdi sebagai guru honorer, dengan harapan statusnya bisa diangkat sebagai guru negeri.
"Semoga tidak lama lagi, pengabdian saya tuntas ya Mas, bisa diangkat sebagai guru negeri dan bisa tugas di dekat Mas Redan kerja, di Jawa Barat. "
"Saya doakan, Istriku. "
Redan pulang tiga mingggu atau sebulan sekali. Semua berjalan dengan penuh pengertian. Kasih sayang Redan tumbuh, sejalan dengan tumbuh besarnya anak lelaki Kami bernama Taufan. Bisa jadi, rasa lelah perjalanan bila pulang, hapus begitu melihat, bertemu dan bercanda tawa dengan anaknya. saya tahu persis, rasa kangen tersebut ditumpahkan Redan pada Taufan dengan mengajak jalan-jalan, bermain ke play gound atau membelikan es krim di out tengah kota.
Kebahagian keluarga kecil Kami terus terpupuk, sampai suatu ketika saya seperti tersambar petir.

Bagaimana mungkin, diam-diam Redan menjalin hubungan dengan perempuan lain yang satu profesi dengannya?


Semua seperti air dalam gelas yang tumpah dan gelas tersebut pecah. Betapa hati saya hancur. Namun dengan melihat anak Kami, serta Redan bersumpah meminta maaf tidak akan melanjutkan dengan perempuan celaka itu, hati saya luluh.
"Demi anak Kita, Demi Kamu....sekali ini kesalahan, maafkan saya. "
Mata Redan penuh air mata.
Saya tak kuasa apapun, selain membiarkan tangan saya  digenggam. Meski sempat saya down untuk beberapa hari, Redan bisa mengambil hati saya kembali. saya bisa tersenyum dan bercanda tawa kembali.
Ibarat, mendung tebal tidak jadi hujan, terbawa desiran angin.
* * * * *
Saya sudah sepakat dengan Redan, untuk berkumpul di sebuah rumah mungil, dekat dengan kantor Redan di Jawa Barat.
" Sudahlah, dengan jabatan saya sekarang, tidak perlu kamu meneruskan harapan menjadi Guru negeri...ikut bersama saya, biar hati lebih tentram dan tidak banyak waktu terbuang bolak-balik Jawa Barat pulang ke sini. "
Itu kata-kata yang akhirnya meluluhkan hati saya, memenuhi keinginan suami. Di samping hal tersebut, kata-kata orang tua saya juga mendorong dan menguatkan apa yang disampaikan Redan.
"Seorang istri sebaiknya mengikuti kemana suami. Ikuti saja, soal rejeki, pekerjaan, sudah ada yang mengatur. "


Begitu. jadi, sempurnalah sudah keluluhan hati. Dengan tekad agar kebahagiaan keluarga utuh, selalu berkumpul dalam keseharian, maka saya putuskan keluar pekerjaan dan membuang jauh peluang saya menjadi seorang guru negeri.


"Jangan kuatir, dengan jabatan saya, akan saya beri uang tambahan sebagai ganti penghasilanmu. Toh saya kerja untuk kamu juga?"
Selaku kata-kata manis ini keluar. Meluluhkan hati saya.
Benar, begitu tinggal di Kota Sejuk Jawa Barat, dengan tinggal di sebuah rumah mungil, sangat menyenangkan hati. Kumpul dengan suami dan anak. Libur menikmati indahnya Kota Sejuk tersebut yang merupakan destinasi wisata, menjadi hari-hari penuh keceriaan. Terlebih dari sisi finansial ada penghasilan tambahan. Di samping sering mendapat job luar kota, juga ada tambahan lain yang menjadikan tabungan bertambah serta sebuah mobil bisa parkir di car-port rumah kami.
Kebahagiaan tersebut kian bertambah, dengan hadirnya anak laki-laki Kami yang kedua. Namanya Izan. Kedua anak laki-laki tersebut, banyak yang bilang sangat mirip dengan Redan.
Saya dalam aktifitas sehari-hari tidak tinggal diam. Ada saja yang saya kerjakan untuk bisa menghasilkan uang. Bukan sekedar mengisi waktu luang, namun saya punya prinsip untuk tetap produktif, walaupun tidak menjalani profesi sesuai dengan latar belakang pendidikan sebagai guru.
Saya buat kue kering ataupun makanan yang bisa diorder via on line atau saya titipkan di kantin atau koperasi kantor suami. Semua dilakukan dengan penuh rasa bahagia. Lebih-lebih, sering bila suami dinas luar kota, saya dan anak-anak diajak juga.
"Tuhan, terima kasih atas ini semua. "
Ucap saya dalam doa, di sebuah malam. Saya lirik, Redan tertidur pulas. Sementara di kamar sebelah anak-anak tidur dalam buaian mimpi.
* * * *
Sebuah pagi, saya seperti merasakan ada sesuatu yang menjadi nyata atas dugaan-dugaan atas mimpi buruk dalam belakangan ini.
Fakta saya menemukan sejumlah barang pribadi milik perempuan, tissu, parfum sampai kosmetik merk tertentu benar-benar membuat saya shok. Betapa tidak? Barang-barang tersebut tanpa sengaja saja temukan di salah satu sisi bagian dalam mobil yang baru tadi malam dibawa tugas luar kota untuk beberapa hari, Karena kecapean, tertidur lelap, hingga pagi saya inisiatif membersihkan atau mengambil barang-barang suami yang mungkin semalam belum sempat dibawa masuk.
Barang-barang milik perempuan tadi, sempat membuat saya tidak bisa berdiri tegap. Ada getaran pada sendi-sendi tubuh hingga kaki. Saya tegarkan, dan sempat saya foto barang-barang tersebut serta sama simpan.


Di kamar, saya seperti kilas balik. Beberapa bulan belakangan, perilaku Redan seperti kehilangan jati dirinya. Jangan-jangan....menyergap tiba-tiba perasaan penuh curiga, khawatir. Bukankah hal tersebut...pernah terjadi beberapa tahu lalu? Bukankah Redan sudah bersumpah-sumpah untuk tidak melakukan pengkhianatan lagi?


Tapi dengan ditemukan barang-barang perempuan bukan milik saya dalam mobil ini, ditambah dengan beberapa keganjilan yang belakang muncul, kekawatiran itu memuncak juga.
" Sini serahkan pada saya. "
Ucap Redan tiba-tiba ada di pintu kamar. Saya gelagapan. Barang-barang tadi masih ada di genggaman saya.
"Punya siapa ini Mas?"Saya beranikah juga, dengan menatap pada mata Redan. Eh, suami saya tidak melawan tatapan saya, malah seperti membuang muka.
" Bisa jadi teman kantor yang ketinggalan. Kemaren ada dua orang yang ikut numpang pada saat jalanan pulang. "
Jawaban yang enteng. Seenteng tangannya mengambil paksa barang-barang tersebut. Setelah berpindah tangan Redan ngeloyor meninggalkan saya yang masih terbengong. Tidak semua barang terbawa, satu kotak kosmetik sudah sempat saya pisahkan tadi dan saya simpan.
Jangan-jangan benar milik temannya yang numpang, tapi....?
Belum sempat itu terselesaikan tuntas, siang selesai mandi Redan bilangada tugas lain.
"Ini Sabtu lo Mas, Besok Minggu. Ada tugas luar lagi? "
"Ya, memang seperti ini belakangan. Jadwalnya tidak kenal hari libur."
Berkata begitu Redan meninggalkan saya. Dua anak kami sedang bermain di teraspun tidak dipamiti oleh Redan.
* * * *
Itulah awal prahara.
Minggu-minggu berikutnya, Redan semakin sering tidak di rumah, dengan alasan tugas luar kota. hati saya sudah mulai curiga, sampai saya tanyakan kepada salah satu teman kerja. Dari situ, saya dapat info, kemungkinan Redan kembali "gila" dengan hobi munafik dan berkhianat, janji yang pernah diucapkan dulu, seolah begerai, lalu terhempas angin yang menderu.
Saya datangi perempuan yang disebut teman kerja Redan. Perempuan itu lima tahunan dibawah saya. Dia sudah pidah kerja. Di depan saya Rani, nama perempuan itu berkata :
"Tidak benar, saya tidak ada hubungan apapun dengan suami Mbak. "
Saya percaya ucapan ini setelah beberapa hari kemudian saya berusaha mencuri-curi kesempatan untuk mengetahui lebih jauh Rani. Benar, dia sudah punya calon suami. Bahkan kemudian saya mendengar kabar Rani melangsungkan pernikahan.
Namun, perjalanan rasa curiga atas perilaku Redan yang kian "lupa" keluarga kian parah. Sudah tiga bulan ini benar-benar pulang bila hanya ingin bertemu anak-anak. Tidak ada lagi canda tawa atau saling canda anak-bapak. yang ada hanya kata-kata singkat : "Ayah cari uang ya, jangan nakal. " Gitu saja pesan sama anak-anak.
Sepeninggal Redan, Si Sulung bertanya " Kenapa Ayah sekarang jarang di rumah Bu? " Si Sulung yang sudah di bangku SD kelas empat, sudah mulai nalar akan apa yang terjadi.
Waktu penuh kebersamaan, mendatangi tempat-tempat wisata dengan penuh canda tawa, kuliner pinggir jalan sampai kuliner makanan cepat saji, menjadi bagian dari hari-hari yang terindukan. Ingin kembali menuai kebersamaan seperti itu.
Saya tidak berkata apapun kecuali memeluk kedua anak saya. Tak terasa, satu atau dua butir kristal bening turun ke pipi dan segera saya usap dengan punggung tangan kiri.
* * * *
Hari yang menyakitkan itu tiba. Setelah beberapa bulan dalam suasana perang dingin, ketika ada sebuah kecurigaan memuncak, anak saya yang pertama menemukan sesuatu dalam amplop. Ia berikan pada saya.
Saya buka amplop tersebut : Hasil Tes Kehamilan! Ada penyataan tertulis di situ : Positip!
Saya seperti melayang, tak berpijak bumi. Ini menjadi klimak atas prahara keluarga kecil saya. Dua bulan sebelum hari ini, ada pertengkaran hebat di pinggir jalan. Saat itu, saya bersama anak-anak mendatangi tempat kos Redan (ia putuskan kos dan tidak lagi tinggal di rumah, dengan alasan tidak nyaman tinggal di rumah).
Di tempat kos tersebut, saya dapatkan beberapa bungkus obat kuat maupun suplemen lainnya. Kedatangan saya dan anak-anak ini sangat membuat Redan marah. Ia caci maki saya. Sumpah serapah dan sangat menyakitkan.
"Saya talak. Saya talak kamu. "


Begitu, dipinggir jalan. Beberapa orang yang melihatnya seperti tidak bisa berbuat apa-apa, meski terlihat kedua anak saya sangat ketakutan dan memeluk saya.


****
Saya sudah bertekad, hari ini akan ke kantor Redan, akan saya adukan semua, termasuk apa yang tadi ditemukan oleh Si Sulung.
"Saya sudah tidak dianggap sebagai istri oleh Redan. Maksud saya ke kantor ini memberi tahukan pada Kantor...terserah apa yang akan dilakukan oleh kantor. Yang jelas keluarga saya sudah hancur berkeping dan sebelum saya datang ini...di awal-awal  kantor juga sudah tahu, namun tidak ada tindakan apapun. Saya pamit diri dari keluarga besar kantor ini...."
Ucap saya di hadapan Kepala Kantor, Atasan Redan. Pihak kantor sendiri sudah tahu apa yang terjadi, namun saya tidak tahu apa yang telah dilakukan terkait perbuatan salah satu pegawainya.
Bila pegawai seperti Redan dibiarkan tetap bekerja, tanpa adanya pembelaan akan hak-hak saya sebagai istri, tentu sebuah preseden buruk ke depan. Sebuah instansi tidak memberikan perlindungan pada istri-istri pegawai yang dikhianati, disakiti dan ditelantarkan dengan anak-anaknya yang butuh perhatian.
Tanpa menunggu penjelasan, saya melangkah, meninggalkan kantor tersebut.
Sebuah Whats App yang saya kirim ke nomor HP Redan melalui nomor HP anak saya. Tanpa cara ini komunikasi dengan suami sudah terputus. Apapun kabar atau dering telpon dari nomor HP yang dianggap angin lalu.
Tulisan saya dalam WA tersebut :
"Semua perlakuanmu, biar sebagai sebuah prasasti dalam hidup saya. Saya serahkan anak-anak padamu, karena saya harus bisa hidup dan sukses untuk kembali membawa anak-anak saya. "
* * *
Sebelum menyerahkan dua anak ke orang tua Redan, Dalam sebuah kesempatan, kedua anak saya dengan berderai air mata, memeluk rapat tubuh saya. Mereka sudah tahu bahwa mereka akan ditinggal oleh Ibunya. Oleh saya yang sudah bertekad bulat untuk membawa tubuh ini menjelajah dunia.
Keiklasan atas nasib yang terjadi pada diri saya, sepenuhnya saya kembalikan pada Tuhan Yang Maha Bijaksana. Saya yakini atas kebijakanNya tersebut, akan ada secercah bahagia. Saya yakin itu. maka dengan keyakinan itu saya ucapkan sederet kalimat pada anak-anak saya :
" Nak, tegarkan diri kalian. Ibu akan bekerja, mencari uang. Bila uang sudah banyak, kita akan berkumpul kembali. "
Ucap saya penuh getar. Si Sulung yang lebih tanggap dari adiknya yang berusia enam tahun hanya terdiam, terburai air matanya. Sang Adik menimpali :"Jangan lama-lama Ibu perginya ya, nanti bisa kumpul lagi sama Adik. "
Sebuah ketegaran yang harus terjadi.
Hidup terus berlanjut, sebuah keputusan harus saya buat. Doa Ibu dan Saudara-saudara saya, menguatkan langkah ini, untuk sementara meninggalkan dua bocah yang sangat saya sayangi. Untuk merekalah saya bertekad meneguhkan kaki menghadapi kerasnya dunia. Ini sebuah pilihan yang paling rasional, dari pada menghadapi suami munafik dan pengkhianat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun