Seperti diberitakan banyak media, muncul demo dengan tema sentral " Adili Jokowi ". Tentu publik paham betul apa maksud demo baik kalangan masyarakat ataupun elemen mahasiswa dari beberapa titik kota di Indonesia. Aparat Penegak Hukum (APH) yang diberikan kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi dijadikan sasaran untuk didatangi dan mengajukan tuntutan.
Pada sisi lain, juga diberitakan banyak media, Pak Joko Widodo menanggapinya dengan santai dan menyatakan itu sebagai sebuah cara menyampaikan ekspresi. Jawaban datar sebagaimana saat masih menjabat sebagai Presiden.
Sebagai negara demokrasi, tentu kondisi tersebut sah-sah saja, menyuarakan sebuah keinginan sepanjang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Demo dilakukan dengan tertib dan tidak anarkhis. Salah satu persoalan yang dikhawatirkan adalah potensi terjadinya sikap anarkhis tadi sehingga kegiatan menjadi kontraproduktif dalam kepatuhan pada hukum itu sendiri.
Bagaimana memandang persoalan ini?
Dalam konteks mengadili seseorang, prespektifnya harus pada pembuktian. Bukan berdasarkan pada hal-hal di luar suka atau tidak suka, terlebih adanya perasaan dendam dan bertujuan ingin menjatuhkan kredibilitas dan nama baik orang tersebut. Karena berkaitan dengan pembuktian, maka obyek perkara juga harus merujuk secara jelas peristiwa hukum mana yang diduga dilakukan oleh seseorang.
Sejalan dengan hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Pakar Hukum Pidana, Moeljatno bahwa pembuktian tindak pidana adalah proses mengumpulkan dan menyajikan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Sudarto, yang menyebutkan pembuktian tindak pidana merupakan proses mengumpulkan dan menyajikan bukti untuk membuktikan seseorang melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk menentukan apakah seseorang tersebut bersalah atau tidak.
Substansi dari dua pendapat Guru Besar Ahli Pidana tersebut menunjukan urgensi dari adanya bukti, yang dengan bukti itu bisa membuat terang sebuah perkara dan menunjukan bahwa ia-lah pelaku dari sebuah tindak pidana.
Prinsip-prinsip keadilan dalam penegakan hukum, memberikan konsekuensi transparasi proses hukum itu sendiri. Sehingga tidak terjadi, adanya desakan-desakan publik atas mantan Presiden Ke-7 Republik Indonesia tersebut hanya sebagai sebuah dugaan-dugaan yang penuh dengan asumsi dalam bingkai kebencian. Prinsip-prinsip hukum dan nilai keadilan harus dikedepankan, bagaimanapun juga Pak Jokowi juga mempunyai pendukung setia yang sampai sekarang masih simpati padanya.
Bahwa proses penegakan hukum bukan sebagai ranah eksekutif, namun political will atau kemauan pemerintah, terkadang bisa menjadi variable yang signifikan. Hanya saja, sejauh ini, setidaknya sampai dengan kemarin, Presiden Prabowo Subianto menyebutkan, ada pihak yang ingin memecah belah dirinya dengan Presiden ketujuh RI, Joko Widodo. Prabowo menyampaikan hal ini dalam sambutannya pada Pembukaan Kongres XVIII Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/2/2025). "Ada yang sekarang mau misah-misahkan saya dengan Pak Jokowi. Lucu juga untuk bahan ketawa boleh," kata Prabowo, sebagaimana dikutip dari kompas.com.
Ini menjadi sinyal kuat, dalam konteks penghargaan pada Presiden ke-7 masih dijunjung tinggi oleh Presiden Prabowo. Bisa jadi, Sang Presiden tidak ingin terjebak pada politik divide et empera.
Pada sisi lain political will yang disebut-sebut bisa berpengaruh besar dalam sebuah proses hukum, meski ditentang oleh para pakar hukum, bisa saja menjadi sebuah anomali apabila tidak melekat dan tumbuh pada kenegarawanan sosok pemimpin sebuah negara.
(Salam Untuk Negeri Yang Damai)