Misteri pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer di Laut Tangerang, Banten, menjadi potret ketidakjujuran di negeri ini, Indonesia. Pasalnya, hingga kini, belum diketahui jelas siapa dalang di balik pemasangan pagar bambu yang membentang itu, di tengah situasi saling tutup mata dan menyalahkan. Pemerintah daerah hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat kompak menyatakan tidak tahu-menahu, padahal fenomena tersebut ada di wilayah yang menjadi otoritasnya, sumber Kompas.com.
Kalimat pertama dalam paragraph berita yang saya kutip tersebut menjadi sorotan dan substansi artikel ini. Bagian dari kalimat tadi : " menjadi potret ketidakjujuran di negeri ini. "
Klop sudah. Betapa kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal di negeri ini. Sampai-sampai tagline merah di canangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : Jujur Itu Hebat. Ya, jujur sesuai makna dari Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lurus hati, tidak curang dan tidak bohong.
Bila demikian, makna dan substansi "jujur" menjadi kontradiksi atas pemaknaan kata korupsi, yang salah satunya adalah perbuatan curang. Tentu, menjadi sangat menjadi keprihatinan bila benar negeri ini tengah terselimuti dan tersandera oleh ketidakjujuran. Dampak dari ini, korupsi seolah menjadi "bagian dari kehidupan" di negeri ini.
Beberapa indikasi atas hal ini, setidaknya saya mereduksikan dalam beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, seolah menjadi hal yang jamak ketika untuk memperoleh pekerjaan, mendapatkan jabatan, pindah tugas, pindah posisi atau promosi mengandalkan jalur "pintu belakang", bukan karena atas prestasi, kapabilitas, kompetensi dan lainnya yang terbalut dalam sikap profesionalisme. Dengan mengedepankan "uang", semua urusan bisa dimudahkan. Tanpa ada lagi perasaan bahwa "pintu belakang" yang ia pilih, sejatinya merupakan cluster atau bagian dari perbuatan curang atau korup.
Ironisnya, kondisi seperti ini dinikmati, bahkan dengan enjoy dan santai menikmati, melakukan dan mengharapkan kondisi seperti itu tetap menjadi bagian dari profesinya.
Kedua, pada level decision making, meskipun mengetahui sebagaimana perbuatan curang di lingkungan kewenangannya, justru diam. Seperti ia tak kuasa untuk melawan arus. Ia memilih dalam posisi status quo, diam tak bergerak atas anomali tersebut. Yang penting, ia bisa survive, hidup dalam  pijakan materialistik yang diimpikannya.
Bukan sebagai sebuah tanggung jawab atas moral hazard yang terjadi di sekelilingnya. Ia menjadi pribadi dalam ketidakperdulian.
Ketiga, dalam kondisi seperti ini ukuran sukses bukan diukur dengan parameter profesionalisme, namun lebih kepada bentuk-bentuk perbuatan yang merupakan akar pinak dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang sejatinya menjadi musuh Bersama pascareformasi digelorakan di negeri ini.
Menjadi tantangan dan harapan bersama, agar negeri ini tidak terus terpuruk dalam penjara ketidakjujuran. Banyak sisi dan aspek dalam kehidupan, yang membutuhkan keperdulian dari kita-kita yang benar-benar tulus ingin negeri ini bebas dari perbuatan-perbuatan curang yang berimbas pada sikap anti korupsi.