Presiden Prabowo Subianto resmi melantik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029. Pelantikan dilaksanakan di Istana Kepresidenan Jakarta. Prabowo menyaksikan langsung pengucapan sumpah jabatan para pimpinan baru KPK. Pimpinan KPK yang dilantik kemarin adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Agus Joko Pramono, dan Ibnu Basuki Widodo. Setyo Budiyanto terpilih sebagai ketua, diberitakan olehcnnindonesia.com.
Momentum pelantikan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK tersebut, sejalan dengan harapan besar untuk membawa perbaikan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Upaya ke arah tersebut berbarengan, adanya wacana tentang penyidik tunggal dalam menangani korupsi sebagai extraordinary crime.
Wacana Penyidik Tunggal Tangani Korupsi
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra melempar wacana KPK akan menjadi penyidik tunggal dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia mengatakan saat ini wewenang antikorupsi tak hanya dipegang KPK melainkan juga di Kejaksaan Agung dan Polri.
"Kalau semuanya bisa oleh polisi oleh jaksa, kenapa kita tidak hanya menyatukan satu saja, hanya lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan di bidang tindak pidana korupsi," kata Yusril di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (10/12).
Yusril pun mengaku terbuka untuk mendiskusikan perihal wacana itu ke depannya. Ia menyebut wacana ini sebetulnya juga sudah diperbincangkan saat proses pembentukan UU KPK pada awal reformasi silam.
"Jadi kalau memang arahnya ke sana, menyesuaikan dengan KUHP baru ya tidak tertutup kemungkinan pikiran-pikiran seperti itu didiskusikan," ucapnya.
Meski begitu, Yusril menekankan wacana itu harus tetap diimbangi dengan kemungkinan pembaharuan terhadap UU Tipikor, disumberkan dari cnnindonesia.com.
Terkait wacana tersebut menjadi sebuah kewajaran, pasti ada yang pro dan kontra. Tulisan ini menumpu pada paradigma pembaharuan hukum. Dalam makalah berjudul Problematika  Pembaruan Hukum Pidana Indonesia Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH.,MH menyebutkan bahwa Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberikan dampak yang nyata, bagi tata hubungan manusia di dunia. Karenanya sangat berpengaruh pada perubahan hukum, baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik.
Di samping itu, tidak terlepas dari das sein (realitas) dan das sollen (apa yang seharusnya dilakukan), yang tidak terkesampingkan terkait dengan bagaimana tindak korupsi yang terjadi di Indonesia, hingga saat ini belum bisa dituntaskan.
Bila dihitung mundur pasca reformasi, yang kemudian menginspirasi untuk pembentukan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai trigger mechanism dalam menghadapi korupsi, berarti sudah hampir lebih dari 20 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang Panjang dan perlu sebuah evaluasi pada pembaharuan dalam menghadapi tindak pidana korupsi yang extra ordinary crime tersebut.